Ketika Anda ditanya tentang apa kewajiban mursyid atas hak-hak murid, dan tentang apa kewajiban murid atas hak mursyid, maka jawabnya adalah: ada tiga hal yang wajib bagi mursyid atas hak murid.
Tiga hal itu meliputi: memberi bimbingan suluk pada permulaannya, mengantarkan (menuju wushûl) pada akhirnya, dan melindungi dalam pemeliharaannya.
Adapun kewajiban murid atas hak mursyid ada tiga hal; mematuhi perintahnya, menjaga Rahasianya, dan menghormati kedudukannya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 163).
Sifat-sifat Guru Mursyid
Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW. mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Akan tetapi, orang yang berzikir itu tidak serta merta bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, serta inti dari zikir, kecuali berguru kepada seseorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna serta memahami makna Al-Qur’an dan kitab-kitab agama.
Guru alim itu juga memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushûl. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW. Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.
Syarat-syarat Mursyid
Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:
- Memahami apa yang dibutuhkan oleh para salik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan salik ketika mengawali suluknya sehingga salik tidak bertanya kepada selain mursyid.
- Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata krama hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
- Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid salikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
- Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
- Menjaga diri dari harta Salik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
- Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya.
- Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
- Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, gurauan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
- Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
- Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
- Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
- Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwal-nya yang baik.
- Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukasyafah atau musyahadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan deRajat diri murid sendiri.
- Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melaRang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
- Membuat tempat khalwat untuk digunakan salik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Sedangkan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
- Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
- Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
- Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
- Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذي
“Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya”.
Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).
- Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
- Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
- Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
- Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muram. Ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
- Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendoakannya.
Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).