Kolumnis Mohammad Sobary pernah bertanya dalam tulisannya, “Bila Pak Harto raja tersenyum, raja apa presiden lainnya?”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Saya tidak tahu yang lain-lain, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid mungkin raja humor. Nasrudin, Abu Nawas, Mang Bodor, Asmuni, Bing Slamet, Ateng Petruk, Gareng, Semar, Bagong, Butet, Jadug, Kiai Mus, Kiai Langitan, para pasto, para pendita, para biksu, ketoprak humor, ketoprak ‘jampi’ stres, Ainun Najib, mungkin kalah dari Gus Dur.”
Menurut Sobary, ketika menonton ketoprak humor di Taman Ismail Marzuki beberapa bulan lalu, Ina, putri Gus Dur, menepuk-nepuk punggung sang ayah sambil berkata, “Pa, tenang Pa, Papa tak mungkin kalah dari mereka (para pemain ketoprak, Pen.) kata putrinya. Dan Gus Dur pun terkekeh-kekeh.
Dunia memang aneh. Raja humor ini sekarang menjadi presiden sebuah republik yang mendekati kebangkrutan sosial, kebudayaan, politik, dan ekonomi. Gus Dur, si raja humor, terampil mengejek orang lain, seterampil ia mengejek dirinya sendiri. Ia, misalnya, berkata bahwa Pak Harto itu dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order, boleh juga out of order, dan Gus Dur sendiri?
“Saya presiden no order (tak teratur, Pen.),” katanya, kemudian terkekeh-kekeh mendahului bunyi tawa publik yang mendengarnya.
Dan apa hubungannya presiden new order dari no order? Keduanya sebetulnya sama saja. Sang raja senyum perlu interpretasi dari orang lain agar senyum itu dipahami akurat. Sang raja humor perlu interpretasi orang di kiri kanannya, agar pernyataan politik, perintah, atau ucapannya bisa dilaksanakan sebesar mungkin kesejahteraan rakyatnya. Kalau tidak, negara ini bisa repot. Raja senyum cuma senyum. Raja humor cuma terkekeh-kekeh sambil mengejek, “Begitu saja kok repot.”
Kata Sobary, yang juga sahabat karib Gus Dur, “Kalau menuruti Gus Dur, repot betul kita.”
Loh, biar saja, mungkin begitu komentar Gus Dur, yang repot kan sampean, bukan saja. Gitu saja kok….
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)