Ibnu Taimiyah yang selama ini dituding sebagai anti tarekat ternyata justru sangat mendukung suluk sebagai unsur fundamental dalam tarekat. Dalam kaitan ini ia menegaskan dalam Majmû’ al-Fatawâ-nya, ”Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, dan akhlak”.
Semua ini sangat jelas dalam ibadah Alquran dan Sunnah, karena suluk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mukmin. Oleh karena itu, semua sahabat mengenal suluk dengan petunjuk Alquran dan Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasul sendiri. Mereka tidak membutuhkan ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat, dan tidak pernah saling bertentangan satu sama lain.
Ini berbeda ketika ahli-ahli membicarakan fikih. Mereka cenderung saling bertentangan dalam kasus-kasus fiqih. Mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan fikih.
Adapun masing-masing dari mereka yang melakukan suluk, mendekatkan diri kepada Allâh SWT dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan yang disunnahkan, berpedoman kepada Alquran dan Sunnah. Jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allâh dan Rasul-Nya.
Kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi SAW sendiri. Ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allâh nurun ‘ala nurin (cahaya di atas cahaya), (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 273).
Lebih jauh Ibn Taimiyah menegaskan bahwa masalah suluk merupakan bagian dari masalah akidah yang semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah sehingga tidak layak dipertentangkan: “Masalah suluk merupakan salah satu jenis masalah akidah; semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah. Mereka (para sahabat) tidak pernah saling bertentangan dalam masalah akidah dan tidak pula dalam masalah tarekat (jalan) menuju Allâh. Apalagi, dengan tarekat seseorang dapat menjadi salah seorang wali dari wali-wali Allâh yang abrar (bebas dari noda durhaka) dan muqarrabin, (didekatkan kepada Allâh).
Oleh karena itu, syaikh-syaikh tarekat sufi jika memerlukan rujukan dalam perkara-perkara syariat seperti yang berkenaan dengan nikah, warisan, bersuci, sujud sahwi, dan yang semacamnya, akan mengikuti (taklid) ahli-ahli fiqih…berijtihad. Barang siapa di antara mereka mengikuti Rasul, maka ia benar, dan barangsiapa menyimpang dari Rasul, maka ia salah”, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 274).
Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, suluk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fikih, atau merupakan realisasi konkret dari tasawuf yang oleh Imam Muhammad Ibn Ahmad bin Jazi al-Kalabi al-Gharnathi disebut sebagai fikih batin, (al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277).
Hal-hal yang berkenaan dengan suluk semuanya didasarkan pada Alquran dan Sunnah. Khalwat Nabi SAW di Gua Hira’, khususnya, menjadi rujukan utama bagi para salik sebagaimana ditegaskan juga oleh Buya Hamka ketika ia mengatakan: “Maka kaum Shufiyah yang menyucikan dirinya dalam khalwatnya itu, pun mengambillah contoh teladan atas amal-amal mereka dalam khalwat, suluk dan tarekat, dan bermacam-macam sistem yang lain: khalawat dan tahannust Nabi di Gua Hira’, sampai terbuka hijab kegaiban oleh kemurnian jiwa”, (Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 23).
Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya, seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau “mengalami” Allâh Swt secara haqq al-Yaqin (keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun), sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberadaan dan keesaan-Nya. Ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Allâh SWT sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya.
Pelita mereka berasal dari nûrun ‘ala nûrin (cahaya di atas cahaya). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah sambil mengutip firman Allâh SWT dalam ayat ke 35 dari surah al-Nur menggambarkan dengan ungkapan: “Lampu-lampu seseorang yang ‘mengalami’ Allâh SWT secara tahkik (muwahhid) dan yang berjalan (salik) di atas jalan dan tarekat Rasul menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api. Nurun ‘ala nurin, Allâh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia”, (Madârij al-Sâlikin, juz 3, halaman: 98).
Suluk, Realisasi Khalwat, Uzlah, dan I’tikaf
Dalam tarekat sufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu (10, 20, atau 40 hari) di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi.
Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira’. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam Hadis lainnya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa umm al-Mu’min Aisyah berkata:
ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ فَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِىَ، (سنن الكبرى للبيهقى، ج 9، ص: 6).
Nabi digemarkan oleh Allâh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira’ dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 9, halaman: 6).
Para sufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh Alquran disebut sebagai rumah-rumah yang diizinkan Allâh SWT untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (al-Nûr, 24:36).
Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan ‘uzlah; mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengheRAnkan apabila suluk mereka disebut juga dengan I’tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.
Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I’tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan RAmadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Aisyah RA. berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Nabi SAW selalu I’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan RAmadhan sampai Allâh mewafatkan beliau, (Shahih Muslim, juz 2, halaman: 830).
Dan satu yang barangkali penting digarisbawahi di sini adalah bahwa I’tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri; artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadhan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ، (المستدرك، ج 1، ص: 439)
Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri, (al-MustadRAk, juz 1, halaman: 439).
Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam Hadis lainnya meriwayatkan dari Aisyah RA. bahwa ia berkata: “Nabi SAW pernah melakukan I’tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal”.
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ….﴿١٤٢﴾
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan TauRAt) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam, (Q.S al-A’râf: 142).
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah mengutip pendapat ulama’ yang mendukung keabsahan I’tikaf sebagai ibadah yang mandiri ketika ia mengatakan: “I’tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, salat, jihad dan ribath (merabit); i’tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan ketaatan kepada Allâh Ta’ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan i’tifaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya haji”, (Hasyiyah Ibn al-Qayyim, juz 7, halaman: 106).
Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allâh SWT akan melahirkan manusia baru, yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW
أبو هريرة رضي الله عنه: قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَخْلَصَ للهَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةَ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. أخرجه رزين، (جامع الأصول فى أحادث الرسول، ج 11، ص: 557، عوارف المعارف، ص: 255)
Barangsiapa mengikhlaskan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-RAsûl, juz 11, halaman: 557; `Awârif al-Ma’ârif, halaman: 255).
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidani kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.