Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Gus Mus Bercerita Ihwal Perjalanan Hidupnya

  • Gus Mus memang sosok magnetis. Ia figur yang lahir dari rahim pesantren tradisional, namun tak batasi diri dengan aktivitas di luar pesantren. Selain jadi aktif di Twitter dan Facebook, ia juga produktif dalam menulis buku dan puisi, serta melukis.

Mata Gus Mus terpejam, bibirnya bergerak-gerak, sedang tangannya tak henti memutar biji tasbih. Semua memerhatikan ia berdoa. Ketika matanya terbuka, orang-orang lantas berebut mencucup tangannya.

Kala itu ia mengenakan pakaian kebesarannya: jubah putih, semacam baju rok panjang sampai dengkul, serta serban dililit di kepala.

Ia baru selesai ceramah dalam pengajian rutin di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. Temanya: Khalid bin Walid, seorang panglima perang terkemuka dalam sejarah peperangan Rasulullah.

Selain santri, pengajian itu dihadiri oleh banyak jemaah dari berbagai daerah. Misalnya Kudus, Blora, Cirebon dan Lumajang.

Begitulah kegiatan Gus Mus tiap Jumat. Mengisi forum pengajian yang dirintis sang ayah Bisri Mustofa sejak lama.

“Sepanjang ndak ada acara penting di luar, saya pilih di rumah untuk mengaji, menerima tamu dan juga keluarga,” ujar pria bernama tulen Ahmad Mustofa Bisri ini saat wawancara dengan Heru Triyono dan fotografer Wisnu Agung di rumahnya, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Jumat siang (24/2/2017).

Kami diterima di ruang tamu beralas karpet tanpa kursi dan perabot. Sebelumnya, orang datang silih berganti dengan aneka keperluan. Dari yang menyampaikan undangan diskusi, minta baca doa dan puisi, sampai sekadar selfie. “Itu (selfie) jadi ritual baru,” katanya.

Ada dua sajian untuk siapa pun yang datang: kopi hitam dan kue Khong Guan.

Gus Mus memang sosok magnetis. Ia figur yang lahir dari rahim pesantren tradisional, namun tak batasi diri dengan aktivitas di luar pesantren. Selain jadi aktivis di Twitter dan Facebook, ia juga produktif dalam menulis buku dan puisi, serta melukis.

Tahun 2003 ia melahirkan lukisan kontroversial: Berzikir Bersama Inul, yang dipamerkan di Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya. Lukisan itu memperlihatkan sosok perempuan tengah bergoyang di tengah lingkaran 15 kiai yang lagi duduk. “Maksudnya mengkritik budaya materialisme yang sudah mendarah daging,” ujarnya.

Oleh banyak orang karya-karya Gus Mus dinilai konsisten menyuarakan Islam yang mencerahkan, bahkan sejak Orde Baru. Sikap politiknya juga tak banyak berubah sampai sekarang: membela nasib rakyat kecil.

Kini, ia mendukung petani mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng di Rembang terhadap pembangunan pabrik semen. “Tetaplah melawan dengan kesederhanaan,” pesan Gus Mus kepada para petani.

Didasari sikap dan karyanya itu Gus Mus kami pilih sebagai sosok yang mengisi rubrik Figur kali ini. Selama satu jam setengah ia meladeni pertanyaan-pertanyaan kami–sebelum dan setelah salat Jumat.

Hampir tak ada yang berubah dari dirinya di usia 72, kecuali rambutnya yang memutih. Ia tetap teman berbincang yang asyik, tutur katanya nyaris tanpa nada tinggi, bahkan saat menyampaikan hal yang ia benci.

Tapi satu hal yang beda. Gus Mus tak lagi isap tembakau. Sebelumnya ia identik dengan rokok dan pipa gadingnya ketika berdiskusi. “Aku sudah berhenti total delapan tahun lalu,” ujar pemilik nama pena M. Ustov Abi Sri ini.

Berikut hasil wawancara Beritagar.id yang dibagi dalam tiga bagian: masa Gus Mus kecil, masa sekolah di Mesir, serta saat mulai melukis dengan jicing, abu nikotin yang tersisa dalam pipa rokok.

Persaingan dengan Muhammad Cholil Bisri
Gus Mus kecil tumbuh di lingkungan pesantren pimpinan sang ayah. Nama gaulnya Pesantren Rembang, tapi resminya bernama Pesantren Raudlatut Thalibin–taman para penuntut ilmu.

