Sedang Membaca
Hikayat Soetedja, Wajah Muram Dunia Musik Indonesia
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Hikayat Soetedja, Wajah Muram Dunia Musik Indonesia

Pemutaran perdana film dokumenter “Mencari Soetedja” di Bioskop Rajawali Purwokerto, Kamis pagi, 15 November 2018, menyisakan sejumlah cerita miris. Film besutan sutradara Bowo Leksono itu justru mengungkap muramnya wajah dunia musik Indonesia.

Pemutaran film berdurasi 24 menit dilengkapi pemutaran video di belakang layar atau proses produksi film tersebut yang berdurasi 5 menit. Selain, dibuka dengan tampilan gesekan biola dan cello oleh seniman Banyumas yang memainkan beberapa lagu-lagu karya Raden Soetedja.

Eksistensi R. Soetedja sejatinya masih terasa di Stasiun Purwokerto ketika lagu ciptaannya seusai lulus Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung, bertajuk “Ditepinya Sungai Serayu” diputar menyambut kedatangan kereta api. Namanya juga diabadikan menjadi Taman Budaya di Kabupaten Banyumas.

Raden Soetedja Poerwadibrata adalah seorang komponis yang mendedikasikan hidupnya untuk bermusik. Ia sempat mengenyam pendidikan musik di konservatori musik Roma, Italia. Buah kreatifitasnya ia mencipta ratusan lagu diantaranya “Tidurlah Intan”, “Selamat Berjuang”, “Keroncong Senja”, dan terakhir “Melati Pesanku”.

“Jejak langkahnya di seni musik tercatat bersama Orkes Melati yang kerap tampil di RRI Jakarta,” urai Bowo, pada sesi diskusi usai pemutaran film yang diproduksi Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan Jaringan Kerja Film Banyumas serta disokong Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Bowo menilai Soetedja merupakan tokoh pembaharu musik kontemporer Indonesia yang tak banyak tercatat. Bowo lantas mengunjungi berbagai tempat mulai dari bekas kediaman Soetedja di Purwokerto dan Banjarnegara.

Dia mengatakan, film “Mencari Soetedja” ini, masih terbentur minimnya literatur. Pencarian jejak dan karya Soetedja belum bisa dikatakan selesai. Ia berharap dari film dokumenter berdurasi 24 menit dapat memantik penelitian untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang bagaimana jejak langkah Soetedja dalam kancah seni musik di Indonesia.

“Meninggal di usia relatif muda dan lemahnya dokumentasi karya di Indonesia, membuat lagu-lagu Soetedja kurang dikenal pada masa sekarang,” tambah Bowo.

Keterangan-keterangan yang bisa digapai oleh Bowo dianyam menjadi cerita tentang Soetedja dengan mengabadikan kenangan putra-putri Soetedja, salah satunya Budhy Rahardjo dan Lily Soemandari.

Bowo dan rekan-rekannya juga menyusuri masa kanak Soetedja yang bermimpi menjadi musisi dengan menggali keterangan dari Sugeng Wijono, keponakan Soetedja. Sedang penelusuran dokumentasi karya kerap mengalami jalan buntu.

“Data-data piringan hitam dan partitur-partitur yang tersimpan di RRI Jakarta dikabarkan terbakar. Kami juga mengunjungi Irama Nusantara di Jakarta yang kerap melakukan pengarsipan piringan hitam ke digital. Tapi hanya beberapa yang kita dapat, salah satunya album “Mengenangkan Soetedja”, kompilasi lagu yang diciptakan Soetedja dan dihimpun kembali oleh Jack Lesmana,” kata Bowo.

Baca juga:  Relief Masjid Mantingan, Jepara

Putri ke-4 Soetedja, Lily Soemandari menuturkan, ayahnya telah menciptakan lebih dari 180 lagu. Di akhir hidupnya, ayahnya berniat mengumpulkan karya-karya lagu yang pernah ia ciptakan untuk ditandai namanya. Sayang, niat tersebut tak sempat tergapai sebab Soetedja keburu meninggal di usia 51 tahun.

“Saya menangis sebelum menonton film tentang ayah saya ini. Saya sendiri masih usia 12 tahun saat ayah meninggal. Tidak banyak kenangan, hanya yang saya ingat, ayah punya hubungan dekat dengan sejumlah musisi saat itu seperti Bing Slamet. Bapak juga meminta anak-anaknya tidak menjadi seperti itu (musisi) di Indonesia, profesi ini kurang dihargai dibanding di luar (negeri) sana,” katanya.

Kenang-kenangan Soetedja yang masih tersimpan oleh keluarga yakni sejumlah partitur lagu dan biola hadiah saat ia berusia 10 tahun. Biola tersebut yakni Stradivarius Paganini buatan tahun 1834. Dawai biola tersebut sudah tak lagi lengkap.

“Biola itu saksi terciptanya lagu Ditepinya Sungai Serayu” yang legendaris. Lagu itu lahir ketika Soetedja diajak oleh ayah angkatnya mengunjungi tanah keluarga di wilayah Serayu”, kata Sugeng Wijono, keponakan Soetedja.

Karier Soetedja mulai menanjak kala dia memimpin grup musik Orkes Melati RRI Jakarta yang kala itu bernama Radio Hosokyoku tahun 1942. Ia juga sering bermain bersama musikus Jack Lesmana, Bing Slamet dan John de Fretes di Wisma Nusantara maupun Istana Negara pada era Presiden Soekarno. Sedang di Banyumas, Soetedja pernah menjabat sebagai Direktur Musik RRI Purwokerto pada tahun 1946 tatkala Indonesia digempur Agresi Militer Belanda.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top