UNESCO menetapkan pantun masuk ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada tanggal 17 Desember 2020, pada sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage yang digelar secara daring.
Pantun yang diajukan secara bersama oleh dua negara, Indonesia dan Malaysia, ini menjadi warisan budaya takbenda dunia ke-11 yang diakui oleh UNESCO. Sebelumnya pencak silat juga diinskripsi sebagai WBTb pada tanggal 12 Desember 2020.
Di Indonesia, pantun telah didaftarkan di dalam pencatatan WBTB sejak tahun 2014 dengan nama Pantun Melayu, nomor sertifikat 153987 C / MPK.A / DO/ 2014. Di Malaysia Pantun terdaftar sebagai Warisan Nasional pada tahun 2009, Gazzetment Number – P.U. (A) 398. Indonesia bersama Malaysia kemudian mengusulkannya ke UNESCO untuk masuk daftar representatif WBTB dunia pada tahun 2016.
Pantun adalah bentuk syair Melayu yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan emosi, yang di dalamnya terdapat seni penyampaian metaforis menggunakan bahasa halus dan sopan. Sebagai tradisi lisan, pantun diajarkan oleh para tetua dan pemuka adat kepada generasi yang lebih muda melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, maupun melalui jalur ritual dan adat yang lebih formal.
Komite Intangible Cultural Heritage UNESCO menilai pantun memiliki arti penting bagi masyarakat, bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial namun juga kaya akan nilai-nilai yang mejadi panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.
Bagi Indonesia, keberhasilan penetapan pantun sebagai WBTB tidak lepas dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta berbagai komunitas.
Komunitas dan organisasi tersebut meliputi Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Selain itu, sejumlah individu dan pemantun Indonesia juga sangat berperan, termasuk dua orang maestro pantun Indonesia, yakni H. M. Ali Achmad dan O. K. Nizami Jamil.
Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Prof. Surya Rosa Putra dalam pernyataannya menyampaikan, nominasi yang diajukan oleh Indonesia bersama dengan negara lain (dalam hal ini Malaysia), baru pertama kali dilakukan. Inskripsi pantun memiliki arti penting bagi Indonesia dan Malaysia, yang merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya, dan tradisi.
Bagi masyarakat Melayu, pantun memiliki peran penting sebagai instrumen komunikasi sosial dan bimbingan moral yang menekankan keseimbangan, harmoni, dan fleksibilitas hubungan dan interaksi antarmanusia dalam syairnya.
Hari ini, tidak hanya sebagai identitas masyarakat, pantun juga telah menjadi media pendukung dalam pemberdayaan ekonomi kreatif. Ke depan, Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya untuk memastikan pelindungan pantun sebagai WBTb melalui pelibatan aktif komunitas lokal di kedua negara. Pantun juga dilestarikan dengan diajarkan secara formal di sekolah dan melalui kegiatan kesenian.
Hilmar Farid menuturkan, tradisi pantun mendorong rasa saling menghormati antar komunitas, kelompok, dan individu. Ini adalah bentuk lisan yang paling tersebar luas di Asia Tenggara dan telah digunakan di kawasan ini setidaknya selama 500 tahun.
Pantun menyediakan wadah untuk menuangkan ide, menghibur, atau berkomunikasi antar manusia, tanpa membedakan ras, kebangsaan, atau agama. Ia merupakan sarana untuk mengungkapkan rasa cinta, dengan lebih dari 70% syairnya ditujukan untuk mengungkapkan cinta terhadap pasangan, keluarga, komunitas, dan alam.
“Pencantuman pantun dalam daftar WBTB di UNESCO bukan merupakan akhir perjuangan, melainkan langkah awal kita semua untuk melestarikan tradisi mulia ini. Seluruh pemangku kepentingan hendaknya mulai bergerak bersama dan menyatukan tekad dengan satu tujuan: membuat pantun tetap hidup dan tidak hilang ditelan zaman,” kata Hilmar dalam siaran pers.
Sanggar-sanggar harus dibina agar tumbuh dan berkembang, komunitas-komunitas digiatkan. Mereka harus menyiapkan bahan ajar agar peserta didik terdorong untuk menggunakan pantun, dan memberikan penghargaan kepada mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan pantun.
“Ucapan selamat dan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk menominasikan pantun, baik yang ada di Indonesia maupun di Malaysia,” kata Hilmar.
Hilmar menambahkan, penetapan pantun adalah bukti bahwa kita bisa kerja bersama dengan negara lain untuk mengusulkan warisan budaya yang kita miliki.
“Marilah kita tunjukkan rasa peduli pada pantun. Gunakanlah ia untuk membuka atau menutup acara, baik kegiatan formal maupun nonformal, atau dalam berbagai kesempatan lain. Pantun dapat digunakan oleh siapapun dan dimanapun. Jangan malu dan sungkan untuk berpantun,” katanya.