Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Buku-Buku Imam al-Ghazali dan Logika

Imam al-Ghazali disebut sebagai “hujjatul islam”, bukti Islam. Mengapa? Karena beliau sudah menguji ajaran-ajaran Islam dan membuktikannya sendiri bahwa semua itu benar.

Dalam kata lain, ajaran-ajaran keislaman memberikan pengaruh sesuai dengan yang Alquran katakan. Sesuatu yang baik akan terjadi kepada orang-orang yang mematuhi ajaran Alquran.

Contoh, jika kita percaya pada Allah, maka Allah akan menjadi bukti yang cukup untuk kita. Jika kita berdoa, dan doa kita masuk akal, cepat, atau lambat doa kalian akan dijawab.

“Masuk akal” di sini berarti kita hanya meminta hal-hal yang mungkin: contoh, kita tidak bisa meminta Allah untuk membuat kita terbang tanpa pesawat atau tanpa peralatan lain. Itu adalah hal yang tidak mungkin (muhal).

Imam al-Ghazali “menguji” agama dan membuktikan bahwa semua terjadi seperti yang dikatakan-Nya. Beliau menulis koleksi 40 buku mengagumkan untuk membantu orang lain “membuktikan” Islam untuk diri mereka sendiri. Ia menamai buku itu Ihya Ulumiddin.

“Kebangkitan” atau “menghidupkan” (ihya) adalah perilaku dari membawa sesuatu kembali hidup. Imam al-Ghazali menggunakan kata ini karena ia berpikir bahwa beberapa muslim telah membunuh roh Islam. Apa itu roh Islam?

Roh adalah hal yang memberikan kehidupan pada sesuatu, dan apa yang memberikan hidup pada Islam adalah ketulusan.

Imam Ibnu Athaillah, ulama hebat dari Mesir, penulis kitab al-Hikam, berkata,

“Perilaku sama dengan tubuh, dan roh yang membawa tubuh-tubuh itu hidup adalah ketulusan yang mereka lakukan.”

Maksudnya adalah ketika kita melakukan sesuatu dengan tidak tulus, atau dengan tujuan yang tersembunyi, maka hal itu tidak memiliki hidup dan lebih baik mati.

Contohnya, jika Anda beramal dengan tujuan ria, minta dinilai dermawan, dan bukan karena Anda merasa itu adalah hal yang baik untuk dilakukan, maka Anda tidak tulus dalam beramal. Dalam kasus tersebut, tujuan atau alasan Anda hanya terlihat untuk beramal akan tetapi sebenarnya hanya untuk tujuan egois semata.

Kata “amal” berasal dari kata Latin “caritas”, yang mana berarti “cinta”. Jadi beramal seharusnya berasal dari rasa cinta terhadap sesama dan bukan keinginan untuk mendapat sesuatu untuk diri kita sendiri.

Baca juga:  Golkar Menyuap Mbah Mahrus Lirboyo dengan Mobil

Imam al-Ghazali merasa bahwa banyak muslim yang kehilangan tujuan awal dari yang segala yang kita praktikan berdasar kepercayaan kita dan terlalu banyak muslim yang melakukannya untuk alasan yang salah.

Maka dari itu ia menulis serial 40 buku untuk menunjukkan keislaman: apa alasan sebenarnya Allah Swt mengirimkan Nabi dengan ajaran-ajaran Alquran?

Imam al-Ghazali juga merencanakan 40 bukunya dengan cara logis. Ia sangat menyukai ilmu logika. Logika mengajari kita bagaimana cara berpikir dengan benar dan menghindari kesalahan-kesalahan di pola pikir kita.

Karena Imam al-Ghazali sangat menyukai logika, ia menulis buku-bukunya dengan logis. Ia memulai dengan satu subyek ke subyek lainnya dengan cara yang sangat masuk akal, dan ini sangat membantu kita ketika membaca apa yang ia tulis.

Faktanya, ia membagi karya mengagumkannya ini ke dalam 40 buku-buku kecil karena akan lebih mudah untuk kita belajar dari potongan-potongan kecil informasi. Alasan ia memilih 40 adalah karena angka tersebut adalah angka yang spesial.

Ada beberapa angka yang juga spesial. Contohnya, apa kalian pernah menyadari kalian punya sepuluh jari? Apa kalian juga sadar bahwa semua angka terdiri dari sepuluh digit? Kita menyebutnya “sepuluh dasar”.

Sepuluh digit adalah dari satu sampai sembilan dan nol. Ketika kita menulis dua digit, angka satu dan nol, kita mendapat angka sepuluh. Bahkan, seluruh angka kita berasal dari sepuluh digit ini, satu sampai sembilan dan nol!

40 adalah angkat spesial, seperti satu, tiga, lima, dan tujuh, yang mana juga spesial. 40 termasuk spesial karena Allah berkata pada Nabi Musa, Nabi utama dari alkitab Ibrani, AS, ia mempunyai 40 siang dan malam untuk mempersiapkan pertemuannya dengan Allah.

Maka Nabi Musa bekerja keras, berdoa, dan berpuasa selama 40 siang dan malam sebelum naik ke gunung Sinai untuk bertemu Allah.

