Kota Mosul baru saja tenang, setelah berapa tahun belakangan porak-poranda akibat perang dan pendudukan ISIS. Kini kota tersebut ini memiliki wajah lain. Warga Mosul berkumpul di sebuah kafe budaya bernama “Book Forum”.
Kafe sastra, pembacaan puisi dan toko buku kembali menunjukkan geliatnya. Beberapa bulan setelah pasukan Irak menggulingkan Daesh, semangat membaca kembali terlihat.
Di kafe “Buku Forum”, pria dan wanita, muda dan tua, duduk dengan penuh semangat memperdebatkan sastra, musik, politik dan sejarah. Tampak terlihat orang–orang dengan santai minum teh, kopi dan sambil melihat penyair naik panggung membaca karyanya.
Terlihat pula dinding yang tidak ditutupi rak buku dengan potret penyair Irak abad pertengahan –al-Mutanabbi– yang digambarkan bersama dengan penyair modern dari Palestina Mahmoud Darwish dan serangkaian lukisan abstrak.
Beberapa bulan yang lalu, membuka sebuah kafe sastra di kota kedua Irak ini, tidak akan pernah terpikirkan. Apabila nekat buka, para pemiliknya akan dihukum dengan cambuk. Bahkan Pemerintah ISIS tak segan-segan memenggal di alun-alun, atas nama Islam.
“Sementara kami tinggal di bawah Daesh, kukatakan pada diriku sendiri bahwa mutlak harus membuka tempat ini,” kata Sabah seperti dilansir laman Gulf News. “Ada kebutuhan untuk menginformasikan orang, untuk mencerahkan pikiran, untuk membawa gagasan baru.”
Orang-orang Irak terkenal di dunia Arab karena budaya sastranya. Mosul, ibu kota provinsi Nineveh dan duduk di persimpangan rute perdagangan kuno. Para penjual buku berderet sepanjang Jalan Al Nujaifi yang terkenal. Perang telah menghancurkan dan membakar buku-buku dan menghancurkan perpustakaan. Namun setelah damai beberapa aktivis mendirikan pasar di luar universitas berpemandangan kota yang terluka itu.
Lain halnya dengan Ali Najam, 23 tahun. Ia datang tiap Jumat untuk menjelajahi kios-kios penjual buku bekas di samping bangkai beton sebuah gedung yang diliputi oleh bom. Dia telah mengambil edisi bahasa Inggris Love in the Age of Cholera oleh peraih Nobel Perdamaian Gabriel Garcia Marquez.
”Orang sangat membutuhkan budaya dan membangun kesadaran mereka setelah mengalami kesulitan yang mereka jalani. Ada kebutuhan untuk membangun kembali semangat orang-orang, yang bahkan lebih penting daripada membangun kembali rumah dan kota,” kata Najam.
Sementara itu Younis Mohammad penulis berusia 33 tahun, mengatakan bahwa meski mengalami kehancuran, Mosul akan dibangun kembali berkat otak kaum mudanya, intelektualnya.
Sedangkan Abdul Monim Al Amir, ketua serikat penulis provinsi Nineveh, mengatakan bahwa dia menginginkan bahwa dunia tidak hanya melihat wajah Mosul penuh dengan darah dan kekerasan tetapi juga kota ini memiliki wajah lain.
“Penghuni dan seniman harus membuat dimensi kemanusiaan, budaya dan akademik Mosul bersinar,” katanya.
Sumber: jendelakita