Tarekat Syathariyah adalah tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah al-Syaththar (w.890 H/1485 M). Ulama ini masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang memopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syathariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Nisbah al-Syathar yang berasal dari kata Syathara artinya membelah dua dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (mursyid).
Namun karena popularitas tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahIrannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Abdullâh al-Syathâr dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syathâriyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah al-Syathar, Tarekat Syathâriyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syathiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syathariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka yaitu Sibghatullâh bin Rûhullâh (1606), salah seorang murid Wajihudîn dan mendirikan zawiyah di Madînah.
Tarekat ini kemudian disebarluaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut yaitu seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi.
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syathâriyah yang terkenal di wilayah Madînah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Raûf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syathâriyah di Indonesia. Abdul Raûf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islâm di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.
Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syaikh Burhanuddîn dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syathâriyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani yaitu Yûsuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Silsilah Tarekat Syathariyah
- Nabi Muhammad SAW.. (609-632 M)
- Imam Ali bin Abu Thalib (632-661 M)
- Imam Hasan al-Syahid (661-670 M)
- Imam Husain (670-684 M)
- Imam Zainal Abidin (684-718 M)
- Imam Muhammad al-Baqir (718-737 M)
- Imam Ja’far Shadiq (737-771 M)
- Imam Musa al-Kazhim (771-806 M)
- Imam Ali bin Imam Musa al-Kazhim (806-826 M)
- Imam Muhammad al-Jawad (826-843 M)
- Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (843-877 M)
- Imam Abu Yazid al-Busthami(W.874 M)
- Imam Hasan al-Asykari (877-883 M)
- Imam al-Mahdi al-Muntadzar (883-955 M)
- Syaikh Muhammad al-Maghrîbi (955-1007 M)
- Syaikh Araby al-Asyiqi (1007-1074 M)
- Syaikh Qutb Maulana Rumi al-Tushi (1074-1132 M)
- Syaikh Qutb Abu Hasan al-Hirqan (1132-1176 M)
- Syaikh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar (1176-1249 M)
- Syaikh Muhammad Asyiq (1249-1312 M)
- Syaikh Muhammad Arif (1312-1376 M)
- Syaikh Abdullah al-Syaththar (1376-1429 M)