Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan di dalam agama Islam, hukum menikah adalah mubah; bukan wajib, bukan sunnah.
“Pertanyaannya, kenapa Allh tidak mewajibkan nikah? Karena tanpa diwajibkan pun kecenderungan rata-rata manusia, apa pun agamanya, apa pun etnis dan sukunya, pasti akan menikah,” kata Kiai Moqsith saat mengisi Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa-Nikah Childfree menurut Hukum Islam, beberapa waktu lalu.
Kiai Moqsith menyebutkan di dalam kaidah ushul fiqih dikatakan hal-hal yang bersifat naluriah itu tidak butuh diwajibkan oleh syariah. Karenanya tidak ada dalam Al-Qur’an dan assunnah perintah agar manusia makan dan minum. Tanpa diwajibkan pun secara naluriah manusia akan makan dan minum.
“Begitu juga menikah, hukumnya mubah, bukan sunnah, bukan wajib. Makanya banyak para ulama, bahkan para nabi yang memilih hidup tidak menikah,” kata Kiai Moqsith.
Kiai Moqsith mengatakan ada beberapa ulama yang tidak menikah, salah satunya Imam Nawawi. Imam Nawawi dikenal memiliki banyak karya yang kemudian menjadi rujukan di kalangan pondok-pondok pesantren.
Bukan hanya Imam Nawawi yang tidak menikah. Ulama-ulama besar seperti Azzam Masyari yang memiliki karya kitab juga tidak menikah. Ini sekali lagi karena hukum menikah itu mubbah, bukan sunnah dan bukan wajib.
Akan tetapi khawatir terlampau banyak orang memilih tidak menikah maka sebagian ulama menyatakan menikah hukumnya fardu kifayah.
“Jadi orang se-Kecamatan Ciputat Timur ini tidak menikah, berdosa semua. Itu kalau kita berpandangan menikah itu hukumnya fardu kifayah. Satu dusun tidak ada yang menikah ya dosa semua. Berarti (kalau seperti itu) menikah hukumnya sama dengan shalat jenazah, kalau orang sekampung tidak mensalati jenazah orang Islam ya berdosa semua. Maka sebagian ulama meskipun kecil jumlahya menyatakan, menikah itu hukumnya adalah fardu kifayah,” kata Kiai Moqsith.
Tujuan pernikahan
Kiai Moqsith meneruskan, memang ada perbedaan pandangan antara ulama Syafii dan ulama Maliki. Menurut ulama Maliki, tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh sakinah atau kebahagiaan. Hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, “Aku ciptakan kalian berpasang-pasangan, suami dan istri, tujuannya agar engkau dalam berpasangan ini memperoleh sakinah.”
“Jadi menikah punya tujuan mencari kebahagiaan. Dan di dalam pernikahan itu Allah menjanjikan akan muncul cinta kasih mawadah dan rahmah di dalam pernikahan. Itu Allah sendiri yang menegaskan di dalam Al-Qur’an,” terang pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karena tujuan dari pernikahan adalah ingin memperoleh kebahagiaan maka memperoleh anak itu bukan tujuan utama di dalam mazhab Maliki. Kalau sampai punya anak itu sebagai bonus karena tujuannya adalah kebahagiaan.
Sedangkan di dalam mazhab Syafii tujuan pernikahan bukan hanya itu. Tujuan utama di dalam pernikahan itu justru untuk memperoleh keturunan. “Jadi kalau tujuan utama di dalam pernikahan menurut mazhab Maliki untuk memperoleh kebahagiaan, maka tujuan utama pernikahan di dalam mazhab Syafii itu untuk memperoleh keturunan,” kata Kiai Moqsith.
Dalil terkait tujuan itu, lanjut Kiai Moqsith, misalnya berdasarkan hadist Nabi yang artinya ‘Nikahilah perempuan-perempuan yang potensial, memiliki anak keturunan yang banyak, karena aku dan kalian ini berlomba-lomba memperbanyak keturunan.
“Makannya anak Baginda Nabi lumayan banyak kan, ada tujuh. Yang laki-laki meninggal ketika masih bayi semua, Kasim, Abdullah, dan Ibrahim. Kasim Abdulah hasil pernikaannya dengan Khodijah, dan Ibrahim hasil pernikahan Nabi dengan Maria al-Qabitiyya,” ujarnya.