“Saya tidak anti dongeng,” kata pria dengan tinggi badan lebih dari 180 sentimeter itu. “Tapi jangan (jadikan dongeng) sebagai sejarah.”
Perkataannya kritis menanggapi soal penetapan ulang tahun Jakarta. Sudah lebih dari 61 tahun masyarakat ibu kota memperingatinya setiap tanggal 22 Juni.
Menurut dia, Fatahillah, seorang Arab yang mengusir bangsa Portugis dari Sunda Kelapa, tidak mungkin memberikan nama Hindu atau bahasa Sanskerta untuk kota ini, Jayakarta. “Nonsense. It’s stupid,” kata Adolf Heuken.
Ia mengatakan hal itu berdasarkan fakta tak ada dokumen yang menyebut kalau Fatahillah mengganti Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Pada 1540-1560, orang Portugis masih menyebut kota ini dengan nama lamanya.
Hal itu terbukti dari peta-peta lama Pulau Jawa. Salah satu peta tersebut tersimpan di perpustakaan Herzog August di Wofenbuttel, Jerman, yang menuliskan Calupu (Kalapa) sebagai Jakarta.
Barulah setelah 1560an kota ini berganti nama. Seperti tertulis dalam buku Decadas da Asia IV, karya seorang Portugis, Joao de Barros, pada 1615 nama Sunda Kelapa telah berganti menjadi Xacatara.
Penetapan tanggal 22 Juni bermula dari keinginan Gubernur DKI Jakarta Sudiro pada 1956 yang ingin merayakan ulang tahun ibu kota. “Tapi ini kepastian dengan dasar yang tidak pasti,” kata Adolf di kediamannya Jalan Mohammad Yamin Nomor 37, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (04/05/2017).
Suaranya pelan dan kadang ia lupa beberapa informasi karena usianya yang telah mencapai 88 tahun. Tapi nada bicaranya berubah menjadi keras, kritis, dan kadang tangannya memukul meja kalau pembicaraan mulai bersinggungan dengan sejarah Jakarta yang salah.
Kotanya ruwet, apalagi sejarahnya. Begitu Adolf menilai Jakarta yang telah menjadi tempat tinggalnya selama lebih dari 50 tahun.
Tapi Jakarta selalu memiliki tempat di hati Adolf. Hampir separuh hidupnya ia dedikasikan untuk mencatat sejarah kota ini. Dari mulai bangunan bersejarahnya, tempat ibadahnya, sampai perumahan Menteng, yang menjadi lokasi rumahnya sekarang.
Menurut dia, tak ada tempat yang bagus di Jakarta, tapi semua menggugah hatinya. “Interessant (menarik),” ujarnya dalam bahasa Prancis. Ia sampai tak ingin kembali ke kampung halamannya di Jerman. “Mau apa saya di sana? Saya senang tinggal di sini,” kata padri Katolik dari ordo Serikat Jesus itu.
Kepada kami, Fajar WH, Sorta Tobing, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo, Adolf menceritakan masa kecil hingga akhirnya menjadi warga negara Indonesia dan memutuskan tinggal di Jakarta hingga tutup usia. Simak kisahnya dalam dua bagian di bawah ini.
Bekerja di ruang yang hening
Rumah Menteng itu masih menunjukkan keasliannya. Kusen dan pintu kayunya tebal berkelir cokelat tua. Arsitekturnya berkarakter fungsionalis yang merupakan adaptasi bangunan Eropa di iklim tropis. Atapnya membumbung tinggi, banyak bukaan, terutama dari jendela. Halaman rumahnya rimbun penuh pohon dan tanaman.
Kami masuk ke ruang tamu rumahnya yang penuh dengan rak dan buku. Setiap rak ia bagi menurut tema buku, seperti soal Katolik, Islam, dan sejarah. Jumlahnya mungkin mencapai ribuan. Semua berjejer rapi dan terlihat beberapa sampul dan kertas telah menguning dimakan usia.
Adolf menyambut kami pagi itu tepat pukul sembilan. Dia berjalan perlahan mengenakan tongkat, mengulurkan tangannya, lalu mempersilakan kami masuk ke ruang kerjanya. Kami sempat melewati kamar tidurnya yang berisi satu tempat tidur ukuran queen, meja, kursi, dan tentu saja deretan buku di dalam rak.