Bukan berarti Allah ada di tempat tersebut. Allah tidak dapat hadir di tempat tersebut karena Allah tidak diciptakan, dan Allah menciptakan seluruh tempat. Berarti Allah ada di mana-mana dalam pengetahuan-Nya. Artinya, Allah mengetahui tentang semua yang terjadi di mana pun. Maka Musa bertemu dengan Allah secara spiritual (bukan fisik) di gunung Sinai.

Baca juga:  Pentas Ebeg, Teater, dan Film untuk Palu

Ketika Imam al-Ghazali menulis karyanya, ia berpikir keras tentang hal yang paling unik dan penting yang dimiliki umat manusia. Ia menyadari bahwa apa yang membuat kita berbeda dari makhluk lain seperti hewan, kita dapat berpikir, dan kita dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi apa yang kita pikirkan dengan cara yang hewan tidak dapat lakukan.

Maka dari itu ia menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah hal yang paling penting. Inilah mengapa ia memulai karyanya dengan Book of Knowledge.

Di dalam karya tersebut, al-Ghazali menyampaikan kepada kita tentang jebakan dan bahaya pengetahuan. Beberapa orang menggunakan pengetahuan untuk alasan yang salah.

Contohnya, pengetahuan tentang pesawat dapat digunakan untuk tujuan baik dan buruk. Kita dapat menggunakan pesawat untuk membawa kita ke jarak yang jauh dengan waktu singkat, dan itu adalah hal yang sangat baik terkait pengetahuan tenatng pesawat. Dan kita dapat menggunakan pesawat untuk menjatuhkan bom dengan kejamnya pada orang-orang yang berbeda dari kita dan orang-orang yang tidak sependapat dengan kita.

Imam al-Ghazali kemudian menulis buku “keimanan”. Keimanan adalah apa yang kalian percaya, dan ia ingin orang-orang untuk percaya hal-hal yang benar tentang Allah. Maka tertera di buku, ia membicarakan tentang enam hal seluruh muslim harus benar-benar percaya serta alasannya. Kemudian ia menulis tentang satu per satu lima tiang Islam dalam kelima buku berikutnya. Apa kalian tahu apa itu lima tiang Islam dan mengapa disebut “tiang”?

Satu dari tiang tersebut adalah salat, dan salat dilakukan lima kali sehari. Maka dari itu tiang Islam ada lima, dan muslim harus menjalankan salat lima kali sehari. Lima adalah salah satu angka spesial!

Apa kita menyadari bahwa semua angka adalah ganjil atau genap? Seluruh angka yang kita pikirkan adalah ganjil atau genap. Contohnya, bilangan 24 adalah angka genap. Mengapa ia genap?

Baca juga:  Menakar Peran Sufi dalam Berdirinya Kekaisaran Ottoman

Iya genap karena kalian bisa membaginya dengan sempurna menjadi dua. Setengah dari 24 adalah 12, yang mana juga adalah angka genap. Kalian bisa membagi 12 menjadi dua, dengan hasil enam.

Tetapi angka ganjil tidak akan bisa dibagi menjadi dua tanpa menggunakan pecahan (pecahan juga ditulis menggunakan sepuluh digit). Lima adalah angka ganjil. Lima adalah angka pertama dari penjumlahan angka genap dan ganjil pertama, dua dan tiga.

Satu dalam bahasa Arab tidak dianggap sebagai angka dengan sendirinya melainkan hanya bagian dari seluruh angka. Contoh, angka dua terdiri dari dua angka satu, angka tiga terdiri dari tiga angka satu, dan seterusnya. Seluruh angka dimulai dengan satu karena semua hal datang dari satu sumber.

Sumber tersebut adalah Yang Maha Esa (al-wahid), yaitu adalah salah satu nama Allah. Fakta mengagumkan lainnya tentang satu adalah dunia dibuat dari beberapa elemen, dan setiap elemen di dunia memiliki massa, dan elemen yang paling tersebar di dunia adalah hidrogen.

Tiga perempat dari dunia, dalam kata lain 75 dari 100 elemen di dunia, terbuat dari hidrogen. Tebaklah berapa nomor atom dari hidrogen? Satu!

Selain salat, Imam al-Ghazali juga menulis tentang empat tiang lainnya. Lima hal yang muslim praktikan ini disebut tiang karena mereka menahan keyakinan seperti tiang-tiang menahan sebuah rumah.

Pada buku ke-20 Imam al-Ghazali menuliskan tentang karakter atau perilaku Nabi Muhammad saw. Jika kita teliti lebih lanjut mengapa Imam al-Ghazali membuatnya di buku ke-20, besar kemungkinan beliau melakukannya karena 20 adalah setengah dari 40, maka “jantung” atau pusat dari karyanya adalah tentang Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw adalah jantung dari Islam, maka dari itu Imam al-Ghazali membuat buku tentang Nabi Muhammad saw sebagai jantung dari seluruh karyanya. (Diterjemahkan dari Al-Ghazali The Book of Knowladge for Children. Penerjemah tim Alif.id)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top