Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ketika Gus Dur Menulis Kiai Sahal

Ketika Gus Dur Menulis Kiai Sahal

Dalam rangka sewindu haul almaghfurlah Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ALIF.ID akan memuat ulang tulisan-tulisan beliau dari berbagai sumber. Tujuan dari pemuatan ini adalah mengingat kembali bahwa Gus Dur adalah seorang yang gigih menulis, dari mulai muda hingga jelang akhir hayatnya.

Mengingat Gus Dur sebagai seorang penulis adalah mengingat Gus Dur sebagai sosok pembalajar. Beliau di tengah puncak karirnya sebagai Ketua Umum PBNU, bahkan saat menjadi presiden, puncak dari segala puncak karir politik, tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah berhenti menulis, bahkan hingga lengser. Inilah semangat yang ingin kami bagi kepada khalayak luas.

ALIF.ID akan memuat tulisan-tulisan Gus Dur yang mengetengahkan tema kebudayaan, seni, politik, dan tentu saja agama. Tulisan Gus Dur membicarakan tokoh, teman, hingga guru-gurunya, tidak luput akan kami muat, karena inilah salah satu yang menarik dari tulisan-tulisan Gus Dur: menulis sosok yang sangat dia mengerti, dia hormati, dan dia cintai.

Seri pertama ini, ALIF.ID menurunkan tulisan Gus Dur tentang Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, yang pada hari ini, 9 Desember sedang diperingati haulnya. Tulisan Gus Dur yang aslinya berjudul “Kiai Pencari Mutiara” ini pertama kali dimuat di majalah Tempo, 16 Oktober 1982. Lalu dimuat kembali dalam kumpulaan tulisan Gus Dur berjudul “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” (LKiS, 1999). Demikian, selamat menikmati. Semoga bermanfaat. Salam takzim.

Kiai Pencari Mutiara

Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, Kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga keadaan fisiknya: kurus-kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.

Kebiasaan merugikan itu mungkin datang dari “kebiasaan kiai” untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajak berbincang tentang banyak hal. Belum lagi kedudukan sebagai Sekretaris Syuriah NU Wilayah Jawa Tengah, yang membawa tambahan kerja rutin menerima tamu atau mengikuti rapat yang menghabiskan waktu.

Baca juga:  Perihal Semut dalam Tafsir Hamka

Lahir, dibesarkan, dan juga akhirnya menetap di “desa pondok” Kajen di Kabupaten Pati—sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain—Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, Kiai Mahfudz, yang juga “kiai ampuh”, adik sepupu almarhum Ra’is ‘Am NU, Kiai Bisri Syansuri.

Kemudian, ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan “kiai ampuh” lain, seperti almarhum Kiai Zubair Serang, Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru’ (bermoral luhur).

Tidak heran kalau Kiai Sahal lalu “menjadi jago” dalam usia muda. Belum lagi berusia 40 tahun ia telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam forum-forum fiqh. Ini terbukti pada pelbagai sidang bahtsul masa’il tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah secara teratur—sidang yang menampung masalah yang muncul dari masyarakat.

Bulan lalu di Moga, Pemalang, misalnya, Kiai Sahal muncul kembali dengan cemerlang. Sekian ratus kiai membahas sebuah masalah pelik: kawin lari. Haramkah, atau halal? Bagaimana kedudukan ayah atau wali yang menurut mazhab memiliki wewenang menetapkan jodoh seorang anak gadis?

Bergiliran para kiai berbicara berbagai pendapat dengan argumennya, kemudian diserahkan kepada sebuah tim perumus untuk memberikan keputusan redaksional di ujung pertemuan dua hari.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Orang Indonesia ke Bulan

Sementara menunggu, Kiai Sahal diminta berbicara sekitar masalah itu kepada mereka yang tidak turut bersidang dengan panitia perumus. Dalam pidato tanpa persiapan itulah tampak kebolehan kiai. Ia berkali-kali menyebutkan kutipan panjang dalam bahasa Arab dari Kitab Syarqawi, salah satu kitab utarna mazhab Syafi’i, tanpa melihat catatan sekalipun.

Pendeknya, masalah kawin lari harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Kompleksitas hukum fiqh dan berbagai jawaban yang diberikannya terhadap kasus yang berlainan satu dari yang lain, menjadi menonjol dalam penyajian Kiai Sahal itu.

Gambaran sepintas tentang “cara kerja” dan orientasi yang serba legal-formal yang dianut Kiai Sahal itu secara sepihak tentu terasa kaku. Tidak tanggap terhadap kehidupan secara umum, hanya pendekatan kasuistik. Tidak memiliki “filsafat kehidupan” yang luas, atau “kerangka humanistik” yang besar. Tidak jelas kerangka kemasyarakatan (societal frameworks, al-manhaj al-ijtima’t) yang dicoba dikembangkannya.

Anehnya, kiai berarnbut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup “aneh” bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara Jawa.

Mula-mula menerima “masukan baru” berupa proyek pengembangan masyarakat, dibawakan oleh LP3ES dari Jakarta. Perhatiannya diminta untuk memimpin kerja yang dulunya tidak pernah dipikirkan kiai pesantren, seperti pelestarian lingkungan (karena ada pencemaran oleh rnata pencaharian utama di Desa Kajen itu, yaitu membuat tepung tapioka), memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk desa (tungku Lorena yang menghemat energi dan sebangsanya), dan memulai usaha merintis pengembangan organisasi ekonomi yang lebih mandiri di kalangan rakyat pedesaan.

Usaha bersama sebagai wadah pra-koperasi diprakarsainya dalam usaha membuat dan kemudian memasarkan “krupuk tayamum” (digoreng dengan pasir) dari bahan dasar tapioka. Cukup lumayan, mampu menyerap tenaga kerja sekian kepala keluarga yang tadinya menganggur di desa miskin itu.

Baca juga:  Lailatul Qadar dalam Al-Qur'an (1/3)

What Makes Sammy Run? Apa yang membuat Sammy berlari? Dan apa yang menggerakkan Kiai Saha!? Bagaimana kiai yang sering dibuat bingung oleh istilah Inggris atau Belanda itu mencapai “kearifan” di atas? Dan berani mempertaruhkan kewibawaannya di kalangan sesama ulama pesantren dengan menerima kehadiran seorang “bule” Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa lnggris di pesantrennya?

Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau diperlakukan secara menyeluruh (bahasa sekarang, komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya’ Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur hubungan dengan “orang dzimmi” (orang non-muslim)?

Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki?

Toh, Kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. Terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, Kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan al-Qur’an dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya ataupun pemerintah, karena takut “kecampuran barang haram”, dan begitu dihormati tokoh legendaris Mbah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar “rangkaian mutiara” seperti yang dipungut Kiai Sahal itu, untuk masa lampau ataupun masa depan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top