Sebelum nyantri, dia masuk Sekolah Rakyat bersama kakaknya, Muhammad Cholil Bisri, yang wafat pada 2004.

Dengan kakaknya ia sering kelahi. Itu karena usia mereka tak terpaut jauh, yakni dua tahun. “Yang satu merasa anak pertama, yang satu merasa ragil, karena adik-adik ketika itu belum lahir,” tutur Gus Mus–merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.

Baca juga:  Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

Bedanya dia dan Cholil adalah soal lokasi main dan pergaulan. Gus Mus lebih suka main di luar pondok alias ke kampung-kampung. Sementara Cholil aktif di pondok.

Karena itu banyak teman sebaya Gus Mus yang tidak tahu bahwa ia merupakan anak kiai, yang di Jawa biasa dipanggil Gus. “Teman kampung panggil saya Mus saja. Tapi kalau di pondok saya dipanggil Gus,” ujarnya.

Panggilan Gus biasa diberikan untuk anak laki-laki dari kiai pengasuh pesantren. Sementara Mus adalah kependekan dari Mustofa. Nama itu diambil dari kakeknya–ulama yang juga bernama Mustofa Bisri. Ayahnya, bernama Bisri Mustofa dan ibunya Ma’rufah.

Gus Mus mengklaim dirinya sebagai anak yang andal main kelereng di kampungnya. Ia ingat betul beberapa jenis peraturan permainan itu. Di antaranya pot-potan dan ban-banan atau jarum-jaruman.

Selain kelereng, ia juga suka main sepak bola. Idolanya ketika kecil adalah Andi Ramang, penyerang PSM Makassar yang legendaris. Gus Mus mengaku jago bermain, baik itu di atas rumput, pasir, bahkan di jalanan. Saking hobi, ia kerap bermain bola sampai hari gelap sehingga dicari-cari oleh orangtuanya. “Pokoknya, kalau Cholil bisa bola, saya juga harus bisa bola he-he,” ujarnya.

Keduanya memang terbiasa bersaing. Termasuk dalam hal menulis. Hati Gus Mus panas jika tulisan Cholil dimuat media koran lokal dan guntingan kolomnya ditempel di tembok kamar–ketika mereka nyantri di Krapyak, Yogyakarta. “Cholil memamerkan koran itu ke saya sebelum ditempel,” tuturnya.

Ia pun termotivasi untuk bisa menulis juga di media lokal. Ketika berhasil dimuat, guntingan koran ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak di tembok kamar. Kebetulan keduanya satu kamar.

Namun, berbeda dengan Cholil yang memakai nama asli, di awal-awal menulis, Gus Mus memakai nama samaran: M. Ustov Abi Sri sebagai pseudonimnya. Motivasinya untuk menghindari bayang-bayang nama besar ayahnya.

Gus Mus sepertinya sudah nyeleneh sejak dulu. Ketika masih duduk di Sekolah Rakyat, ia mangkir ketika diminta ayahnya belajar di madrasah bersama sang abang–pada siang hari. Ia ogah ikut kelas karena gurunya galak.

Ia pilih sembunyi di luar kelas karena malas hadapi guru galak itu. Agar terlihat sekolah, Gus Mus ikut bermain dengan teman-teman yang lain pada jam istirahat. Namun, ketika jam istirahat habis dan waktunya masuk kelas, ia kembali sembunyi.

Asumsi ayahnya ketika itu Gus Mus sudah bisa menulis Arab karena belajar di madrasah. Sebab itu ia langsung dimasukkan kelas III Pesantren Ibtida’iyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM), Lirboyo, Kediri.

Yang lucu, ketika ada pelajaran I’lal (ilmu tata bahasa Arab) Gus Mus kebingungan. Ia jadi bahan tawa teman-temannya di pesantren, termasuk sang kakak, ketika di pelajaran itu justru menulis dengan huruf latin. “Akhirnya aku belajar menulis Arab dari papan-papan pengumuman di pesantren,” kisahnya.

Sebenarnya hubungannya dengan Cholil cukup akrab jika tidak sedang berantem. Mereka kerap mengaji dan main bola bersama. Tapi kalau hubungan sedang tidak baik, sampai nama panggilan pun jadi berubah. “Kalau lagi baik, Cholil panggil saya dek, tapi kalau marahan ya Mus doang,” cerita Gus Mus.

Permusuhan keduanya berhenti ketika Cholil sekolah ke Arab Saudi. Gus Mus mengaku kangen saat berpisah. Sejak itu mereka jarang bertengkar. “Cholil paling dekat dengan saya setelah Ibu. Kalau dengan Bapak saya agak berjarak,” ujarnya.

