Sedang Membaca
Pekerja Media Berpontensi Terdampak “Omnimbus Law” RUU Cipta Kerja
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Pekerja Media Berpontensi Terdampak “Omnimbus Law” RUU Cipta Kerja

Omnibus Law

Undang-Undang Cipta Kerja menuai intrik dari berbagai macam kalangan. Berbagai potensi dampak terus terkuak satu demi satu.

Polemik omnibus law (UU Cipta Kerja) mulai ditanggapi  banyak pihak. Organisasi Himpunan Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,, misalnya, menggelar diskusi secara daring dengan media zoom meeting.

Diskusi dengan tema “Bahaya Undang-Undang Cipta Kerja dan Potensi dampaknya Bagi Pekerja Media” ini menghadirkan pemateri dari kalangan aktivis yang diisi oleh Hepi Nur Widiamoko, Koordinator Wilayah Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia (SERBUK) DIY. Pemateri lain dihadirkan dari kalangan akademik, yaitu Widowati Maisarah, selaku Dosen Praktisi KPI UIN Sunan Kalijaga.

Kedua pengisi mengawali diskusi dengan menyepakati bahwa omnimbus law mengundang beberapa potensi berbahaya bagi kalangan pekerja maupun lingkungan kerja. Hepi, sebagai Koordinator Wilayah SERBUK DIY mengaku bahwa mereka telah menerima draft RUU Cipta Kerja pada akhir tahun 2019 dan telah melakukan riset terus menerus di internal serikat mengenai bentuk peraturan yang tercantum.

“Tidak ada penyerdehanaan Undang-Undang seperti yang dikatakan pemerintah, malah peraturan yang terbentuk semakin banyak,” ujar Hepi, 21 Oktober 2020.

Menurut Hepi, statistik BPMK mengatakan bahwa kondisi lapangan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan pemerintah terkait perluasan lapangan kerja. Investasi mengalami kenaikan (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/29/realisasi-investasi-indonesia-2019-naik-484-dalam-5-tahun), sedangkan penyerapan tenaga kerja malah menurun (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/31/investasi-tumbuh-137-penyerapan-tenaga-kerja-justru-turun-1191-pada-triwulan-ii-2019). Hal tersebut terjadi karena penyerapan investasi lebih banyak dialokasikan pada sektor yang tidak membutuhkan banyak tenaga kerja.

Baca juga:  Film Rakyat Banyumas Raya Digelar Lagi

“Selama buruh menjadi subjek dalam UU Cipta Kerja, buruh terancam tidak akan mendapat fasilitas yang seharusnya didapatkan,” ujar Hepi tegas.

Permasalahan UU Cipta kerja atau Omnimbus Law hari ini masih disepakati menjadi polemik. Menurut tirto.id (https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakan-oligarki-f6aF ), Pengesahan omnimbus law akan semakin menguntungkan oligarki.

Widowati menambahkan bahwa omnimbus law merupakan istilah bahasa latin, yang berarti “untuk semua”, maksudnya UU tersebut meliputi banyak aspek. Pemerintah mengatakan bahwa UUCK merupakan deregulasi atas penyederhanaan peraturan perundang-undangan untuk meningkatkan iklim bisnis. Namun, dampak dibukanya kemudahan perijinan memicu potensi bahaya untuk ke depannya.

“Terbukanya peluang bisnis, namun dapat juga terjadi, penggunaan lahan berpotensi konflik agraria, pemudahan perijinan, pengurangan kewenangan daerah, yang berlawanan dengan spirit desentralisasi.” Kata Widowati

Berdampak pada Pekerja Media

Sebagai akademisi sekaligus praktisi dalam bidang jurnalistik, Widowati berpendapat bahwa omnimbus law berpotensi berdampak pada pekerja media. Menurutnya, sistem upah yang diganti dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) akan berdampak pada banyak pekerja media yang diterjunkan ke daerah yang beragam.

Menurutnya, lewat pasal 151 UU Ciptaker, perusahaan juga dapat melakukan PHK tanpa melalui perundingan dengan serikat pekerja.

“UU Ciptakerja menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur surat peringatan sebelum PHK. Oleh karena itu, perusahaan dapat melakukan PHK tanpa melalui mekanisme surat peringatan” ungkap Widowati.

Baca juga:  Pameran Foto dan Manuskrip Islam Nusantara di Belanda Jadi Refleksi Bersama

Ketentuan cuti juga bermasalah. Pertama, upah cuti dihilangkan. Substansi tentang upah satuan waktu menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan, karena jika pekerja menjalani cuti, pekerja tidak dianggap bekerja sehingga tidak mendapatkan upah saat cuti.

Kedua, cuti panjang panjang dihilangkan. Dalam pasala 79 UU Ciptaker ayat 5 di mana cuti panjang hanya ditentukan oleh peraturan perusahaan atau perjanjian kerja, tidak diamanatkan seperti yang tertuang dalam UU no 13 2003.

“Jika kamu tidak hati-hati dan siap untuk bernegosiasi atau meminta perusahaan tempatmu bekerja, maka cutimu akan ditentukan oleh perusahaan secara sepihak.” Ujar Widowati.

Seakan hanya memancarkan spirit ekonomi liberal, Widowati juga mengungkapkan bahwa UU Ciptaker cacat secara prosedur. Masih banyak pihak yang harus dilibatkan dalam pengkajian Undang-Undang. Pengesahan seakan-akan tidak menjunjung tinggi nilai demokasi di Indonesia

“Banyak pasal UUCK yang memang bagus, namun tentu banyak pasal yang harus diubah supaya ada win win solution.” Kata Widowati.

Industri media hari ini sangat luas. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih membahas regulasi tentang bisnis media hari ini seperti pekerja lepas di bidang digital dan start-up media. Masalahnya, Undang-Undang berpotensi mempersulit persaingan profesi yang berkaitan dengan era digital sekarang.

Pasal 42 UU Cipta Kerja ayat 1 dan 3 menunjukkan bahwa pemerintah membuka keran tenaga asing dalam. Padahal jika keran tenaga asing dibuka, akan terjadi persaingan lebih ketat pada angkatan kerja Indonesia yang hari ini harus lebih diserap.

Baca juga:  Kunjungan Grand Syekh Al Azhar ke Katedral St. Markus Alexandria

“Jika persoalannya adalah mismatch dengan kebutuhan, maka yang harus diperbaiki adalah linkage antara Perguruan Tinggi dan Industri” Pungkas Widowati (Reporter: Akhmad Mundhir).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top