“Kang, kemarin saya mampir ke makam Mbah Kerto.”
“Mbah Kerto yang mana, Gus?”
“Lho, masak sampean ndak tahu. Itu makam yang di Bandungrejo, deket rumah sampean di Plumpang, Tuban.”
“Wah, saya malah nggak tahu Gus ada makam Mbah Kerto. Lagi pula, beliau itu siapa, Gus?”
“Walaah, sampean ini gimana… Mbah Kertowijoyo itu salah satu Waliyullah yang ada di Tuban. Saya dan Mbah Kyai Faqih Langitan sering ke sana. Yang jaga makam kan Mbah Noko, dulu santrinya Almaghfurlah ayah sampean, KH. Abd. Fatah…”
Secuil dialog itu saya ingat berlangsung sekitar awal 1990-an saat saya masih baru runtang-runtung dengan Gus Dur. Kalau tidak salah, dialog itu berlangsung di kantor PBNU lama yang masih butut, tapi meriah itu. Saya masih kerja di LIPI dan sedang libur kuliah di Hawaii untuk menengok anak. Gus Dur yang sangat rutin ziarah kubur dan silaturrahmi ke para Kyai di Jatim, Jateng, dan Jabar, tentu tak lupa “mampir” minum vitamin K di Tuban dan salah satu yang paling sering disinggahi adalah makam Mbah Kertowijoyo di desa Bandungrejo, Kecamatan Plumpang, sekitar 3 km dari rumah saya ke selatan.
Bahwa Gus Dur penggemar viatmin K sudah saya ceritakan dalam kenangan sebelumnya. Tapi bahwa soal ini merupakan sebagian dari “proyek” Arkeologi Kebudayaan Gus Dur, saya kira belum saya tulis. Salah satu kebesaran dan kemampuan Gus Dur yang belum ada tandingannya adalah kemampuannya untuk melakukan rekonstruksi atas “tradisi kecil” (little tradition) yang dimiliki oleh warga nahdliyyin di seantero tanah air yang kemudian dapat dipergunakan untuk memperteguh fondasi kultural NU secara massif.
Bagaimanapun, NU bukan saja didirikan di atas landasan great tradition, dan grand narratives, atau narasi-narasi besar yang sudah berabad-abad dan dikenal umum, tetapi juga dengan sandaran ribuan narasi dan tradisi kecil yang dimiliki dan diproteksi secara tradisional dan lokal oleh warga NU. Kebanyakan, tradisi kecil dan lokal ini tidak dipublikasikan secara besar-besaran (apalagi masuk dalam literatur sejarah “resmi”), tetapi dipertahankan dan disosialisasikan melalui peringatan-peringatan, dijaga secara lokal melalui kegiatan-kegiatan seperti Khaul, ziarah, wiridan, dan berbagai laku, para pendukungnya di kampung-kampung dan daerah tertentu. Jarang khazanah tradisi-tradisi kecil ini diketahui publik yang luas, bahkan oleh warga NU yang berbeda daerah dan berbeda kecamatan atau desa sekalipun, seperti yang saya alami dalam diaolg di atas.
Entah berapa banyak makam para waliyullah semacam Mbah Kertowijoyo di Bandungrejo itu menjadi semacam local knowledge and treasure (pengetahuan dan kekayaan lokal) milik warga Nahdliyyin. Kekayaan budaya inilah yang menjadi salah satu pengikat budaya yang teramat kokoh dalam komunitas NU dan membuat jam’iyyah tersebut sangat resilient (mampu bertahan) terhadap goncangan budaya dan perubahan yang terjadi.
Khazanah NU bukan saja berakar pada tradisi besar seperti Madzahibul Arba’ah (Empat mazhab Fiqh) dan para wali yang muktabar seperti wali songo, serta ulama-ulama besar seperti Roisul Akbar Mbah Hasyim Asy’ari (Karramallahu wajhahu), Mbah Kholil Bangkalan (Karramallahu wajhahu), Mbah Soleh Darat (Karramallahu wajhahu), dsb. Tetapi kekuatan budaya NU juga berakar dari tradisi kecil seperti para wali dan pendukungnya yang bertebaran di seluruh tanah air, seperti Mbah Kertowijoyo.
Bagai seorang Arkeolog yang melakukan penggalian (excavation) peninggalan purba, Gus Dur juga melakukan eksavasi arkeologis budaya kecil para auliya’ atau para ulama lokal yang hanya diketahui oleh komunitas desa. Sebagaimana kita ketahui, dalam kiprah pemberdayaan NU, Gus Dur melalukan serangkaian tulisan antropologis mengenai para Kyai NU, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Dalam proyek arkeologi kebudayaan lokal Gus Dur melalukan rekonstruksi tradisi kecil dan membangunnya menjadi bagian fondasi kultural yang turut memperkokoh NU.
