Sedang Membaca
Ulama Banjar (35): H. Baderi
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (35): H. Baderi

H. Baderi

(L. diperkirakan 1911 – W. 1981)

Sejak kecil minat Baderi untuk belajar ilmu agama sudah terlihat. Demi mengasah potensi dia agar lebih cemerlang, oleh ayahnya Ibai, ia dikirim ke Nagara (Hulu Sungai Selatan) untuk mengaji berbagai kitab kepada beberapa tuan guru di sana. Dengan penuh semangat ia belajar masalah tauhid, fiqih, sifat 20, tasawuf, dan lainnya. Setelah sekian tahun menimba ilmu di sana, Baderi kembali ke Rantau. Sebagai orang yang haus akan ilmu, ia tak pernah puas dengan apa yang sudah diperoleh. Ia pun terus berguru kepada H. Abdul Karim di Banua Halat. Usai itu, ia melanjutkan lagi mengaji di Dalam Pagar, Martapura.

Sepulang dari menimba ilmu di mana-mana, Baderi pun membuka pengajian di rumahnya di Desa Kumpai, Tapin Selatan. Di samping itu, ia juga secara rutin mengisi pengajian di langgar kampungnya sendiri, di Langgar Jambu dan Masjid Tambarangan. Meski sering buang air kecil, karena menderita kencing manis, Baderi tak pernah lepas dari wudhu. Begitu pula ketika memberikan pengajian, lantaran penyakitnya itu mau tak mau ia sering mengambil air wudhu.

Mengetahui di Tambarangan belum ada satu pun pesantren, tanggung jawab moralnya merasa tergugah. Ia takut kalau di akhirat nanti masyarakat ditanya malaikat kenapa bodoh dalam hal agama, lalu mereka menjawab karena di lingkungan tinggalnya tidak ada lembaga pendidikan yang mengajarkan itu. Menyadari hal tersebut, H. Baderi termotivasi untuk membangun sekolah berbasis agama.

Baca juga:  Ulama Banjar (106): H. Abu Hurairah

Saking tingginya semangat beliau buat mendirikan madrasah tsanawiyah, Baderi rela menggadaikan sawah. Semua harta dan pikiran dia curahkan untuk perjuangan Islam. Tak peduli rumahnya sendiri rusak parah dan hampir roboh. Sehingga, apabila ada tamu dari luar ingin berkunjung terpaksa ia meminjam tempat di rumah tetangganya H. Samsuddin untuk menyambut mereka.

Prinsip H. Baderi yang paling utama itu adalah kehidupan di akhirat nanti. Ia bergharap amal ibadah yang dilakukannya di dunia akan memperoleh keridhaan dari Allah Swt.

Untuk merealisasikan pembangunan pesantren, H. Baderi membentuk kepanitiaan. Bersama masyarakat mereka bahu-membahu. Meski berbagai tantangan dan kendala selalu ada, namun berkat kegigihan akhirnya dapat juga terwujud. Lembaga pendidikan itu kemudian diberi nama Pesantren As-Sunniyah.

Setelah sekian tahun berjalan dengan segala aktivitas keagamaan, H. Baderi dibujuk agar memasukkan pesantren itu dalam Gabungan Usaha Pembaharuan Indonesia (GUPI) dan akan mendapat status negeri. Tapi, ia bersikeras tidak bersedia. Menurut pertimbangannya, kalau ikut GUPI otomatis akan berada di bawah kendali orang lain. Karena banyak yang mendesak, ia pun mengasingkan diri ke daerah Jejangkit. Pengurus lain tidak ada yang berani mengambil tindakan, sebab Tuan Guru H. Baderi pernah berucap, selama ia masih hidup pesantren itu tidak akan masuk GUPI.

Baca juga:  Tujuh Ajaran Humanis Sufistik dari Sunan Drajat

Bermacam bujukan maupun intimidasi dialamatkan kepadanya. Kalau mau kompromi, rumahnya yang hampir roboh akan diperbaiki. Termasuk, bakal diangkat jadi PNS. Tapi. Ia tetap bersikokoh pada pendiriannya. Untuk menjaga keberlangsungan pesantren As-Sunniyah ia mengajak masyarakat untuk menyalurkan zakat padi. Sebelum musim tanam tiba, ia mengajak warga melaksanakan shalat hajat agar hasil sawah mereka berlimpah dan terhindar dari hama penyakit.

Masyarakat mempercayai bahwa H. Baderi mampu mengembalikan barang orang yang hilang. Pernah H. Samsudin kehilangan lampu petromak dan mengadukan kejadian itu pada H. Baderi. Setelah dibacakan surah Yasin dan amaliah lainnya, keesokannya si pencuri mengembalikan lampu itu dengan meletakkan di depan rumah.

Begitu pula ketika sahabatnya kehilangan sepeda motor, H. Baderi cepat mengambil tanah yang ada bekas telapak kaki pencuri tersebut. Entah bagaimana caranya, si pencuri kemudian mengembalikan kendaraan itu. Katanya, setiba di Banjarmasin pencuri itu seperti orang linglung tak tahu arah tujuan hingga balik lagi ke Tambarangan.

H. Baderi meninggal dunia pada usia 70 tahun, tepatnya tahun 1981. Jenazahnya dimakamkan di Desa Kumpai, Tambarangan, Kecamatan Tapin Selatan.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top