Pada 14-15 Desember 2020, Forum Alumni Penerima Beasiswa 5000 Doktor menyelenggarakan program Webinar bertajuk ‘Webinar #Series Eropa dan Timur Tengah (Catatan Pengalaman Hidup dan Belajar Alumni 5000 Doktor)’.
Program yang dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan zoom meeting ini dikemas dalam bentuk ‘Talkshow’ dan mendiskusikan beberapa materi utama, seperti: bagaimana iklim akademik di Eropa dan Timur Tengah, pengalaman menjadi ‘muslim Indonesia’ di luar negeri, serta suka duka dalam menulis tesis dan disertasi.
Seri pertama (14/12) menghadirkan 4 narasumber alumni penerima beasiswa 5000 Doktor yang menyelesaikan studinya di eropa, yaitu: Dr. Fertiana Santy, MPPM Alumnus Program Sosiologi Hukum Politik di Sciences Po – Université d’Aix-Marseille, Perancis; Dr. Phil. Kamal Yusuf, M.A, Alumnus program Linguistics (Oriental Studies) di Universität Leipzig, Jerman; Eva Nurlatifah, M. Sc, Alumnus program Business IT di University of Twente, Belanda; dan Munasprianto Ramli, Ph.D, Alumnus program Science Education di University of Manchester, UK dan dimoderatori oleh: Dito Alif Pratama Alumnus program Specialization Peace, Trauma, and Religion di Vrije Universiteit, Amsterdam.
Satu persatu secara bergantian pemateri menyampaikan pengalaman suka dukanya selama menempuh studi Master dan doktoral di Eropa. Munas mengawali ceritanya dengan berpesan kepada kandidat pelajar studi doktoral di luar negeri agar membangun komunikasi yang baik dengan supervisor/pembimbing disertasi. “Komunikasi yang baik dengan supervisor akan sangat berpengaruh pada durasi belajar kita di luar negeri,” jelasnya.
Munas juga berpesan agar siapapun yang ingin belajar di luar negeri (khususnya eropa) agar menyiapkan kemampuan dan kompetensi Bahasa Inggris sedini mungkin. Kamal Yusuf yang menyelesaikan studi doktoralnya di Jerman mengisahkan betapa suasana perpustakaan di Jerman layaknya ‘kuburan’ yang sangatlah sepi, ibaratnya seperti jarum jatuh kedengaran.
“Sepi seperti kuburan di sini jangan diartikan tidak ada pengunjungnya, tetapi justru karena mereka yang datang ke perpustakaan itu sangatlah fokus membaca dan sangat menjaga ketertiban,” Ujarnya sambil tertawa.
Berbeda dari pemateri sebelumnya, Eva Nurlatifah yang menyelesaikan studi masternya di Belanda banyak mengisahkan bagaimana pengalaman hidupnya sebagai seorang muslimah di negeri kincir angin. Ia pastikan, negara Eropa (baca: Belanda) sangatlah ramah dan toleran, mereka sangat menghargai siapapun yang berbeda agama. “Selama saya tinggal di Belanda, tidak sekalipun saya alami perlakuan diskriminatif mengatasnamakan agama terhadap saya yang notabene nya adalah seorang Muslimah.”
Di lain kesempatan, Fertiana mengisahkan bagaimana pengalaman studi sekaligus kisah perjuangan melahirkan anak keduanya di Perancis.
“Awalnya, saya pikir, melahirkan anak di luar negeri akan sangat rumit, ternyata tidak, justru dokter dan pihak rumah sakit sangatlah kooperatif dan supportif, tidak membeda-bedakan siapapun dan berasal dari latar belakang negara manapun. Alhamdulillah anak kedua saya pun dengan selamat lahir di Perancis, ceritanya Bahagia.”
Tidak jauh berbeda dengan hari pertama, seri kedua webinar (15/12) juga kembali mengundang para alumni beasiswa 5000 doktor yang menyelsaikan studinya di timur Tengah, diantaranya Dr. Fauzun Jamal, MA, Alumnus program ‘Al-Ikhtilaf fil Ulum asy-Syar’iyah’ di kampus Ibn Tofail University, Kenitra, Maroko; Ahmad Luqman Hakim, M.A, PhD (cand) program Arabic Linguistic di King Abdulaziz University, Saudi Arabia; Dr. In Suryaningsih, S.S, M.A, Alumnus program Philology di Institute of Arab Research and Studies Cairo-Egypt; Dr. Dede Permana, Alumni program Syariah Islamiyyah di Universitas Zaitunah, Tunisia dan dimoderatori oleh Aris Mahmudi, MA, Alumnus program kurikulum dan Metode Pengajaran di Khartoum International Institute For Arabic Language, Sudan.
Iin Suryaningsih mengawali kisah perjalanan studi doktoralnya di Mesir dengan penuh antusias. Ia tegaskan salah satu alasan terbesarnya memilih Mesir adalah faktor sejarah peradaban mesir kuno yang erat dengan kaitanya dengan bidang yang digelutinya, filologi. Di lain kesempatan, Dede membuka memori masa lalunya dalam menentukan studi doktoralnya di Tunisia. Pernah mengenyam Pendidikan di Mesir, tak lantas membuatnya ingin melanjutkan studi doktoralnya di Mesir, tetapi malah melabuhkan hatinya di Tunisia. Ia juga berpesan kepada para pejuang beasiswa untuk punyai mental baja dan keteguhan hati yang kuat dalam proses mencari beasiswa.
Lukman dan Fauzun mengisahkan pengalaman keduanya belajar di Maroko. “Maroko adalah salah satu kiblat peradaban di masa lalu dan negara yang banya menghasilkan pemikir hebat dulu dan kini, karenanya saya memilih untuk ‘ngalap berkah’ di negeri ini,” ungkap Fauzun.
Tidak jauh berbeda dengan Lukman, ia mencatat satu keuntungan tersendiri dari belajar di Maroko, salah satunya adalah kesempatannya saat ini mendapatkan beasiswa full S3 di King Abdul Aziz university Saudi, adalah karena pengalaman studi master sebelumnya di Maroko yang dianggap sebagai wasilah penting untuk bisa lanjutkan studinya di Saudi. “Profesor saya menilai salah satu alasan saya diterima beasiswa KSA Saudi adalah pengalaman pernah belajar di Maroko, Terima kasih 5000 Doktor atas kesempatan beasiswa bagi saya untuk studi di Maroko, ungkapnya Bahagia.”
Khamami Zada, selaku ketua Forum alumni Penerima beasiswa 5000 Doktor mengaku bangga dan Bahagia atas terselenggaranya acara ini. Lebih jauh lagi ia katakan, “Acara ini merupakan salah satu bentuk ikhtiar nyata pengabdian alumni 5000 Doktor untuk mengedukasi masyarakat Indonesia, khususnya di lingkungan PTKIN, agar mengetahui iklim Pendidikan di luar negeri. Semoga acara ini juga menjadi ‘virus penyemangat’ agar peserta juga bersemangat mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri dan memanfaatkan pengalaman belajarnya kelak untuk kemajuan PTKIN di masa depan,” ujarnya.