Tulisan menyambut Munas Alim Ulama yang keempat ini menurunkan tulisan lama almarhum Gus Dur. Kenapa tulisan ini kami muat ulang?
Pertama, tulisan ini menyangkut sejarah ulama Lombok, baik kaitannya dengan Nahdlatul Ulama, ataupun dengan ormas Islam yang tumbuh lahir dan tumbuh di Lombok, yakni Nahdlatul Wathan. Kedua, dalam tulisan ini kita dapat mengambil pelajaran bagaimana seorang Gus Dur, ketua umum PBNU waktu itu, begitu takzim dan tidak ragu mempromosikan ulama lokal dan tradisional ke pentas nasional. Artinya tulisan ini relevan dan tetap aktual.
Semoga tulisan Gus Dur berjudul Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU yang termuat di buku Gus Dur: Kyai Nyentrik Membela Pemerintah terbitan LKiS Yogyakarta (1997) ini bisa menjadi refleksi kita semua. (Redaksi)
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat dua figur ulama besar yang sangat menonjol dan berpengaruh, yaitu Tuan Guru Zainuddin (Pemimpin Nahdlatul Wathan) dan Tuan Guru Faisal (Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama).
Tuan Guru Faisal (70) baru saja meninggalkan kita 3 Februari lalu di Lombok. Saya ingin mengenangnya berkenaan dengan pribadinya yang sangat menarik. Tuan Guru untuk menunjukkan rasa cinta pada organisasi, ternyata, menempuh jalan yang berliku-liku.
Di NU, Tuan Guru Faisal adalah generasi kedua NU di NTB. Pusat NU NTB adalah di Lombok. Pengembangan NU di sana dengan dua sistem, yakni keguruan dan pengajian. Dari aspek historis, yang membawa NU ke Lombok adalah seorang ulama keturunan Arab, Syaikh Abdul Manan. Itu terjadi pada tahun 1930-an. Syaikh Abdul Manan diutus oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari Rais Akbar NU untuk membuka wilayah NU Lombok. Waktu itu diistilahkan konsul NU Lombok, karena belum ada propinsi. Otomatis Syaikh Abdul Manan menjadi pimpinan pertama NU di Lombok.
Setelah Syaikh Abdul Manan meninggal, kepemimpinan NU dipegang oleh Tuan Guru Zainuddin (yang kini pimpinan Nahdlatul Wathan itu) dan Tuan Guru Faisal sebagai orang kedua. Waktu itu NU masih ada di dalam Partai Masyumi. Maka kedua ulama itu, otomatis selain memimpin NU, juga memimpin Masyumi.
Ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952, kedua Tuan Guru ini bersepakat membagi-bagi tugas. Tuan Guru Zainuddin meminta kepada muridnya, Tuan Guru Faisal tetap dalam NU untuk menggantikan posisinya. Sedangkan Tuan Guru Zainuddin sendiri berkonsentrasi di Masyumi. Langkah dan strategi ini diambil seiring dengan konstelasi politik zaman liberal itu. Tujuannya, agar Masyumi dapat merebut kedudukan bupati-bupati dan mempertahankannya, sehingga PNI yang merupakan pesaing politiknya tak berdaya mengambil kursi pemerintahan di tingkat kabupaten di wilayah NTB. Tentu, langkah itu, untuk kepentingan umat. Inilah kerja sama yang sangat baik antara Masyumi dan NU.
Ternyata, pada Pemilu Pertama 1955, di Lombok Masyumi dan NU berimbang. Dengan demikian, lalu terdapat dua entitas politik yang dipimpin oleh guru dan murid. Entitas politik Masyumi yang dipimpin Tuan Guru Zainuddin dan entitas politik NU yang dipimpin oleh Tuan Guru Faisal—yang notabene adalah murid Tuan Guru Zainuddin itu. Dari sini mulai terjadi perbedaan institusional di antara mereka—meskipun tentu hubungan guru dan murid tetap berjalan dengan baik.
Ketika Orde Baru, Tuan Guru Zainuddin masuk dalam lingkungan Golkar untuk merebut kepemimpinan politik di daerahnya waktu itu. Sementara Tuan Guru Faisal tetap di NU yang waktu itu masih berstatus partai politik. Pada kampanye Pemilu 1971, ketika parpol pada umumnya, termasuk NU, terlibat dalam pola hubungan yang kurang pas dengan Golkar maka hubungan guru-murid itu menjadi renggang. Tetapi, demi membela NU yang dicintainya, Tuan Guru Faisal rela meniti kerenggangan hubungan tersebut. Padahal urusan hubungan guru-murid itu dalam lingkungan pesantren dan NU sangat dijaga, dan semaksimal mungkin diupayakan janganlah sampai terjadi kerenggangan. Di sinilah Tuan Guru Faisal mengorbankan kepentingan pribadinya untuk jam’iyah yang sangat dicintai.
Sewaktu NU kemudian bergabung dalam PPP, Tuan Guru Zainuddin masih tetap di Golkar. Sementara Tuan Guru Faisal mengikuti jejak NU masuk dalam PPP. Begitu pun ketika tahun 1983 NU keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926, Tuan Guru Faisal juga keluar dari politik dan kembali ke khittah.
Anehnya, dalam kondisi dan situasi seperti itu, di mana Tuan Guru Faisal memilih kembali ke khittah dan keluar dari PPP, Tuan Guru Zainuddin justru menyeberang ke PPP dalam Pemilu 1987 dan 1992. Jadi, ada semacam peristiwa metamorfose dalam pandangan Tuan Guru Zainuddin.
