Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) KH Abdi Kurnia Djohan menjelaskan beberapa ciri-ciri orang bertakwa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Secara garis besar, setidaknya terdapat dua hal yang dapat terlihat yakni dari upaya menjaga konsistensi dalam beribadah dan perilaku baik yang senantiasa dilakukan.
Salah satu ciri orang bertakwa yang bisa dilihat dari perilaku atau tindakan termaktub dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 70. Di ayat itu, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar bertakwa dan mengucap dengan perkataan yang benar.
“Surat Al-Ahzab ayat 70, Allah mengaitkan antara takwa dengan ucapan. Jadi, orang yang bertakwa itu bisa dilihat dari ucapannya. Pertama, mengandung kebenaran dan kedua disampaikan dengan cara-cara yang benar, artinya dengan cara yang etik,” kata Kiai Abdi dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Kamis (20/5) siang.
Ia menjelaskan, perintah untuk bertakwa kepada Allah dengan mengucapkan kata-kata yang benar itu terdapat pula dalam surat An-Nisa ayat 9. Dalam hal ini, konteks perintah Allah itu dalam konteks berkeluarga.
“Artinya, sampaikanlah ucapan yang benar ketika kita berada di dalam keluarga,” terang Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) ini.
Tak hanya itu, Allah pun berbicara tentang pentingnya sebuah ucapan di dalam surat Al-Isra ayat 28. Di ayat itu, terdapat perintah untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang lemah lembut, mengenakkan, melegakan hati, dan tidak menyakiti perasaan orang lain.
Kiai Abdi juga menjelaskan bahwa Allah pun memerintahkan kepada orang beriman untuk melontarkan ucapan kepada orang tua dengan perkataan-perkataan yang mulia. Perintah ini terdapat dalam surat Al-Isra ayat 23.
“Maka dalam kebudayaan Jawa ada bahasa krama. Anak muda kepada orang tua itu harus menggunakan bahasa krama. Ini dalam rangka memaknai ayat ini. Krama itu betul-betul bahasa yang paling alus. Itu sebagai manifestasi dari pelaksanaan ayat wa qula huma qaulan karima,” jelas kiai muda yang pernah nyantri di Buntet Pesantren Cirebon ini.
Di ayat lain, ucapan-ucapan yang lemah lembut ini diperintahkan oleh Allah agar dilontarkan sekalipun kepada musuh. Perintah ini termaktub dalam surat Thaha ayat 43-44. Dalam hal ini, firman Allah ditujukan kepada Nabi Musa saat hendak menghadapi musuhnya yakni Fir’aun.
“Lihat di surat Thaha, Nabi Musa itu diperintahkan menyampaikan kepada Fir’aun perkataan yang lemah lembut. Faqula lahu qaulan layyinan, ucapkan kepada Fir’aun itu ucapan yang lembut. Padahal (Nabi Musa) mau berargumen itu. Ini artinya, Al-Qur’an menekankan aspek diplomatis. Jadi indikator ketakwaan seseorang itu adalah ucapan,” terang Kiai Abdi.
Lebih dari itu, ketakwaan seseorang juga dapat dilihat dari tiga ciri yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 134-135. Pertama, orang yang bertakwa itu adalah mereka yang gemar berinfak atau bersedekah, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Hal itu juga berarti bahwa orang yang bertakwa itu ketika melakukan perbuatan baik tidak dipengaruhi oleh keadaan apa pun. Dengan kata lain, senantiasa menjalankan tugas kebaikan secara konsisten.
“Ciri yang kedua, orang bertakwa itu bisa menahan emosi atau menahan amarah. Artinya bukan berarti tidak boleh marah, tapi yang dimaksud adalah dia bisa mengelola amarah itu dengan cara yang bijak. Jadi ciri orang yang bertakwa itu tidak sembarang marah. Dia bisa menempatkan kemarahan itu secara proporsional,” jelas Kiai Abdi.
Lalu ciri orang bertakwa yang ketiga adalah mudah memaafkan kesalahan orang lain, sekalipun sangat sulit melupakannya. Namun, kekuatan dari maaf itu sungguh luar biasa. Menurut Kiai Abdi, orang-orang yang memudahkan kesalahan orang lain itu pertanda hatinya lembut.
“Artinya, tidak menyimpan dendam dan pernah mengungkit kesalahan orang lain. Jadi (kesimpulannya), ciri pertama dari orang yang mempertahankan ketakwaan itu, akan terlihat dari upaya menjaga konsistensi dalam menjalankan ibadah,” katanya.
“Kedua, ketakwaan itu akan terlihat dari perilaku dan sikap sehingga ibadah yang dilakukan benar-benar mempunyai pengaruh dalam kehidupan. Jadi ibadah shalat, puasa, dan ibadah lain yang kita lakukan ini ada bekasnya,” pungkas Kiai Abdi.