Baca juga:  Bagaimana Gus Dur Mengenalkan Gus Mus kepada Kaum Seniman?

Gus Mus mengakui yang mewarisi kepandaian pidato ayahnya adalah Cholil. Jika rindu ayahnya, ia mengatakan, cukup mendengar Cholil berceramah atau mengaji. “Mirip sekali suaranya (Cholil),” kata Gus Mus.

Lionel Messi Bermain di Mesir
Di Mesir, Gus Mus diterima di Studi Keislaman dan Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia tinggal di asrama Bu’uts, yang banyak dihuni pelajar luar negara, termasuk Indonesia. Tiap pelajar menempati kamar masing-masing, Tapi tanpa pintu.

Bu’uts adalah asrama mahasiswa yang terletak di distrik Abbasea Kairo Mesir. Asrama ini menampung mahasiswa Al-Azhar yang datang dari berbagai belahan dunia, guna menimba ilmu dengan jaminan beasiswa dari Al-Azhar.

Di sana ia bertemu Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Penggerak Organisasi Mahasiswa Indonesia, lalu Abdullah Syukri Zarkasyi dan Nunung Mokoginta, juga Quraish Shihab. “Semuanya gandrung bola,” ujar Gus Mus.

Sejak nyantri, Gus Mus memang dikenal memiliki kemampuan menjebol gawang lawan. Ia mengaku sempat bermain untuk PSIM Yogyakarta–saat nyantri di Krapyak–sebagai playmaker.

Di tim sepak bola Bu’uts, ia bersama Syukri dan Nunung jadi trisula di bagian depan. “Dulu posisi dan gocekan saya itu mirip Lionel Messi, tidak ada yang mengalahkan,” klaim Gus Mus.

Selepas tim Bu’uts bermain, biasanya Gus Dur menganalisa pertandingan. Gus Dur bilang, dirinya kadang terlalu lama menggiring bola. “Saya bilang ke dia, sampean saja yang masuk ke lapangan, jangan analisa saja ha-ha.”

Tim Bu’uts ini dilatih pelatih asal Afrika. Gus Mus ingat latihannya diadakan tiap Jumat. Lawan-lawan mereka cukup berat. Selain tim-tim dari Mesir dan Afrika, terkadang mereka menghadapi dari Asia juga, termasuk Malaysia dan Thailand. “Saya sempat ditawar tiga klub Mesir jadi pemain profesional, tapi saya tidak mau.”

Dari uji tanding sepak bola itu Gus Mus dapat uang saku tambahan. Karena uang beasiswanya yang hanya 8 Pound Mesir per bulan ia nilai tak cukup.

Ia pun harus mengatur uangnya secara ketat. Apalagi dirinya bisa menghabiskan sebanyak 6 Pound Mesir hanya untuk rokok saja. “Merek rokoknya Cleopatra, enak seperti kretek,” ujarnya.

Sebab itu ia memburu hadiah dari pertandingan bola agar bisa tetap beli rokok. Jumlah hadiahnya cukup lumayan: 10 Pound Mesir. Tapi dibagi-bagi dengan tim.

Untuk makan, Gus Mus punya strategi untuk hemat. Jatah dari asrama berupa nasi, lauk dan roti setiap hari, ia bagi dua sesi. Paginya dia makan nasinya saja, sementara roti ia simpan untuk makan malam.

Sayangnya roti tersebut cepat keras. Maka itu, sebelum roti dilahap, ia dan temannya pergi ke ruang cuci dan menyetrika rotinya biar lembut kembali.

Menurut Gus Mus, saat kuliah di Mesir pada era 60-an itu, ada dua orang terkenal dari Indonesia. Yaitu Gus Dur dengan intelektualnya dan dirinya sendiri dengan kelihaiannya bermain bola. “Saya juga dikenal mahir main badminton.”

Affandi dan Politik Kiai
Gus Mus muda kerap menemani orang cacat berkursi roda di sudut Kota Rembang. Dia bukan pengemis, tapi merupakan pelukis wajah. Dari orang itu dirinya tahu bagaimana cara gambar dan mengarsir wajah dengan pensil.

Sejak kecil ia memang suka gambar. Kertas apa saja yang kosong akan dijadikannya kanvas, termasuk pinggir-pinggir halaman kitab kuning.

