Tampaknya perkenalan Gus Dur dengan Prabowo Subianto terjalin lewat penyampaian pesan dari mantan presiden Soeharto kepada sang ketua umum PBNU. Waktu iu, Prabowo berpangkat letnal kolonel, dan menyampaikan pesan mertuanya supaya Gus Dur membatalkan rencanya menggelar “Rapat Akbar Dua Juta Umat” pada 1992 di Parkir Timur Senayang,
Gus Dur jengkel dengan tekanan itu, lalu menulis seruta panjang kepada Soeharto, sambil mengutip pengalaman Aljazair dan Tunisia tentang bangkitnya “Islam militan”.
Kepada Prabowo, dia bilang bahwa kalau acara tidak diizinkan, dia tidak mau lagi ikut-ikutan urus negara. Acara itu akhirnya tetap berlangsung, tapi dengan jumlah hadirin yang jauh lebih kecil. (Waktu itu Gus Dur ditanya wartawan tentang jadi atau tidaknya acara itu digelar. “Ya, tetap jadi,” jawabnya. “Lurahe wae wis oleh, kok.” [Presiden Soeharto] pun sudah mengizinkan).
Terdengar kabar, banyak delegasi warga NU dari luar kota yang dicegat di pintu-pintu masuk Jakarta, supaya tidak memadati Parkir Timur Senayan, menghindari hal yang tidak diinginkan penguasa, atau setidaknya Gus Dur tidak terlihat gamblang punya dukungan massa yang besar.
Sejak itu, Gus Dur-Prabowo rupanya sering bertemu, baik dalam suasana yang akrab maupun kurang intim. Menurut Gus Dur kepada seorang kawannya, pada hari-hari setelah kerusuhan Mei, Prabowo sempat datang ke rumahnya di Ciganjur pada pukul dua pagi, dengan dikawal dua panser.
Prabowo kemudian “mengasingkan diri” ke Yordania sejak karirnya di Angkatan Darat berakhir. Konon, selama masa pengasingan itu, Prabowo juga beberapa kali bertemu Gus Dur, atau setidaknya melakukan kontak komunikasi.
Nah, salah satu kontak itu, menurut Gus Dur, Prabowo minta kepadanya, apakah tepat jika dia pulang ke Indonesia saat ini (waktu itu masih di masa pemerintahan Habibie). Jawab Gus Dur unik.
“Saya bilang pada Prabowo, dia sebaiknya jangan pulang sekarang. Sebab kalau dia pulang sekarang, baru sampai airport bisa-bisa diabisin sama preman Cengkareng.”
Tidak jelas siapa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan preman Cengkareng. Kalau preman betulan, apalagi yang “menguasai” daerah bandara itu, rasanya bukan. Sebab tidak pernah terdengar bahwa mereka begitu hebat dan kuat. Jadi, tidak mungkinkah yang dia maksud sebenarnya adalah lawan-lawan Prabowo sendiri yang masih berkuasa di tubuh TNI? Tanya saja Gus Dur sendiri.
(Sumber: Ger-geran Bersama Gus Dur, penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Alvabet, 2010)