Mencari ilmu tidak mudah. Sebab membutuhkan waktu lama dan menyita banyak proses yang sangat melelahkan. Pahit, getir, hina, dan rendah diperlukan agar dari ilmu yang diperoleh dapat mengangkat derajat kemuliaan di kemudian hari.
Imam Syafi’i pernah mengatakan bahwa siapa yang tidak pernah merasakan pahitnya belajar walau hanya sebentar maka akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidup. Bahkan ada ibarat atau analogi tentang proses pencarian ilmu seperti biji kurma yang ditanam di bawah batu.
Pengasuh Pesantren Zain Al-Makky Bogor, KH Ahmad Busyairi menjelaskan bahwa biji kurma ditanam dengan cara ditumpuk dengan batu. Hal tersebut bertujuan agar ketika biji itu ingin keluar dari tanah, tapi ada tekanan dari atas maka terlebih dulu menghujam ke bawah untuk mengukuhkan akar.
“Setelah itu barulah menghujam ke atas untuk menyingkirkan batu yang menghalanginya. Tapi ketika dia sudah ke atas, akar-akarnya sudah kuat tertancap di bawah,” terang Kiai Ahmad dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Senin (12/7).
Seperti itulah perumpamaan seseorang yang sedang dalam proses belajar. Jika hal tersebut dilakukan oleh seorang yang sedang mencari ilmu maka akan tertancap nilai-nilai pelajaran yang sangat kuat di hati dan pikiran.
“Kemudian saat proses kita berbagi, kita sudah kokoh dengan akar-akar tadi. Pohon kurma itu sudah siap untuk membuahi atau memberikan buahnya kepada orang, karena akarnya sudah kokoh. Begitu juga perumpamaan orang yang menuntut ilmu yang diuji dengan kesusahan, kepayahan hingga mendapat kemuliaan,” terangnya.
“Jadi kalau dalam proses menuntut ilmu kita merasakan pahit, getir, hina, letih, rendah, di hadapan orang yang mengajarkan kita ilmu tidak apa-apa karena itu proses. Dengan begitu, kita akan dipersiapkan untuk mendapatkan kemuliaan yang tinggi di sisi Allah dan manusia,” imbuh Kiai Ahmad.
Dikisahkan, ada seorang murid pernah dipukul oleh Imam Malik lantaran tidak sopan karena bertanya saat sedang dalam perjalanan. Kata Imam Malik, jika ingin bertanya hendaknya dilakukan di majelis ilmu bukan di jalanan. Lalu sang murid dipukul sebanyak 20 kali.
“Meskipun pukulan ini tidak menyakitkan, sekadar ta’dib (pendidikan), Imam Malik menyesal. Sebagai bentuk penyesalannya, beliau katakan kepada muridnya, sebagai kompensasi maka setiap satu pukulan akan disampaikan satu hadits. Beliau memukul 20 kali lalu beliau sampaikan 20 hadits,” jelas Kiai Ahmad.
Namun, karena sangat memuliakan sang guru dalam proses pencarian ilmu, sang murid justru ingin dipukul dengan bilangan yang lebih dari 20 yakni 100 kali. Si murid ini beranggapan, semakin banyak pukulan maka akan semakian banyak mendapatkan periwayatan hadits Nabi, langsung dari Imam Malik.
“Jadi, pengorbanan dipukul itu semata untuk mendapatkan riwayat hadits, itu bukan sesuatu yang perlu disesali, bukan sesuatu yang perlu diprotes, justru disyukuri, bahkan berharap dipukul lebih dari itu supaya dapat ilmu lebih, karena tidak sembarangan mendapat riwayat hadits dari Imam Malik,” ujar Kiai Ahmad.
Kiai Ahmad menegaskan bahwa proses mencari ilmu itu tidak cukup hanya sebatas datang dan menyatakan kesungguhan untuk belajar. Tetapi perlu juga dibuktikan dengan kesungguhan yang terwujud dalam perbuatan.
Dikisahkan, seseorang datang kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan menyatakan untuk menuntut ilmu hadits. Namun, waktu sudah larut malam sehingga belajar akan dilangsungkan pada keesokan harinya. Untuk menguji kesungguhan seorang yang menyatakan ingin belajar ilmu hadits itu, Imam Ahmad bin Hanbal menyediakan sebuah wadah air di bilik penginapan sang murid.
“Pagi hari, Imam Ahmad bin Hanbal melihat airnya masih utuh. Sebelum kemudian ia shalat subuh. Maknanya (kata Imam Ahmad bin Hanbal), sepanjang malam kamu tidur dan tidak menggunakan air itu untuk shalat malam. Tidak ada ilmu yang bisa didapat bagi seorang yang tidak menjaga qiyamullail. Jadi kita ingin melihat kejadian nyata dalam praktik menuntut ilmu,” terang Kiai Ahmad.
Kisah lain yang diceritakan adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Disebutkan, Sayyidina Ali Zainal Abidin ini adalah seorang yang alim, wara, dan zuhud. Sampai-sampai mendapat gelar As-Sajad karena selalu menjalankan shalat sunnah dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.
Suatu ketika, Sayyidina Ali Zainal Abidin ini datang kepada seorang guru. Namun, alih-alih sang guru cepat menyambut atau menemui kedatangan si murid, tapi justru memperbanyak jumlah shalat sunnahnya. Usai itu, Sayyidina Ali Zainal Abidin dipanggil untuk mendekat dan terjadi proses transfer ilmu.
“Kemudian seorang guru berkata bahwa telah menjadi kelaziman bagi seseorang yang ingin menuntut ilmu itu untuk dipersulit, dibuat berletih-letih dulu. Digambarkan dalam proses menanti guru. Dibuat sedemikian rupa supaya dia meraskan kehinaannya menuntut ilmu, merasakan pahit dan getirnya menuntut ilmu,” pungkas Kiai Ahmad.