Dewan Guru Majelis Telkomsel Taqwa (MTT) KH Abdul Muis Sahal mendorong para pejabat untuk bersikap tawassuth atau moderat. Artinya, para pejabat hendaknya berorientasi dunia dan akhirat dalam mengemban amanah untuk mengurangi berbagai tindakan yang melanggar hukum sebagaimana yang selama ini terjadi.
“(Tawassuth itu) kita berpikir dunia, juga kita berpikir akhirat. Saya kira itu penting agar kita tidak ekstrem, melulu mengejar akhirat, mengabaikan dunia, juga kita tidak terjebak ekstrem hanya mengejar akhirat dan mengabaikan dunia,” kata Kiai Muis dalam Pesantren Digital MTT, pada Senin (11/10/2021).
Ia memberikan beberapa contoh dari kisah para nabi yang bisa dipetik berbagai pesan moral, untuk dijadikan teladan bagi para pejabat di Indonesia. Di antaranya Nabi Muhammad yang bertugas sebagai utusan Allah sekaligus pedagang.
“Di samping beliau melakukan banyak ibadah kepada Allah, juga beliau tidak abai terhadap persoalan-persoalan dunia,” tambah Kiai Muis.
Kiai Muis juga memberikan contoh sikap moderat antara dunia dan akhirat dari Nabi Sulaiman. Sebagai raja yang berlimpah kekayaan, Nabi Sulaiman tetap memberikan porsi-porsi ibadah kepada Allah secara maksimal.
“Itu sebagai bentuk penghambaan Nabi Sulaiman kepada Allah melalui ibadah-ibadah ritual dan ibadah lainnya,” terangnya.
Begitu pula Nabi Yusuf yang memiliki jabatan sebagai seorang pejabat negeri atau Kiai Muis menganalogikan sebagai menteri. Saat memegang amanah itu, Nabi Yusuf tidak sekalipun lalai sebagai hamba.
“Persoalan-persoalan dunia yang dihadapi Nabi Yusuf diurus dengan baik. Persoalan-persoalan privasi antara Nabi Yusuf dengan Allah juga dilakukan dengan khusyuk dan serius,” jelas Kiai Muis.
Persoalan akhirat dan dunia tidak membuat Nabi Yusuf dan Sulaiman terjebak di antara salah satu kepentingan dunia atau akhirat. Namun, keduanya justru memberikan contoh baik karena mampu memberikan porsi sama antara urusan dunia dan akhirat.
“Jabatan yang mereka emban, tidak semata untuk proyeksi duniawi, tetapi juga berorientasi ukhrawi. Sebab jabatan dan kekayaan yang mereka miliki, ini bukan tujuan akhir, bukan ghayah, tetapi sebatas media atau washilah untuk meraih tujuan sejati yang diridhoi Allah,” ujarnya.
Jabatan dan kekayaan, kata Kiai Muis, bukan sekadar rezeki yang mesti disyukuri, tetapi juga harus dipahami sebagai sebuah amanah yang kelak bakal ditanya dan diadili di hadapan Allah di akhirat.
“Saya kira, kalau pejabat-pejabat kita sadar, terhadap sikap tawassuth ini dan selalu mengingat Allah maka tindakan-tindakan yang melawan hukum atau pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh para pejabat, para petinggi, akan bisa diminimalisasi. Sebab kuncinya adalah kita harus ingat dan sadar, bahwa kita di dunia ini selalu diawasi dan dipantau oleh Allah,” tegasnya.
Kiai Muis mendorong umat Islam agar keseimbangan dunia dan akhirat tersebut, dapat selalu diupayaan dengan sikap moderat. Tujuannya agar dunia dan akhirat itu bisa diraih dengan kebahagiaan.
“Kita semua harus bertanggung jawab dan sadar. Sebab pada prinsipnya, masing-masing kita adalah khalifatullah atau delegasi Allah di muka bumi yang punya fungsi sama, sebagai pemimpin. Hanya mungkin, tugasnya saja yang berbeda,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sikap moderat itu adalah pilihan tengah di antara dua pilihan. Orang yang mampu bersikap moderat, tidak akan bersikap tatharruf atau keras dan tidak tasahul atau liberal.
Diharapkan dengan sikap ini, Islam bisa diterima di segala lapisan masyarakat. Rasulullah bersabda, ‘khairul umuri awsathuha’ yang artinya adalah sebaik-baik persoalan, ketika tidak ada pilihan, maka harus mengambil pilihan tengah.
“Ini menjadi pengingat buat kita semua, supaya bisa seimbang antara orientasi dunia dan akhirat. Allah juga mengajarkan kita semua, bagaimana kita menjadi baik dan bahagia, ketika hidup di dunia dan di akhirat. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar,” jelas Kiai Muis.
Menurutnya, dunia dan akhirat bukanlah pilihan salah satu. Akan tetapi keduanya harus disikapi dengan baik secara bersamaan. Meski demikian tidak boleh untuk dicapai salah satunya dan mengabaikan salah satu dari keduanya.
“Rasulullah mengingatkan bahwa kita tidak akan menjadi orang baik ketika meninggalkan persoalan dunianya untuk mengejar akhirat. Juga tidak akan disebut orang baik, ketika meninggalkan dunia hanya untuk menggapai akhirat,” katanya.
“Jadi, porsi keduanya antara dunia dan akhirat itu harus sebanding, sehingga antara dunia dan akhirat itu bisa stabil. Ini yang selalu diajarkan oleh para guru kita, para kiai kita, di samping kita beribadah juga kita bekerja. Begitu juga sebaliknya,” pungkas Kiai Muis.