Ia telah siap menerima pertanyaan soal Jakarta. Karena itu, belum sempat kami bertanya, ia sudah mengomentari soal hasil pemilihan gubernur putaran kedua. “Ini bahaya. Gubernur yang terpilih tidak tahu apa-apa. Sebagai menteri, dia tidak bisa urus uang,” katanya soal Anies Baswedan.
Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sebenarnya sudah cukup baik memimpin Jakarta. Gaya kepemimpinannya yang tegas, menurut Adolf, nomor dua terbaik setelah Ali Sadikin. “Memang cara bicaranya yang kurang,” ujarnya.
Ia mengaku cukup khawatir melihat bagaimana isu agama dipakai untuk menyerang Ahok. “Agama tidak bisa dipakai untuk politik,” katanya. “Tidak bisa disangkal, ia disingkirkan bukan karena masalah agama, tapi politik. Ini jelek sekali.”
Ruang kerja Adolf yang sepi, tak terasa kalau sebenarnya rumah itu berada di jalan utama Menteng yang dibelah oleh Kali Gresik. Tak terdengar suara kendaraan bermotor lalu lalang. Padahal kemacetan sering terjadi di depan rumahnya. Suara orang, apalagi peralatan elektronik pun tak terdengar.
Ia mengaku cukup nyaman bekerja tanpa kebisingan. Musik pun tak pernah ia dengar karena kata-kata dari penyanyi bisa memecah konsentrasinya. Di dalam keheninganlah, Adolf bisa mencurahkan jiwa dan raganya dalam menulis buku.
“Semua masih asli,” kata Adolf ketika bercerita soal arsitektur rumahnya. Hanya lubang angin saja beberapa harus ditutup karena terkadang ia memakai pendingin ruangan.
Menteng memiliki tempat tersendiri di hati Adolf. Ketika menempati rumah ini pada 1969 ia langsung penasaran mengapa kawasan ini berisi rumah-rumah bergaya Eropa. Sampai akhirnya ia menulis buku dengan judul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia pada 2001.
Tapi itu bukan buku pertamanya. Ia sebelumnya juga pernah menulis Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta dan Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta I-III. Semua ia lakukan karena rasa ingin tahu dan penasaran.
Ketertarikan Adolf pada Jakarta bermula ketika ia menemukan sebuah gereja Portugis di dekat Stasiun Jakarta Kota saat baru saja tinggal di kota ini. Ia bingung mengapa ada tempat ibadah Katolik yang dibangun pada 1695 di saat kotanya masih dikuasai oleh Belanda.
“Belanda melarang Katolik saat itu karena mereka Kristen Protestan,” kata Adolf. “Itulah satu-satunya gedung tua di Jakarta yang fungsinya masih sama dari awal dibangun.”
“Agama tidak bisa dipakai untuk politik.”
Adolf Heuken
Perjalanan mendalami sejarah Jakarta itu juga mempertemukannya dengan sebuah bangunan lama di belakang Museum Bahari, Jakarta Barat. Adolf tak percaya kalau bangunan itu adalah bekas benteng, melainkan sebuah gudang rempah-rempah.
Menurut dia, sejarah dan fungsi gudang tersebut sangat penting karena menjadi bukti rempah-rempah dari Maluku dulu pernah menjadi komoditas termahal di dunia. “Makanya saya jengkel sekali ketika bangunan itu dibiarkan rusak sampai sekarang,” ujarnya.
Informasi awam yang juga kerap ia kritik adalah tentang penduduk asli kota ini. Ia masih ingat pernah memberikan ceramah di depan orang Betawi. Adolf mengatakan pernyataan kontroversial. Orang Betawi bukan penduduk asli ibu kota.
Sontak saja semua yang hadir marah dan tak terima. Adolf menyampaikan hal itu berdasarkan bukti setelah Fatahillah menguasai Sunda Kelapa, orang Sunda tak pernah kembali lagi tapi menyingkir ke pengunungan .
Lalu, Belanda datang, penduduk yang sebagian besar dari Banten pun tersingkir. Kedatangan mereka bersama dengan para budak yang berasal dari Bali, Makassar, Flores, India, dan lainnya.
Orang Betawi, ia mengatakan, memiliki hubungan darah dengan para budak itu. “Belanda tidak peduli mereka dari mana, asal saja dibawa ke sini,” ujar Adolf. Para budak ini hidup dan memiliki keturunan hingga sekarang.
