Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an KH Ahsin Sakho Muhammad mengingatkan umat Islam agar setelah keluar dari Ramadhan, hendaklah meningkatkan suasana ketenteraman hati dengan senantiasa berdzikir kepada Allah.
Sebab jika demikian, akan menjadikan hati menjadi selalu awas atau waspada terhadap kemungkinan berbuat buruk akibat hawa nafsu. Dalam setiap aktivitas dan kegiatan di luar Ramadhan, asma Allah hendaklah selalu dilantunkan.
“Misalnya masuk ke tempat kerja dengan membaca bismillahirrahmanirrahim. Begitu juga ketika selesai kerja kita ucapkan alhamdulillahi rabbil alamin. Maka hati kita akan menjadi awas, tidak ke mana-mana, tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu kita sendiri. Dengan demikian kita akan selalu berada pada situasi yang sangat baik,” tutur Kiai Ahsin dalam Pesantren Ramadhan Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Senin (10/5).
Sebagai bekal untuk keluar dari Ramadhan, Kiai Ahsin memberikan cara. Salah satunya adalah dengan mengingat serta mengamalkan ayat Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yakni Iqra’ bismirabbika. Menurutnya, dua kata itu memiliki makna yang sangat dalam.
“Iqra’ adalah kerjaan intelektualitas dan bismirabbika itu kerjaan spiritualitas. Artinya sebagai kaum Muslimin, segala sesuatu perlu mengatasnamakan Allah. Kita membaca bismillahirrahmanirrahim ketika mau bekerja, begitu juga ketika kita mau belajar. Hendaklah selalu bersama Allah,” katanya.
Mengikutsertakan Allah dalam segala aktivitas itu, kata Kiai Ahsin, sebagai upaya mengingat kebesaran-Nya yang menciptakan berbagai hukum dan ketetapan yang ada di bumi. Ditegaskan, jika tanpa kehadiran Allah tidak mungkin manusia akan mampu menciptakan teknologi seperti komputer, motor, dan mobil.
Jika senantiasa mengingat Allah, setelah Ramadhan nanti, diharapkan dapat menciptakan suatu peradaban yang baik. Disebut oleh Kiai Ahsin sebagai hadharah rabbaniyah atau peradaban yang berdimensi ketuhanan.
“Kita inginkan agar peradaban ke depan, bukan peradaban yang murni menjadi peradaban yang material, tetapi peradaban yang kita inginkan adalah berbasis pada nilai-nilai ketuhanan. Itu adalah hadharah rabbaniyah, peradaban yang berketuhanan,” ucap Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) 2006-2014 itu.
Hal tersebut sangat berkesesuaian dengan kehidupan umat Islam di Indonesia yang memiliki dasar Pancasila dalam sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kiai Ahsin, sila pertama tersebut bermakna agar jangan sampai melupakan peran Tuhan dalam semua kegiatan yang dilakukan.
Karena tidak melupakan peran Tuhan maka hendaknya dimanifestasikan dalam peran andil yang siginifikan kepada kemanusiaan. Jika tidak memungkinkan, minimal memberikan andil dalam perjalanan perkembangan perusahaan sebagai tempat mencari rezeki.
“Sehingga perusahaan kita, Telkomsel ini, dari waktu ke waktu bisa menciptakan satu unit-unit baru, menciptakan satu kemajuan yang baru dari semua segi. Baik dari segi manajerial maupun dari segi teknologinya. Karena kita hidup itu hanya sekali, maka hendaklah kita menjadi orang yang berarti,” kata Kiai Ahsin.
Ia juga mengajak seluruh jajaran Telkomsel untuk bergerak secara bersama-sama tanpa merendahkan yang lain. Sebab seluruh manusia, tak terkecuali jajaran di Telkomsel, laksana satu jasad sehingga semua harus bergerak sesuai dengan spesifikasinya masing-masing.
“Semuanya itu tetap selalu membaca, karena merupakan bagian dari cara kita untuk bisa berkembang. Marilah kita bersama-sama, hidup kita hanya sekali hendaklah kita sangat berarti dengan keandalan, kepandaian, dan kepintaran yang kita punyai sehingga kita bisa menciptakan hal-hal baru yang bisa bermanfaat bagi manusia,” pungkas Rais Majelis Ilmu Jamiyah Qura wal Huffadz Nahdlatul Ulama itu.