Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Dakwah Rasulullah Mengutamakan Akhlak dan Rasa Kemanusiaan

1 Abdul Muis

Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu panutan seluruh umat manusia khususnya kaum Muslimin dan Muslimat di seluruh jagat raya. Teladan Rasul meliputi seluruh hal atau bidang, salah satunya luasnya pintu maaf.

Kemuliaan akhlak Rasul pun telah disebutkan dalam Al-Quran Surat Al Qolam ayat 4 yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Hal itu disampaikan KH Abdul Muiz saat mengisi Kajian Zuhur yang diadakan oleh Majelsi Telkomsel Taqa, Rabu (28/07/2021).

Menurut Kiai Abdul Muiz, dari kisah dan perjalanan sejarah Rasulullah SAW umat Islam dapat memetik pelajaran berharga termasuk dari penderitaan Nabi. Penderitaan Rasul, di antaranya pernah difitnah gila karena memberitakan sesuatu yang belum bisa dicerna secara akal oleh kaum musyrikin kala itu. Rasulullah SAW pernah dirayu dengan harta dan wanita agar menghentikan dakwahnya.

Selain itu, dalam kontak fisik Nabi pernah dicekik di sekitaran Ka’bah, dilempar batu hingga berdarah-darah. Ketika berada di Kota Ta’if secara diam-diam Rasulullah SAW dibuntuti musuh yang bertujuanmemenggal kepala Nabi dari belakang.

Rangkaian teror fisik maupun teror psikis lainnya yang diterima Nabi, dilalui dengan kuat dan tegar. Nabi tetap teguh dengan prinsip-prinsip tauhid yang diyakini meskipun berbagai tekanan demi tekanan dan penganiayaan yang dilakukan kaum Musyrikin kepada Nabi Muhammad SAW, akhirnya Nabi dan pengikutnya untuk bersepakat hijrah ke tempat lain.

Baca juga:  Gus Dur: Tradisi Pengetahuan dan Kemanusiaan Pesantren

Waktu berputar, perjalanan Rasulullah SAW dalam dakwahnya dan tetap pada prinsipnya. Alhasil cahaya Islam semakin gemerlang alam artian pengikut Rasulullah SAW semakin banyak dan proses hijrahnya kian matang dan menambah kekuatan kaum Muslimin dalam menyebarkan ajaran Islam. Karena itu, kaum musyrikin yang mengetahuinya merasa khawatir dan berasumsi mada depannya akan berakhir.

Pada puncaknya, lanjut Kiai Abdul Muiz, adanya perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum musyrikin Makkah yang berisi tentang kesepakatan untuk gencatan senjata.

Menariknya, di saat kaum musyrikin merasa terpojok dengan mengetahui bahwa, Nabi dan pengikutnya yang tergolong lebih banyak dari golongan kaum musyrikin tersebut melakukan perjalanan dari kota Madinah ke Makkah untuk membantai golongannya yang ditakutkan kaum musyrikin tersebut sama sekali tidak terjadi, tidak ada satu tetes darah pun mengalir. Bahkan patung yang ada disekeliling Ka’bah dan dihancurkan atas dasar inisiatif masyarakat Makkah sendiri bukan oleh paaukan Rasulullah.

“Keindahan sikap Rasulullah SAW tidak hanya sebatas itu, akan tetapi di saat berada di depan khalayak ramai beliau berpidato dan berkata, Siapa yang masuk Masjidil Haram akan aman dan dilindungi, siapa yang masuk rumahnya Abu Sufyan juga dia akan aman dan dilindungi.’Dengan menyaksikan pidato Rasulullah seperti itu, sontak hati Abu Sufyan menjerit dan menangis dengan keagungan akhlak yang mulia yang awalnya menjadi musuh dalam peperangan tersebut. Abu Sufyan pun sadar bahwa selama ini yang ia benci adalah orang yang memahaminya dari suasana bahaya yang dihinggapi kecemasan dan ketakutan yang luar biasa,” beber Kiai Abdul Muiz.

Baca juga:  Beberapa Tokoh yang Usianya Sudah Lewat 80 Tahun

Dari penggalan pidato yang disampaikan Rasulullah SAW tersebut, tidak hanya membuat rasa aman, tetapi juga Abu Sufyan kembali terangkat derajatnya karena merasa dirinya disejajarkan dengan Masjidil Haram. Pada akhirnya Abu Sufyan, keluarga dan pengikutnya memeluk Agama Islam.

Kiai Abdul Muiz mengatakan, umat Islam meyakini, bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan sosok panutan dan contoh dalam segala hal baik ucapan, tindakan, dan ketetapannya. Nabi juga bukan sesosok pendendam. Orang melihat keluhuran Islam sebagai agama yang beradab serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hal itu selaras dengan misi Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai penebar cinta dan kasih sayang bagi seluruh alam. Hal tersebut juga telah tertulis dalam QS. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Menariknya, sambung Kiai Abdul Muiz, dalam ayat tersebut seperti disampaikan pula oleh Prof Dr Quraisy Shihab yang menerjemahkannya lebih dari itu. Bahwa, Nabi Muhammad SAW bukan penebar rahmat, bukan pula penebar kasih. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top