Dalam tulisan ketiga ini, kami akan memberikan sedikit bocoran ihwal proses dan tema yang tengah diangkat oleh para santri dalam karyanya. Sebagai pemenang pertama, Saifir Rohman, mengambil tema besar tentang “Kesehatan, Kematian, dan Takdir”. Tema ini dipilih dengan alasan yang tidak muluk-muluk, yaitu karena perbincangan tentang tiga hal tersebut kembali aktual semenjak COVID-19 hadir ke tengah-tengah lingkungan kita. Penulis merasa tertarik untuk merespons tema tersebut, dengan mencoba menghadirkan perspektif yang kebanyakan ditimba dari lembar-lembar kitab kuning sebagai sumber utama.
Di samping itu, ada semacam dorongan untuk menjawab tantangan yang sejatinya umum bagi kaum santri, yaitu memberdayakan/memaknai ulang kitab kuning sebagai modalitas sekaligus identitas bagi insan pesantren dalam menjawab tantangan zaman. Dari segi ini, buku karya Saifir bisa dipandang sebagai sebuah eksperimen kecil mendialogkan teks terkait tema yang diangkat dengan konteks kekinian yang sudah sedemikian berubah dan berbeda dengan konteks kapan dan di mana karya-karya itu lahir berabad-abad silam. Soal apakah kemudian percobaan ini berhasil, setengah berhasil atau bahkan tidak berhasil sama sekali, penulis serahkan sepenuhnya kepada sidang pembaca untuk menilai.
Saifir menyelesaikannya dalam kurun waktu yang relatif singkat, kurang lebih 2,5 bulan. Kemampetan ide, keterbatasan ruang dan waktu, ketidakpercayaan diri, termasuk juga kejenuhan, adalah sebagian lika-liku yang membersamai hari-hari penulis dalam menyelesaikan buku ini. Beruntung karena penulis didampingi seorang pembimbing yang ulet, sabar dan telaten, Kiai Yusuf Suharto, peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim. Beliaulah sosok yang senantiasa siap sedia mendampingi, membimbing, dan membantu penulis dalam menyelesaikan ragam masalah dan kendala, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis, yang penulis hadapi sejak awal penulisan hingga selesai.
Berawal dari keresahan, Alwi Jamalulel Ubab, sebagai pemenang kedua, menyoroti fenomena atau aksi “hijrah” tanpa arah yang dilakukan sebagian anak muda milenial. Yang sering kali taklid buta terhadap hukum yang difatwakan tanpa mengetahui sumbernya. Alwi ingin menuangkan gagasannya melalui buku ini sebagai counter-attack kepada mereka yang mengharamkan musik.
Alwi membahas musik dari luar dan dalam. Mulai dari sejarah singkat musik, hubungannya dengan syair, peradaban Islam lampau dan kini hingga membahas bagaimana hukum musik itu sendiri dalam Islam. Tak pelak Pesantren sebagai sumber kader ulama di Indonesia pun, tak luput menjadi sumber riset buku ini.
Sebagian besar referensi diambil dari kitab kuning (baik klasik maupun kontemporer) serta tidak lupa pula penulis menyuguhkan fatwa ulama moderat kekinian seperti: Ulama-ulama Al-Azhar dan Indonesia.
Serta untuk mengakomodir pendapat ulama garis keras, ada beberapa pendapat yang saya ambil dari ulama kontroversional juga (seperti Syekh Al-Utsaimin) yang saya cantumkan sebagai pelengkap keberagaman pendapat.
Dengan keterbatasan pengetahuan, Alhamdulillah Alwi mampu menyelesaikannya tepat waktu selama kurang lebih 2,5 bulan. Sungguh proses yang sangat singkat untuk menuliskan sebuah buku. Bagi Alwi, ini adalah pengalaman yang akan sangat dikenang nantinya.
Jujur, tujuan awal Alwi mengikuti lomba kepenulisan buku ini ialah untuk melatih kepenulisan saja. Tidak ada bayangan bahwa saya akan sampai menjadi finalis nantinya. Ketika kemudian nama Alwi muncul di 10 besar dan mengikuti munaqasah awalpun, Alwi sudah sangat bersyukur. Awalnya dikira hanya akan sampai di 10 besar, sebelum kemudian namanya disebut sebagai finalis (3 besar) dan berhak atas pelatihan menulis buku selama 2,5 bulan tersebut.
Sementara itu, Wildan Yusuf Fathoni, mengambil tema fikih lingkungan karena ia memang gemar dan kagum dengan fikih. Sedangkan masalah lingkungan tentu setiap insan yang berakal telah mengetahui bagaimana parah dan daruratnya masalah itu di masa kini. Fathoni menilai masih kurang sekali buku yang membahas fikih lingkungan, terutama yang lahir dari kalangan santri, khususnya santri milenial. Padahal santri dan pesantren juga memiliki tanggung jawab dalam hal ini, tanggung jawab keilmuan serta menjaga alam itu sendiri.
Dalam proses penggarapan, Sebelum menulis setiap judulnya, Fathoni melakukan diskusi dengan kawan-kawan yang ada di Pondok Lirboyo. Mengenai referensi, untuk sumber fikih, tentu Fathoni menggunakan kitab-kitab yang Mu’tabarah (diakui) dan otoritatif. Sedangkan untuk data, ia mengambil dari beberapa jurnal, laporan, statistik, serta wawancara ke beberapa pihak terkait. Yang tak bisa ia tinggalkan adalah merujuk pada keputusan bahtsul masail tentang isu lingkungan yang telah banyak digelar. Rumusan serta referensi yang tercantum di sana sangat membantu, segar, juga kuat, karena dibahas oleh orang-orang yang lebih kompeten bicara fikih daripada penulis sendiri.
Akhirnya, proses demi proses telah mereka lewati semua. Dan kini, kami tidak sabar menunggu kelahiran dari karya-karya mereka untuk dipersembahkan kepada publik. Semoga menjadi amal jariyah. Aamiin.