Di bawah ini adalah esai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dimuat majalah Tempo, pekan pertama Januari 1983. Redaksi memuat ulang tulisan untuk mengingatkan bukan saja bahwa Gus Dur adalah penulis keren, tapi juga esai-esainya aralah bagian dari upaya seorang tokoh agama yang begitu mendalam dan berempati pada tokoh agama lainnya.
Gus Dur dekat dengan tokoh-tokoh itu tidak begitu saja terjadi, tapi “diupayakan”, “diikhtiarkan”. Dan menulis adalah salah salah satu ikhtiar saja. Bagaimana dengan para tokoh hari ini? Mereka dekat atau jauh karena karena sebab apa?
Selamat membaca.. Semoga bermanfaat
——
KWITANG! KWITANG!”
Oleh Abdurrahman Wahid
Kodektur bis kota memang paling tahu selera orang. Berebut calon penumpang, mereka gunakan siasat yang kreatif.
PPD lin 14A, misalnya, punya “variabel” tetap dan tidak tetapnya sendiri. Variabel tetap adalah “Banteng, Banteng, Senen, Senen”. Variabel tidak tetapnya yang justru menarik, kalau ia berangkat dari Blok M di Kebayoran Baru.
Di hari-hari Minggu, variabel ini adalah teriakan “Kwitang, Kwitang”. Dan dengan itu, berubahlah corak penumpang bis kota Lin 14A itu. Mereka memakai baju serba putih dengan ‘mahkota’ pici haji. Penumpang wanitanya pakai tutup kepala bulat mirip ‘bath caps’ yang tersedia di hotel-hotel besar dan kain kebaya ‘warna pengajian’.
Maklum, mereka memang menuju ke pengajian umum di Kwitang, tempat para habib ‘clan’ Alhabsyi tinggal. Ribuan orang itu berhormat meneruskan tradisi masa lampau, kepada almarhum Habib Ali Kwitang, dengan berhormat kepada putra beliau, Habib Muhammad.
Tajamnya penyiasatan para kondektur dan kenek atas perubahan pemakai bis kota di hari Minggu ini menunjukkan dengan jelas betapa kompleksnya penghayatan agama, bila diletakkan dalam kerangka kemasyarakatan.
Sesuatu yang begitu kudus dan syahdu kalau dilihat dari pengalaman pribadi sang ‘pemeluk teguh’ (kalau dipinjam istilah Chairil Anwar), ternyata dengan proses kualifikasi berubah menjadi sesuatu yang berdimensi sangat duniawi: keinginan para pemuluk teguh itu untuk mencari kedamaian tuntas dimanfaatkan demi keuntungan mereka yang bisa menawarkan jasa dan barang untuk kebutuhan para pemeluk teguh itu.
Demikianlah yang ingin memperoleh berkah haji, pulang jadi haji mabrur, diincar dengan logistik perjalanan ke tanah suci Mekah pulang pergi, jasa-jasa akomodasi selama di sana, dan peluang memperoleh konsumsi cukup di tanah orang. Bahkan yang tidak esensial ditawarkan juga: tasbih (rosario), tikar sembahyang dari karpet, pici haji lengkap dengan sorbannya, minyak wangi khas Arab, gambar bangunan suci Masjidil Haram dan Masjid Nabi di Madinah, dan lain-lain.
Belum cukup dengan penawaran untuk orang awam itu, ditawarkan pula kitab-kitab agama dari yang paling dasar hingga yang paling membingungkan orang pembahasannya. Itu semua ditambah dengan beberapa tawaran yang semata-mata bersifat duniawi dan tak ada hubungannya dengan perjalanan haji: obat kuat, tangkur, kadal Mesir, dan ‘minyak kuda’. Zaman sekarang ditambah dengan alat-alat elektronika.
Dalam keadaan seperti itu, sebagian wilayah agama lalu berada di bawah pengayoman wilayah ekonomi, seperti terlihat dalam kasus bis kota PPD yang di hari Minggu pagi menjadi bagian dari ‘industri angkutan keagamaan’.
Penyiapan tempat pertemuan dan pengajian, walau dalam frekuensi sangat kecil, tetapi meliputi volume pembiayaan sangat besar, jatuh di bawah dukungan industri bangunan ‘keagamaan’. Demikianlah seterusnya. Agama lalu bertali-temali dengan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat.
Dalam keadaan demikian, agama yang semua berfungsi sebagai ajaran, lalu berfungsi sebagai institusi atau kelembagaan. Kepentingan lembaga keagamaan dengan mudah lalu disamakan dengan kepentingan ajaran agama.
Dan bermulalah sebuah proses penduniawian kehidupan beragama dalam bentuknya yang paling kongkrit: agama sama dengan acara-acara tertentu. Akibatnya, bukan ajaran agamanya yang disucikan, diagungkan dan disyahdukan, tetapi upacara-upacara yang mendukungnya itulah.
Syukurlah, ternyata kecenderungan seperti itu tidak mutlak terjadi di mana-mana. Ternyata, penghayatan masyarakat juga berbeda, dari satu ke lain tempat, dari satu ke lain lapisan masyarakat, dan dari satu ke lain waktu.
Di pedusunan Jawa, misalnya, apalagi di pesantrennya, Maulid Nabi diperingati dengan pergelaran sederhana, membaca Barzanji, Dziba’ (mungkin Diba’), Saman, Syamsul Anam (mungkin Syaraful Anam) dan sebagainya. Partisipasi langsung warga, yang bergantian membacakan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad itu dalam gaya dan lagu masing-masing, sering dengan improvisasi sekenanya saja, melahirkan spontanitas suasana ‘bermaulid’ yang menyegarkan.
Keagungan suatu ajaran atau kejadian bersejarah dalam kehidupan agama, dengan demikian dapat ‘ditradisikan’ dalam bentuk lugas dan spontan, seperti dalam pembacaan Maulid di desa-desa, dan juga dengan upacara anggun dan formal di tingkat tertinggi pemerintahan. Masalah utamanya, eksploitasi dan manupulasi kejadian bersejarah atau ajaran agama itu oleh sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat akan sangat berkurang jika penghayatan agama itu lebih ditekankan pada spontanitas.
Ternyata cukup jauh juga implikasi teriakan kondektur bis PPD, yang di hari Minggu beralih menjadi ‘Kwitang, Kwitang’!