Sedang Membaca
Gus Dur Menyoal Ekstrimisme dalam Islam
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Gus Dur Menyoal Ekstrimisme dalam Islam

Gus Dur Menyoal Ekstrimisme dalam Islam

Setelah menurunkan tiga tulisan Gus Dur yang menceritakan sosok seorang kiai, teman, dan idolanya, kini ALIF.ID menampilkan tulisan Gus Dur tentang diskursus keislaman, utamanya terkait “sistem politik Islam”.

Dalam tulisan ini, Gus Dur menceritakan sekelumit tentang peralihan kekuasaan yang terjadi pasca wafatnya Nabi, proses empat khalifah (pengganti Nabi) mengakhiri dan mengawali kepemimpinannya. Di sini Gus Dur mengawali tulisannya dengan menegaskan bahwa Nabi Muhammad pada hakikatnya menampakkan wajah Islam yang damai.

Yang menarik dari tulisan Gus Dur kali ini adalah menyinggung ada kelompok kecil Islam yang merasa disudutkan oleh “Peradaban Barat”, termasuk merasa terancam oleh teknologi Barat. Kami memuat ulang tulisan berjudul  asli “Ekstrimisme dalam Islam” karena menganggap masih relevan. Dari tulisan ini pula, kita bisa membaca sekolmpok kecil orang Islam yang senang melempar retorika ‘boikot produk Amerika’, ‘boikot Yahudi’, hingga ‘boikot China’.

Kami memuat tulisan ini dengan sedikit mengubah panjang dan pendek paragraf dan memperbaiki sedikit kesalahan ketik. Jika ingin melihat tulisan yang asli, silakan kunjungi Gusdurdotnet. Demikian, selamat membaca. Salam takzim

Ekstrimisme dalam Islam

Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari 14 abad, Islam secara keseluruhan menggunakan cara-cara damai untuk mengembangkan ajaran. Dari permulaan sejarahnya, hubungan Islam dengan agama lain di bawah bimbingan Nabi Muhammad telah menunjukkan wajah damainya, sehingga menjadi terkenal apa yang dikemudian hari diketahui bernama Piagam Madinah (Medina Charter).

Baca juga:  Selama Ramadan, Teras Kiai Said Gelar Diskusi

Pada khatbah terakhir sebelum meninggalkan dunia fana ini, Nabi Muhammad telah merumuskan dokumen tersebut sebagai pegangan bagi kaum muslimin di yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.

Mereka tidak boleh diganggu oleh komunitas muslim atas dasar alasan apapun. Kemampuan hidup secara damai dengan golongan-golongan lain itu, adalah pandangan dasar Islam.

Perlu diingatkan dalam hal ini, Islam tidak pernah memunculkan diri sebagai sebuah negara, melainkan sebagai komunitas. Dua buah hal yang sama sekali tidak pernah disinggung secara teoritik dalam Islam. Kedua hal itu adalah ketentuan mengenai suksesi kepemimpinan, dan ukuran fisik dari sebuah negara dari pandangan Islam, walaupun demikian dalam praktek kedua hal itu diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin sendiri, sebagai sebuah komunitas.

Patut diingat tentang pergantian kepemimpinan dalam Islam, ketika Nabi Muhammad meninggal ia digantikan oleh Khalifah Abu Bakar. Ini dicapai melalui pernyataan kesetian oleh suku-suku bangsa Arab di Madinah. Di hari terakhir kekhalifahanya Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Ketika ia akan mati karena ditikam perutnya, Umar menyatakan agar dibentuk Dewan Pemilih (al-Haddi wa Al-Aqdi) sebagai pemilih khalifah yang baru, dengan syarat putranya sendiri Abdullah bin Umar tidak diangkat. Diangkatlah Usman bin Affan sebagai ketiga.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Siapa Lebih Dekat dengan Tuhan? Islam, Nasrani, Hindu?

Setelah itu, Islam berubah menjadi sekian banyak penguasa yang saling mengajukan klaim diri mereka atau pun keturunan-keturunan mereka Khalifah. Dengan berbagai nama mereka itu mengajukan claim sebagai “pemimpin” kaum muslimin. Tercatat minimal ada tiga orang dengan tuntutan seperti itu: Raja Maroko, Raja Saudi Arabia dan Pimpinan Ulama di Iran.

Hal kedua yang tidak pernah disinggung adalah besar kecilnya ukuran negara dalam Islam.

Nabi Muhammad memimpin sebuah komunitas ratusan ribu orang banyaknya di tengah-tengah padang pasir. Khalifah kedua Umar “memerintah” sebuah imperium dunia, terbentang dari Andalusia di Spanyol hingga perbatasan anak benua India. Kemudian para penjajah di dunia Islam hingga saat ini. Dan belakangan, sejak tahun-tahun 50-an, negara-Kota seperti Kuwait bermunculan pula di dunia Islam.

Dalam perubahan-perubahan begitu cepat, muncul pula tantangan berupa “peradaban Barat” yang bersifat kebendaan dalam segala bentuknya.

Kalau orang melihat perkembangan Islam sebagai sesuatu yang bersifat Kultural ia tidak akan berkecil hati terhadap tantangan tersebut. Ia gunakan kajian kawasan Islam “Islamic Area Studies” sebagai titik tolak mempelajari bagaimana mereka menjawab tantangan-tangangan tersebut. Dengan segala cara. Termasuk bagaimana kaum muslim menjawab tantangan “teknologi Barat” tanpa kehilangan orisinalitas ajaran.

Namun, ada pula sejumlah sangat kecil kaum muda muslimin yang mendekati Islam dari sudut kelembagaan. Mereka melihat lembaga-lembaga Islam “diancam” oleh teknologi barat. Ini membuat mereka khawatir karenanya mereka menjawab dengan menggunakan kelarasan, melalui teknologi yang mereka ketahui, yang tidak lain adalah “teknologi barat”.

Baca juga:  Autobiografi Annemarie Schimmel dan Perjumpaan dengan Gus Dur

Karenanya, kita tidak dapat mengandalkan diri kepada segala macam teori tentang perbedaan budaya seperti teori perbenturan budaya (clash of civilizations) dari Huntington.

Berapa ratus ribu orang penuda muslim belajar dari “masyarakat Barat” penlis sendiri termasuk salah seorang diantaranya memang tidak mungkin penulis sepenuhnya menjadi “orang barat” namun penulis sepenuhnya menjadi “orang barat” namun, penulis juga tidak akan menentang dengan kekerasan cara-cara hidup orang barat.

Karenanya, melalui diseminasi informasi dan pengembangan teknologi, kita semua akan maju bersama sebagai anak manusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top