Kendati demikian, kedua ulama ini juga tidak bisa bertemu. Karena, Tuan Guru Faisal tunduk dan cinta kepada NU-nya yang kala itu sudah kembali ke khittah—walaupun ia sendiri tetap bersimpati pada PPP, tetapi tidak bisa ikut langsung terlibat gelangang. Sementara Tuan Guru Zainuddin langsung ikut aktif kampanye untuk partai berlambang bintang itu.
Jelasnya, kedua Tuan Guru itu tidak bisa berdekatan kembali, karena memang secara institusional mereka tetap berseberangan. Perbedaan itu semakin terasa, ketika Tuan Guru Faisal tetap berada dalam NU, sedangkan Tuan Guru Zainuddin tetap berada di Masyumi, kemudian Golkar dan memimpin organisasi yang didirikannya yang bernama Nahdathul Wathan. Dua nahdlah ini pun tidak bisa bertemu juga sampai sekarang ini.
Namun, keduanya sama-sama menjadi besar dan sama-sama dicintai rakyat. Kalau misalnya ada semacam pembagian, maka Tuan Guru Faisal berpengaruh luas di masyarakat Lombok Barat, Tuan Guru Zainuddin berpengaruh sangat luas di Lombok Timur. Namun, bila dilihat dari keseluruhan, maka pengaruh Tuan Guru Faisal lebih besar karena beliau memimpin NU di Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk di dalamnya Pulau Sumbawa.
Dalam konteks ini, saya ingin rnerekam sosok kepribadian ulama semacam Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya terhadap NU yang tidak habis-habisnya.
Namun, dalam hal pandangannya mengenai siapa yang dipilih untuk didukung, saya sendiri dengan Tuan Guru Faisal berbeda. Saya tidak mau memilih apa pun atau siapa pun, atau memberikan dukungan secara transparan dan terbuka. Itu urusan saya yang asasi. Tidak harus mengajak orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain; mana yang saya pilih dan mana yang tidak. Sementara Tuan Guru Faisal selalu menunjukkan dukungannya kepada PPP secara terbuka.
Di sini pula ada perbedaan pandangan atau penafsiran antara ia dan saya mengenai arti khittah 1926. Kalau saya menganggap khittah NU itu tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun, maka artinya kita tidak boleh membantu mereka. Tuan Guru Faisal tidak demikian. Beliau hanya membatasi pada penafsiran bahwa yang tidak boleh itu adalah merangkap kepengurusan. Bila hanya menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Beliau berargumentasi bahwa dalam kenyataannya hanyak pimpinan NU yang menunjukkan keberpihakan mereka kepada Golkar. Tetapi, dalam pandangan saya menunjukkan simpati itu pun menyalahi khittah, sama saja apakah ke PPP, ke Golkar, atau ke PDI.
Perbedaan pandangan semacam ini sebetulnya tidak mendasar. Namun, cukup membuat sungkan satu sama lain. Saya sendiri tidak mengerti jalan pikirannya. Ia juga rasanya tidak menerima dengan jalan pikiran saya. Tetapi, karena ia mencintai NU, maka beliau pun mencintai apa yang ingin saya lakukan untuk kepentingan NU.
Pada Muktamar Situbondo 1984, perdebatan mengenai khittah antara saya dan Tuan Guru Faisal tidak bisa dielakkan. Perdebatan-perdebatan berlangsung hingga pagi, namun perbedaan pandangan di antara kami tetap saja tidak bisa dipertemukan.
Meskipun dalam alam pikiran yang berbeda, Tuan Guru Faisal dan saya tetap ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai dan mengabdi cita-cita NU. Karena itu, walaupun dalam suasana perbedaan pandangan pribadi—sebelum wafat, beliau pernah mengatakan kepada keluarganya kalau dirinya meninggal, maka orang yang pertama harus dihubungi dan diberitahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. Bukan PBNU-nya.
Saya merasa kehilangan Tuan Guru Faisal secara pribadi. Saya secara pribadi melihat, tokoh yang satu ini memiliki karakter yang sangat mengasyikkan. Beliau mempunyai sikap yang konsisten dan menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap NU sampai wafatnya.
Bagi orang yang belum mengenal NU, sikap Tuan Guru Faisal adalah contoh yang sangat berbicara tentang sikap saling menghormati di antara orang yang berbeda pandangan, sekalipun di tubuh NU. Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari kepribadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan.
Persaudaraan adalah salah satu basis penting di mana NU hadir dan berdiri. Atas dasar persaudaraanlah NU memiliki trilogi hubungan: Ukhuwwah Islamiyah (hubungan persaudaraan antarumat Islam), Ukhuwwah Basyariyah/Insaniyah (hubungan persaudaraan antarumat manusia), dan Ukhuwwah Wathaniyah (hubungan persaudaraan antarnegara dan bangsa).
Trilogi persaudaraan itu merupakan bagian penting dari kepribadian jama’ah (warga) NU, dulu, kini, dan di masa datang, di saat NU diterpa badai atupun tidak. Jika terjadi perbedaan pandangan di antara warga NU, sejak dini salah seorang pendiri NU, KH. Wahab Chasbullah, telah memberikan solusi dengan pedoman: “Bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda tetapi tetap bersaudara.” Dan Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan tersebut.