Sedang Membaca
Rahasia Beberapa Ilmu dalam Ibadah Haji
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Rahasia Beberapa Ilmu dalam Ibadah Haji

Ibadah Haji Kala Pandemi 169

Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta Habib Ali Hasan Bahar menjelaskan bahwa terdapat beberapa disiplin ilmu yang jelas dan nyata saat seseorang sedang melaksanakan ibadah haji.

Pertama adalah ilmu tauhid. Seseorang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak akan pernah berhenti mengumandangkan kalimat talbiyah yakni labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk, laa syarika lak.

“Ilmu tauhid nyata. Seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji sedang mempraktikkan dan menjalankan ilmu tauhid. Karena di dalam rangkaian ibadah haji, kita juga akan melihat seseorang mencium dan melempar batu. Ada batu yang boleh dicium, dia cium. Ada batu yang harus dilempar, dia lempar. Hajar aswad dicium, jumrah dilempar,” jelas Habib Ali dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Kamis (24/6).

Ketika hendak mencium, Sayyidina Umar bin Khattab sampai berkata kepada hajar aswad. Dikatakannya bahwa hajar aswad hanyalah sebuah batu. Kalau saja bukan karena Nabi Muhammad yang juga telah mencium batu hitam itu, Sayyidina Umar pun tidak akan pernah menciumnya.

“Tapi karena aku melihat Nabi menciummu, aku menciummu,” kata Sayyidina Umar dibahasakan ulang oleh Habib Ali.

Jadi, katanya, di dalam setiap perjalanan seseorang melaksanakan ibadah haji akan mengalir ilmu tauhid yang didapatnya. Ilmu tauhid menjadi nyata karena akan keluar dari mulut seseorang banyak doa-doa yang dilantunkan.

Baca juga:  Ketika Ibnu Arabi Ditegur Nabi Khidir

“Semuanya tidak keluar dari ilmu tauhid, mengesakan Allah. Ilmu pertama yang hadir di dalam perjalanan haji adalah ilmu tauhid. Bahagialah seorang yang mengenal Tuhannya, bahagialah seorang yang tidak menduakan Tuhannya,” tutur Habib Ali.

“Ilmu tauhid hadir dan wujud nyata di dalam perjalanan ibadah haji. Karena kita di sana pasti berserah diri kepada Allah. Siapa yang berangkat haji semestinya dia semakin mantap dalam akidahnya, keyakinannya tentang Allah Yang Maha Esa,” jelasnya.

Kedua, ilmu fikih. Dicontohkan, saat melempar jumrah. Dulu, otoritas Pemerintah Arab Saudi yang notabene bermazhab Hambali yang agak leterlek atau tekstual, tidak mengizinkan prosesi lempar jumrah dilakukan di hari-hari tasyrik kecuali setelah shalat zuhur.

Kebijakan itu mengakibatkan kepadatan jamaah haji di satu tempat. Bahkan beberapa kali terjadi insiden atau kecelakaan yang menghilangkan nyawa seseorang. Hal itu disebabkan Pemerintah Arab Saudi mengharuskan melempar jumrah pada setelah zuhur, karena memang terdapat riwayat Nabi yang mengatakan seperti itu.

“Padahal ada perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi mengatakan boleh pagi. Karena ada pendapat fikih yang kaya dan beragam, maka fikih itu menjadi bagian dari solusi. Akhirnya pemerintah Arab Saudi dan para ulama akhirnya mengatakan ya sudah boleh (lempar jumrah dilaksanakan selain bakda zuhur),” jelas Habib Ali.

Baca juga:  Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Kisah Jin Pengganggu

“Karena kalau dipaksakan ibadah melempar jumrah di hari-hari tasyrik harus setelah zuhur maka terjadi kepadatan dan menjadi beberapa kali pengalaman insiden yang tidak diinginkan. Di dalam ibadah haji penuh dengan perbedaan pendapat di dalam fikih,” katanya lagi.

Dikisahkan, suatu ketika di Mina, Rasulullah sedang melaksanakan haji wada ditanya oleh seseorang tentang tahallul. Orang itu mengaku sudah menyembelih hewan kurban tapi belum melaksanakan tahallul.

Mendengar pengakuan tersebut, Nabi pun lantas mempersilakan karena tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan dosa. Kemudian ada seorang lagi yang bertanya sebaliknya kepada Rasulullah dan dipersilakan pula karena tidak dosa.

“Dari situ para ulama mengatakan bahwa Nabi memberikan banyak kemudahan. Fikih memang sangat lentur, luwes, dan luas. Jangan sampai ada yang tidak pernah belajar fikih, tapi hanya hadist saja, lalu pada hadits itu mentah-mentah saja,” jelas Habib Ali.

Menurutnya, fikih telah mampu menjawab dan menjelaskan berbagai persoalan yang sangat mendesak. Dulu di zaman Nabi, ibadah sai dan thawaf hanya bisa dilakukan di bawah. Namun saat ini, telah dibuatkan ruang bawah tanah dan lantai atas untuk memudahkan jamaah haji agar tidak berjejalan.

“Kemudian, perempuan ketika melaksanakan ibadah haji tapi berhalangan atau haid. Itu bagaimana? Karena thawaf haji adalah rukun. Kalau tidak bisa, berarti dia harus mengulang tahun depan,” katanya.

Baca juga:  Menertawakan Diri Sendiri

“Ada pendapat ulama yang mengatakan, kalau tidak bisa berpisah dengan rombongannya karena bahya kalau berpisah, maka dia harus membayar dam. Damnya bisa unta atau kambing. Jadi, ilmu fikih di dalam ibadah haji terlihat nyata dan menjadi bagian dari solusi,” sambung Habib Ali.

Ketiga, Ilmu etika atau akhlak. Ketika ibadah haji, para jamaah haji bersentuhan dan berhadapan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang negara. Ilmu etika pun mengajarkan tentang bagaimana perilaku sopan santun yang harus dilakukan ketika menghadapi banyak orang seperti itu.

Saat sedang thawaf misalnya. Semua orang saling berhadapan baik orang berkulit putih, hitam, berpostur tubuh tinggi, pendek, kurus, besar, laki-laki, dan perempuan. Semua bercampur menjadi satu. Dari sinilah, kata Habib Ali, seseorang akan langsung mendapatkan dan mempraktikkan ilmu etika tentang menghargai orang ketika sedang berthawaf.

“Sepanjang perjalanan ibadah haji itu mulut, mata, dan telinga dijaga. Jangan sampai ada kata-kata vulgar atau tidak pantas keluar dari seorang yang ibadah haji. Jangan sampai ada perbuatan maksiat. Jangan sampai ada perdebatan. Jadi, seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji, sebetulnya dia mendapatkan ilmu tauhid, ilmu fikih, dan ilmu etika,” tegas Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top