Kemerdekaan berorganisasi dan mengemukakan pendapat dijamin undang-undang dasar. Namun di zaman Orde Baru, hak ini dianggap seperti wabah sampar, sehingga yang terjadi malah sebaliknya; pembungkaman. Orang dilarang buka mulut. Inilah yang menggerakkan seorang pejabat tinggi Indonesia angkat bicara dalam suatu seminar.
Dia bercerita, saat ini banyak orang Indonesia yang pergi ke Singapura hanya untuk memeriksakan giginya. Gus Dur yang hadir dalam acara itu terkejut mendengar cerita ini.
Seusai pejabat itu bicara, ia duduk persis di sebalah Gus Dur. Sambil berbisik Gus Dur bertanya, “Pak, apa kita kekurangan dokter gigi atau mutu dokter gigi kita rendah, sehingga banyak orang kita ke Singapaura hanya untuk periksa gigi?”
“Bukan itu masalahnya,” jawab si pejabat.
“Lalu apa?” kejar Gus Dur.
“Ah, masa sampeyan ndak tahu. Di negara kita kan sekarang orang tidak boleh mulut.”
“Ooooo,,ya..ya..ya,” kata Gus Dur sambil mengangguk-angguk, “mengerti saya.” Kali ini, Gus Dur agak terlat, mungkin takut dicekal. (Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)