Ia mengatakan, sejak lama memang tak pernah ada penduduk asli tinggal berabad-abad di Jakarta. Kondisi ini sama seperti sekarang ketika banyak pendatang memenuhi ibu kota hingga tak jelas lagi siapa yang tulen dan bukan.
Biodata
Nama: Adolf Heuken
Tempat, tanggal lahir: Coesfeld, Jerman, 17 Juli 1929
Orang tua: Franz Heuken (ayah), Clara Heuken (ibu)
Pendidikan:
- SD di Telgte, Jerman (1936-1940)
- SMP-SMA di Konrad Schlaun, Munster, Jerman (1940-1950)
- Masuk Novisiat Serikat Jesus di Schlob Eringerfeld, Buren, Jerman (1950-1952)
- Juniorat di Rottmannshohe, Starnberg, Jerman
- Studi Filsafat di J. Berchmans-Kolleg, Pullach, Munchen, Jerman (1953-1956)
- Studi Teologi di St. Georgen, Frankfurt, Jerman (1958-1962)
- Tertiat di St. Beuno College. Wales, Inggris (1962-1963)
- Tiba di Indonesia menyelesaikan tertiat bagian akhir di Giri Sonta, Ungaran, Jawa Tengah (1963)
- Belajar Bahasa Indonesia di Paroki Mangga Besar, Jakarta (1963-1964)
Karier:
- Ditahbiskan menjadi iman di Kalserdom, Frankfurt, Jerman (1961)
- Asisten dalam biro publikasi Pusat Nasional Kongregasi Maria, Jakarta (1964-1969)
- Pembantu pegawai pencatat perkawinan Catatan Sipil, Jakarta (1964-1984)
- Dosen di Fakultas Pendidikan, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta (1966-1968)
- Dosen di Akademi Kateketik, Jakarta (1967-1968)
- Tinggal dan bekerja sebagai pengarang dan pimpinan Penerbitan Kongregasi Maria/CLC, Jakarta (1967)
- Kaul terakhir (1968)
- Dosen Teologi Moral di Seminari Santo Paulus, Yogyakarta (1968-1971)
- Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia (1968-1984)
- Penasihat Penerbitan Kanisius, Yogyakarta (1969-1976)
- Pendiri Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta (1970)
- Mendirikan dan mengurus umat Katolik berbahasa Jerman di Jakarta, Singapura, dan Kuala Lumpur (1971-1996)
- Sekretaris Nasional Kongregasi Maria/Christian Life Communities (1972-1977)
- Anggota (1974-1993) dan ketua (1993-1996) Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia
- Dosen Teologi Moral di STF Driyarkara, Jakarta (1978-1995)
- Anggota Dewan Pengawas Deutsche Internationale Schule, Jakarta (1980/2006)
- Penasehat uskup-uskup Indonesia pada Sinode di Roma, Italia (1981)
- Pastor umat berbahasa Jerman di Singapura (1981-1995)
- Bendahara Pusat Pengembangan Etika Biomedik (1983-2003)
- Anggota dan wakil ketua yayasan majalah Hidup, Jakarta (1986-2012)
- Bintang Jasa Jerman (2008)
- Penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2013)
Beberapa karya yang telah terbit:
- Sedjarah Gereja Katolik di Indonesia, Jakarta (1971)
- Kamus Politik Pembangunan, Yogyakarta (1973)
- Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, I-III, Jakarta (1999)
- Historical Site of Jakarta, Jakarta dan Singapura (2000)
- Menteng “Kota Taman” Pertama di Indonesia, Jakarta (2001)
- The Earliest Portuguese Sources for The History of Jakarta, Jakarta (2002)
- Seri Gedung-Gedung Ibadat yang Tua di Jakarta: Gereja, Masjid, Klenteng, Jakarta (2003)
- 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, Jakarta (2007)
- 150 Tahun Serikat Jesus Berkarya di Indonesia, Jakarta (2009)
- Kamus Indonesia-Jerman, Jakarta (2012)
- Atlas Sejarah Jakarta, Jakarta (2014)
- Sejarah Jakarta Dalam Lukisan dan Foto, Jakarta (2017)
Padri yang tak bisa menyanyi
Ketika Adolf remaja, ia senang sekali membaca buku sejarah. Keinginannya menjadi imam Katolik baru muncul selepas sekolah menengah atas. Keuskupan di Jerman kala itu sangat banyak sehingga ia yakin tidak susah untuk mewujudkan cita-citanya.