NU bukan saja memiliki fondasi “universal”, tetapi sekaligus fondasi “lokal”. Inilah sebuah proyek kebudayaan yang luar biasa dan dilakukan oleh Almaghfurlah Gus Dur nyaris sendirian, tanpa banyak seremoni, apalagi dengan biaya negara! Gus Dur sambil bersilaturrahmi ke seluruh pelosok tanah air kepada para ulama, Kyai khos atau tidak khos, menjalankan tugas sebagai Arkeolog budaya, menggali khazanah tradisi-tradisi kecil yang hampir dilupakan oleh sebagian warga NU di tengah hiruk pikuk modernisasi, pembangunan, dan perubahan budaya dalam skala global! Berbeda dengan khazanah kaum modernis dan fundamentalis Islam di Indonesia, strategi kebudayaan Gus Dur membuat NU menjadi nasional tetapi universal, dan universal dengan tetap punya landasan lokal!
Entah sudah berapa ratus eksavasi arkeologis para wali yang dilakukan Gus Dur, beliau tak pernah mencatat. Gus Dur hanya suka bercerita tentang para wali “tidak resmi” ini dalam ceramah, dalam acara Khaul, dalam obrolan santai. Mungkin karena tradisi NU adalah tradisi praksis dan oral, maka wacana tertulis tidak dianggap penting. Ini sama juga dengan fakta setiap Kamis malam di tanah air ini berlangsung jutaan forum doa seperti tahlil, istighosah, dan manaqib oleh warga Nahdliyyin yang nyaris tanpa publikasi, iklan, pengumuman dan gembar-gembor siaran TV.
Hanya sedikit siaran radio FM milik pesantren-pesantren besar atau pemilik swasta yang mencoba menampilkan kegiatan seperti itu. Memang sekarang juga ditambah streaming internet dan fb, dan kadang ada kegiatan seperti itu yang ditampilkan dengan besar-besaran seperti dalam acara Khaul dsb. Yang penting di sini adalah, bahwa Almaghfurlah Gus Dur adalah sosok pekerja budaya yang luar niasa dan sangat layak mendapat Nobel Kebudayaan atas jasanya melakukan eksavasi arkeologis tradisi kecil milik NU dan menampilkannya kembali untuk dikenali dan diapresiasi publik secara luas.
Mbah Kertowijoyo, ternyata adalah figur yang bernama asli Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al Husaini, seorang sayyid yang juga salah satu penasehat perang zaman Amangkurat I dan II. Dalam folklore tentang riwayat hidup Mbah Kerto diceritakan bahwa beliau hijrah ke Tuban setelah Amangkurat II berkuasa dan ditopang Belanda. Mbah Kerto pun bergabung dengan pasukan Cakraningrat yang melakukan pemberontakan melawan gabungan kekuatan kolonial dan kesultanan Mataram yang anti terhadap para ulama itu.
Kekalahan Cakraningrat mengharuskan Mbah Kerto hijrah ke Jatim dan bermukim di desa Bandungrejo di tepi Bengawan Solo. Beliau memilih uzlah dan menjadi pengajar agama (Kyai) di sana dan setelah wafat dimakamkan di tempat tersebut dengan nama lokal. Mbah Kertowijoyo. Sebagai seorang Sayyid plus ahli strategi perang plus Kyai tentu saja beliau sangat terhormat dan dianggap memiliki kelebihan bukan saja dari segi keagamaan tetapi juga kelebihan sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dan ahli perang.
Masyarakat mempercayai bahwa Mbah Kerto, baik semasa hidup maupun setelah wafat, adalah seorang waliyullah yang memiliki “karomah” tertentu, sehingga makamnya menjadi tempat ziarah masyarakat sekitar. Sayangnya ratusan tahun lewat dan memori kolektif masyarakat tersaput oleh perubahan sosial yang berlangsung sehingga tradisi ziarah Mbah kerto pun makin menyusut dan makamnya tak terawat. Memori tersebut hampir lenyap sampai ketika Pak H. Sunoko menjadi juru kunci dan berkat bantuan Mbah KH Faqih Langitan serta Gus Dur belakangan, maka makam tersebut menjadi ikon baru masyarakat di Tuban dan sekitarnya.
Selain memiliki wali-wali seperti Mbah Sunan Bonang, Mbah Asmorokondi, Mbah Sunan Bejagung, Mbah Sunan Drajat, kini ada Mbah Kertowijoyo alias Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Husaini. Khaul tahunan Mbah Kerto pun kini dihadiri puluhan ribu peziarah dari seantero Jatim dan mungkin daerah-daerah yang lebih jauh lagi. Berkat kerja Arkeologis Gus Dur, khazanah lokal yang hampir terlupakan muncul dan bersinar lagi!
Semoga kita dapat meneladani apa yang dilakukan Gus Dur dalam hal preservasi dan eksavasi budaya lokal. Beliau adalah seorang yang memiliki talenta yang diakui secara nasional dan internasional, tetapi juga memiliki kapasitas penjaga budaya lokal yang membuat NU akan tetap berakar di bumi Nusantara ini. Amin ya mujibas sailiin. (RM)
(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)