Perlu diketahui bahwa keberadaan Rasul di kalangan ahli Syathariyah tidak terputus ketika Nabi Muhammad Saw wafat. Sebab, yang wafat hanyalah jasadnya saja, sedangkan nurnya (nur Muhammad) tetap bercaya. Ia adalah cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujud. Antara cahaya dan Dzat bagaikan shifat dan maushûf, bagaikan kertas dan putihnya yang tetap menyatu dan menjadi satu, tidak ikut mati.
Nur yang selalu bercahaya dalam dada Nabi Muhammad Saw ini juga harus terus mengalir ke dalam dada hamba yang diridai oleh-Nya sampai hari kiamat. Dan yang ditugasi Allah Swt mengalirkan cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujudnya ini adalah Rasul.
فَآمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنزَلْنَا وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (التغابن: 8)
Maka berimanlah kamu semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada nur yang telah kami turunkan. Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan, (QS.at-Taghâbun:8).
Nur yang dimaksud adalah nur Muhammad. Cahaya terpuji-Nya Dzat yang wajib wujudnya. Cahaya yang dengan Dzat selalu menyatu menjadi satu. Jadi Nur disini adalah al-ghaib itu sendiri. Sedangkan mahluk lain yang banyak sekali yang sama-sama tidak bisa dilihat mata kepala, namanya al-ghuyub. Beberapa hal yang digolongkan gaib tetapi bukan al-ghaib.
Bukan dirinya Ilahi yang al-ghaib. Sebab al-ghaib adalah satu-satunya Dzat yang tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi dan ma’rifah, adalah jelas dan tertentu. Seandainya barang, maka ini barangnya. Sebab memang sudah seharusnya dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati keberadaan-Nya, apabila secara benar ditanyakan kepada ahli-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7)
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada ahli zikir jika kamu tidak mengetahui, (QS. al-Anbiyâ’:7).
Dzat Tuhan yang Allah asma-Nya (al-ghaib) karena tidak akan pernah ngejawantah (menampakkan Diri), sedang keberadaan diri yang al-ghaib itu seharusnya (atas kehendak-Nya) dapat dikenali dengan yakin agar hamba-Nya tidak masuk ke jurang dosa yang tidak ada ampun di hadapan-Nya (dosa syirik), sebagaimana hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imrân: 179:
مَّا كَانَ اللهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى مَا أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِيْ مِنْ رُّسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُواْ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَإِن تُؤْمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ (آل عمران: 179)
Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin dalam keadaan seperti sekarang sehingga Dia menyisihkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu keadaan yang al-ghaib. Akan tetapi Allah memilih rasul-rasul, siapa yang Dia kehendaki (untuk mengetahui tentang al-ghaib itu). Maka berimanlah Kepada Allah dan para rasul. Jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar, (QS. Âli-Imrân: 179).
Bahwa karena Dia sama sekali tidak akan mengajari kamu semua perihal al-ghaib-Nya, lalu Dia memilih utusan yaitu orang yang dikehendaki-Nya untuk mengajari perihal keberadaan-Nya yang al-ghaib itu, hingga syarat menjadi muttaqin (supaya menjadi hamba yang mendapat hidayah-nya) terpenuhi.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ (البقرة: 2-3)
Kitab (al-Qur’an) yang tidak disangsikan (kebenarannya). Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada al-ghaib, mendirikan shalat dan dari sebagian rizki yang kami berikan, mereka nafkahkan, (QS. al-Baqarah: 2-3).
Di samping itu agar tidak menjadi hamba yang bernasib seperti jin dan iblis adalah termasuk dari golongan jin:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً (الكهف: 50)
Dan ingatlah (ketika) kami berfirman pada malaikat: ’Tunduklah (memberi hormatlah) kepada Adam!, Maka tunduklah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, dia mendurhakai Tuhan-Nya. Adakah pantas kamu mengambil iblis itu dan anak cucumya menjadi pemimpin selain aku? Sedangkan mereka adalah musuhmu. Alangkah buruk tukaran (iblis sebagai pengganti Allah)bagi orang-oarang zalim, (QS. al-Kahfi: 50).
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ (سبأ: 14)
Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan, (QS. Saba’: 14).
Juga supaya tidak mendapat kecaman dari Allah Swt bagi mereka yang tidak mempunyai ilmu (tentang) al-Ghaib, lalu merasa dan mengaku mengetahui, firman-Nya:
أَعِندَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (النجم: 35)
Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang al-ghaib , maka dia dapat melihat-Nya, (QS. an-Najm: 35).
أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ (القلم: 47)
Atau apakah mereka mempunyai al-ghaib lalu mereka (berani) menulis?, (QS. al-Qalam: 47).
Bahkan agar tidak akan menjadi hamba yang diancam dengan kerasnya azab karena ungkapan katanya “kami beriman kepada Allah”, padahal bagaimana mungkin mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh?”.
وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ وَأَنَّى لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِن مَكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٢﴾ وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِن قَبْلُ وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٣﴾ (سبأ: 52-53)
Dan (di waktu itu) mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu. Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh, (QS. Saba’: 52-53)
Kemudian bagi yang berkehendak kuat untuk memperoleh ilmu harus mengetahui dan menyadari bahwa Allah SWT. itu adalah Asma’-Nya Dzat yang wajib wujud-Nya tetapi al-ghaib. Sebagaimana halnya asma’ (nama) dengan sendirinya tidak bisa apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa dan segala-galanya adalah Dzat-Nya yang al-ghaib itu.
Seperti halnya apabila seorang menikah, apakah akan puas dan menerima kalau hanya menikah dengan namanya saja, tetapi tidak dengan orangnya.
Karena itu perlu diketahui pula bahwa firman Allah SWT.:
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ (التكوير: 24)
Dan dia (Rasul) tidaklah bakhil untuk menerangkan perihal al-Ghaib, (QS. at-Takwîr: 24).
Ayat ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, tetapi berlaku bagi umat islam hingga kiamat. Meski ternyata sebagian tidak yakin, maka lalu azab Tuhan datang dan menghancurkan disaat dâbbah diberdayakan, sebagaimana firman-Nya dalam (QS. an-Naml: 82):
وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِّنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ (النمل: 82)
Dan apabila telah putus hukuman mereka, kami keluarkan binatang melata (dâbbah) dari bumi yang mengatakan kepada mereka bahwa manusia tidak mempercayai ayat-ayat kami, (QS. an-Naml: 82).
Kehadiran Rasulullah yang selalu berada di tengah-tengahmu sebagaimana firman Allah SWT.:
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللهِ وَفِيْكُمْ رَسُوْلُهُ وَمَنْ يَعْتَصِم بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (آل عمران: 101)
Kenapakah kamu kafir; padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan rasul-Nya bersama kamu? Dan barang siapa berpegang teguh kepada Allah sesungguhnya dia telah diberi petunjuk, (QS. Âli ‘Imrân: 101).
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيْكُمْ رَسُولَ اللهِ …. (الحجرات: 7)
Dan ketahuilah bahwasanya Rasulullah berada diantara kamu, (QS. al-Hujurat: 7).
Ternyata oleh umat Islam ayat tersebut sudah tidak diyakini kebenarannya. Sehingga al-Haqq min rabbika, maunya mereka al-Haqq itu diganti harus dari golonganku, dari pendapatku, dari kepandaianku, dari usulanku, dari mazhabku, dari siasatku, dari kebijakan-kebijakanku, dari kekuasaanku, dari harga diri dan kehormatanku, dan seterusnya.