Kemudian sang murid diperintahkan untuk melakukan dzikr-i-laq-laqa. Ini adalah mengingat Allah SWT. secara diam-diam dan terus-menerus tanpa henti. Selama zikir ini berlangsung, sang dzâkir bebas membuka atau menutup mulutnya; ia boleh juga menahan napasnya atau tidak sama sekali. Zikir ini dilakukan dengan lidah hati.
Kemudian, sang dzâkir diperintahkan untuk melakukan zikir tiga ketukan: dzikr-i-seh-pâya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: nama Allah, perenungan atas sifat-sifat utama (yakni, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Tujuh syarat yang disebutkan di atas harus juga diperhatikan.
Zikir tiga ketukan mestilah dilakukan dengan cara demikian: sang dzâkir duduk bersila dan menarik huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar dengan amat kuat dan memanjangkannya, menahan napas dalam dada, mengucapkan Allah dengan hati, dan mengucapkan Samî’un (Maha Mendengar) secara serentak dengan memahami maknanya dan kemudian mengucapkan lagi Allah serta kemudian Bashîrun (Maha Melihat) dengan memahami maknanya dan kemudian ia mesti mengucapkan Allah dan `Âlimun (Maha Mengetahui) sembari memahami maknanya. Ini disebut ‘uruj atau “tangga-naik”.
Selanjutnya, sang dzâkir dengan memahami maknanya mengucapkan Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu saimi’un. ini disebut nuzul atau “tangga turun”. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau “sirkulasi”, yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzül. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.
Dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang jauh lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang lebih luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.
Menurut sebagian kaum arif, Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun; Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu sami’un; Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun adalah sebuah zikir yang terdiri atas dua ‘uruj dan satu nuzül pertengahan.
Hanya saja, dalam zikir tiga ketukan ini, sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak empat puluh atau lima puluh kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati, tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sang dzâkir diliputi oleh cinta Allah SWT. dari keadaan fana diri bisa dikembangkan.
Sesudah sang hamba berhasil melakukan zikir tiga sifat, sami’, bashir, dan ‘alim ini dengan cara yang ditetapkan di atas, ia bisa menambahkan lima sifat lagi, yakni dâ’im (Maha Abadi), qâ’im (Maha Berdiri Sendiri), hâdhir (Maha Hadir), názhir (Maha Melihat), dan Syakhid (Maha Menyaksikan). Manakala ia mampu mempertahankan ini juga, ia bisa menambahkan tujuh sifat utama selebihnya. Sang hamba terus melakukan zikir ini selama diperlukan. Jika cahayanya mulai muncul dalam dirinya, yakni ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka bisa ditambahkan sifat-sifat gabungan lainnya: akram al-akramin (Maha Pemurah dari Yang Pemurah), arham ar-ráhimin (Maha Pengasih dari Yang Pengasih) ajwad al-ajwadîn (Maha Pemberi), dz’u al-fadhl al-’azhim (Pemilik Anugerah Terbesar), Rabb al-’arsy al-’azhim (Pemilik Singgasana Teragung).
Di sini, Syaikh Kalimullah menyuruh sang hamba bahwa meskipun sangat sulit menarik kuat-kuat huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar, zikir ini sangatlah bermanfaat, dan bahwa tanpanya, zikir itu kurang efektif. Karena itu, sang hamba mestilah melakukannya sebenar mungkin. Akan tetapi, hendaknya ia jangan terlalu terhambat.
Sang penempuh jalan spiritual (salik) mesti juga mengamalkan dzikrulláh empat dan enam ketukan. Zikir enam ketukan berupa mengetukkan Allah pada setiap sisi. Zikir empat ketukan dilakukan dengan duduk menghadap kiblat, meletakkan Alquran di hadapannya, atau duduk di depan makam seorang wali. Ia mesti mengenakan kètukan pertama pada sisi sebelah kanan, kedua pada sisi sebelah kiri, ketiga pada Alquran, dan keempat pada daerah hati. Sementara itu, ia mesti benar-benar tenggelam dalam zikir tersebut. Zikir ini mengungkapkan makna Alquran, dan jika makam itu ada di depannya, maka keadaan orang yang dikuburkan di situ akan terungkap. Dalam zikir ini diperlukan media, yakni Syaikh atau pembimbing spiritual. Tanpa media, zikir ini tidak berguna.