Terdengar kabar bahwa Gus Dur kurang suka pada majalah Ummat yang kini sudah berhenti terbit. Konon, Gus Dur jengkel karena majalah itu sering mengkritik ucapan dan tindakan-tindakannya. Tapi, majalah itu sendiri rupanya tetap memperlakukan Gus Dur sebagai sumber berita yang bernilai tinggi.
Maka, meski mendengar bahwa Gus Dur jengkel, Ummat tetap saja berusaha meminta komentar dan konfirmasinya. Beberapa kali upaya ini gagal, karena Gus Dur tak mau diwawancarai oleh majalah mingguan itu. Tapi usaha terus dilakukan.
Suatu malam, seorang wartawan Ummat yang juga aktivis NU bermaksud mewawancarainya di kantor PBNU. Sampai di sana ia bertemu Gus Dur, tapi sang sasaran tetap ogah diwawancarai. Ddi ruang yang sama juga ada Alwi Shihab. Si wartawan mencoba bertahan, tapi tidak berani lengsung mendesak Gus Dur.
Lalu ia mengeluhkan masalahnya pada Alwi Shihab, seraya memintanya dengan halus supaya Alwi ikut membujuk Gus Dur. Semuanya disampaikan si wartawan dalam bahasa Arab –lupa bahwa Gus Dur paham seratus persen apa yang dikatakannya.
Tiba-tiba Gus Dur nyeletuk, menyatakan ketetapan pendiriannya bahwa dia tidak mau diwawancarai. Akhirnya wartawan itu pulang dengan tangana kosong.
Pada malam yang lain, wartawan Ummat yang lain kembali mendatangi Gus Dur di rumahnya, di Ciganjur. Setelah lama menunggu, akhirnya sang tuan rumah keluar menemuinya.
“Saudara ini wartawan dari mana?” tanya Gus Dur dengan datar.
“Saya dari majalah Ummat, Gus.”
“Majalah apa?”
“Ummat, Gus, U-m-m-at,” jawab wartawan itu menegaskan, mengira Gus Dur kurang mendengar.
“Oooo.. majalah Kumat..”
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)