Namun, yang menjadi pertimbangan serius baginya adalah harus masuk ke ordo mana. Ia sempat berpikir memilih Fransiskan. Tapi ordo ini, menurut dia, terlalu happy go lucky, hidup harus miskin, sederhana, dan menyerahkan semua ke Tuhan. Semua itu tak sesuai dengan kepribadiannya yang suka dengan keteraturan dan hal yang pasti.
Lalu, ada juga Dominikan. Tapi ordo ini langsung ia jauhi. Penyebabnya sepele, karena setiap hari para imamnya harus bernyanyi. “So, forget it,” kata anak pertama dari delapan bersaudara itu. Ia mengaku suaranya jelek. Satu-satunya rapor merah di sekolah yang pernah ia terima adalah pelajaran menyanyi.
“Kalau seumur hidup dalam satu ordo harus menyanyi setiap hari, itu siksaan bagi saya,” katanya sambil terkekeh. Sang adiklah yang akhirnya masuk ke ordo ini. Apakah suara adiknya bagus? “Lumayan,” ujar Adolf singkat.
Pada akhirnya ia memilih menjadi Jesuit. Di ordo ini Adolf merasa cocok karena banyak intelektual di dalamnya. Ia jadi memiliki kesempatan untuk semakin mengembangkan kemampuannya dalam menulis dan mengajar.
Perjalanannya ke Jakarta sebenarnya tanpa sengaja. Pada 1962, ia harus memilih tempat kerja. Sebagai orang yang berasal dari Munster, Jerman bagian utara, Adolf terbiasa berinteraksi dengan warga Belanda di perbatasan.
Ketika Perang Dunia II terjadi, ia masih ingat betul pemerintah melarang mendengar siaran radio BBC . Tapi bersama dengan warga sekitar ia berhasil mencuri dengar siaran yang berbahasa Belanda. Ia bisa mengerti bahasa itu karena dialeknya sama, meskipun tak mampu mempraktekkannya langsung.
Berbekal pengalaman masa kecil, Adolf pun memilih Jakarta. “Ketika itu, di sini sudah ada misionaris dari Jerman. Jadi ada orang Belanda dan Jerman, samalah dengan kota masa kecil saya,” katanya.
Setahun pertama ia belajar bahasa Indonesia dan pergi ke Ungaran, Jawa Tengah. Lalu, ia kembali ke Jakarta untuk memulai pekerjaannya sebagai penulis dan pengajar. Ia tinggal di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Setelah itu, enam tahun kemudian ia pindah ke Menteng hingga sekarang.
Pekerjaannya tak pernah lepas dari menulis buku. Awalnya ia menulis buku-buku agama Katolik. Barulah kemudian topik bukunya berkembang ke sejarah Jakarta hingga kamus Jerman-Indonesia. Pada Sabtu dan Minggu ia membantu paroki di gereja. Tapi sekarang hal itu tak bisa ia lakukan lagi karena kakinya tak kuat berdiri terlalu lama.
Betah di Jakarta, ia pun tak menolak tawaran untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI). Ia sudah tak ingat lagi kapan peristiwa itu terjadi. Ia hanya mengatakan sekitar 1970an. Prosesnya cepat. Ia hanya mengatakan “Ya, Pak” kepada hakim yang bertanya kepadanya. Setelah itu, Adolf langsung mendapatkan kewarganegaraan baru.
Saat ini ia sedang menulis buku tentang semesta alam dan penciptaan. “Ini pusing karena banyak informasi dulu sudah tidak relevan lagi,” katanya. Kecanggihan teknologi sekarang, menurut dia, membuat rahasia di alam semesta sedikit demi sedikit terkuak.
Ia pun mengakui kalau teori dentuman besar yang menciptakan alam semesta atau big bangsudah tak terbantahkan lagi. Karena itu, harapannya bukunya nanti bisa menjadi jawaban apakah ilmu pengetahuan dan agama saling tabrak atau tidak.
Artikel ini pertama kali dimuat di Beritagar.ID