Bakat lukisnya makin terasah saat kuliah. Ia belajar dari Affandi ketika bertemu di Mesir. Saat itu sang maestro sedang dikirim Pemerintah Jepang keliling dunia untuk melukis, termasuk ke Kairo, Mesir, kota tempat sekolahnya.

Baca juga:  Katakan "Tidak" pada Rasisme!

Sebagai mahasiswa, Gus Mus menawarkan diri jadi pemandu Affandi selama di sana. Hal itu disetujui Kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI). Jadilah ia menemani Affandi melukis di Mesir beberapa kali.

Ia melihat sendiri Afandi melukis dengan beberapa asistennya. Menurut Gus Mus, Affandi melukis seperti budayawan Zawawi Imron saat menulis puisi. “Kayak kesurupan, apa yang ada di kepala spontan saja dituangkan dalam karya,” tuturnya.

Karena tahu Gus Mus pandai melukis, Gus Dur pun kemudian meminta dia menggambar ilustrasi di majalah Pemuda Pelajar Indonesia–jika ada sisa halaman kosong.

Gus Mus terus melukis ketika kembali ke Tanah Air. Kreativitasnya semakin keren. Saat masih isap tembakau, ia melukis dengan jicing, abu nikotin yang tersisa dalam pipa rokok.

Ceritanya bermula saat ia hendak kirim surat. Jicing itu menetes ke amplop, lalu ia oles-oles abunya dengan jari. Ternyata jadi gambar yang bagus. Kini suplai jicing tak ada lagi, karena dirinya telah berhenti merokok.

“Kiai jangan cuma mulia di mulut saja” Gus Mus

Pada 2003, Gus Mus melahirkan lukisan yang kontroversial. Judulnya Berzikir Bersama Inul, yang memperlihatkan perempuan tengah joget di tengah para kiai berserban. “Itu simbol kritik atas budaya materialisme yang sudah mendarah daging,” ujar Gus Mus.

Selain untuk pejabat, kritiknya juga ditujukan untuk para kiai, yang ketika itu ia anggap tidak imbang antara semangat beragama dan pendalamannya. “Belajar itu harus menyeluruh,” katanya.

Ketidakseimbangan itu yang juga dilihatnya saat ini untuk kiai di kota-kota. Gus Mus merasa bingung dengan sikap politik kiai di kota yang cenderung eksklusif. Berbeda dengan kiai desa yang justru inklusif dan menerima perbedaan. “Kiai jangan cuma mulia di mulut saja,” tuturnya.

Menurut Gus Mus ada perbedaan kiai desa dan kota. Kiai di desa, ia mencontohkan ayahnya, di samping memiliki ilmu agama mendalam, juga memiliki pergaulan luas, tanpa pandang suku dan agama.

Bahkan ayahnya itu pernah menyalati jenazah non muslim bersama para santrinya. Ketika itu yang meninggal adalah orang Tionghoa yang merupakan sahabat ayahnya.

Saat selesai menyalati, sang ayah ditanya seorang non muslim. Kenapa salat jenazah yang dilakukan itu empat rakaat, bukan dua seperti biasanya? “Karena orang yang meninggal ini spesial,” kata sang ayah kepada orang itu.

Padahal yang dilakukan ayahnya bersama santri adalah hanya salat zuhur, bukan jenazah. “Ayah saya itu panjang akal. Hal itu dilakukan untuk menghormati saja,” cerita Gus Mus

Kiai yang tinggal di desa bukan berarti buta teknologi. Gus Mus tercatat cukup eksis di Twitter dan Facebook. Padahal tak ada niat memakai media sosial untuk dakwah.

Statusnya di media sosial awalnya cuma ditujukan untuk anak dan cucunya pada setiap Jumat. “Bahwa akhirnya terjadi dialog di medsos dari status saya, silakan saja,” tuturnya.

Baginya bergaul di media sosial itu penting. Ia bisa mengambil manfaat dengan melihat cuitan-cuitan dari ahli pertanian hingga presiden. Gus Mus mengaku belajar sendiri menggunakan media sosial dengan membeli bukunya. “Jangan pernah berhenti belajar,” katanya.

**-**

Pukul 13.30 WIB tiga pria berbaju koko putih mengatur antrean para tamu yang datang dengan bus agar tak berdesakan masuk aula pesantren. Satu per satu mereka mencium punggung telapak tangan kanan Gus Mus, yang sudah mengganti serbannya dengan kopiah hitam. Gus Mus beraktivitas lagi. Kami pun pamit pulang.

Artikel ini pertama kali dimuat di Beritagar

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top