Demo perdana dalam pemerintahan presiden Gus Dur dilakukan oleh sekitar 30 orang di depan Istana Merdeka. Mereka membawa sound system jumbo di atas truck dengan volume keras, sehingga bisa terdengar dari ruang kerja presiden.
Mendengar itu, presiden memerintahkan staf untuk mencari tahu siapa yang sedang demo dan apa tuntutannya.
Beberapa saat saat kemudian, dilaporkan kepada presiden bahwa demonstran mengaku sebagai mahasiswa asal sebuah provinsi si Sumatra. Inti tuntutan mereka adalah tentang pembagian keuntungan hasil eksplorasi minyak dan gas di daerahnya yang lebih adil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kata lain, mereka menuntut bagi hasil yang lebih besar bagi daerahnya. Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka mengancam akan memisahkan diri dari NKRI.
“Bawa beberapa orang perwakilannya masuk. Saya mau terima mereka di sini.” perintah Presiden.
“Serius?”
“Yang benar, Bos?”
Kira-kira begitu yang ada dalam batin staf kepresidenan. Sebab seumur-umur baru kali ini mereka mendapatkan perintah presiden untuk membawa masuk demonstran.
Suasana menjadi tegang ketika sekitar lima orang demonstran digiring masuk oleh ajudan dan paspampres. Tanpa suara. Wajah para demonstran terlihat tidak begitu bersahabat.
Pertemuan diawali dengan demonstran menyampaikan maksudnya. Lama-lama suara perwakilan dari demonstran mulai bernada keras dan menyerang presiden.
Para wartawan sangat antusias mengambil momen langka tersebut. Namun staf kepresiden memberi isyarat agar wartawan menyudahi liputannya dan segera keluar dari ruang presiden.
Juru lampu video juga langsung mematikan lampu 1000 watt-nya. Sambil tangan kanannya memegang gagang lampu yang masih super panas itu, tangan kirinya mulai menarik-narik kabelnya untuk dirapikan.
Suasana di ruang staf hening karena semua masih tegang.
Tiba-tiba…
“Braaak…!!!”
Terdengar suara gebrakan meja disusul suara presiden membentak dengan sangat keras.
Kami semua amat sangat terkejut. Beberapa detik tak ada yang bergerak, terkesima. Kami hanya bisa saling pandang penuh tanda tanya, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sepersekian detik kemudian, serentak para staf tergopoh-gopoh berlari menuju ruang presiden.
Dari depan pintu, tampak Gus Dur berdiri di belakang meja kerjanya. Kedua telapak tangannya bertumpu pada meja
kerjanya. Beberapa barang di atas meja seperti tempat alat tulis tampak sudah rebah di atas meja. Pensil, ballpoint, penjepit kertas, dan lain-lain berserakan di sekitar telapak tangan Presiden dan basah oleh air minum yang tumpah dari gelas.
Presiden rupanya marah besar setelah mendengar apa yang disampaikan tamu beringasnya. Rupanya Gus Dur menganggap para pendemo itu sudah keterlaluan, terutama mengenai ancaman mereka untuk memisahkan diri dari NKRI, jika tuntutan mereka tidak diluluskan.
Para pemuda yang awalnya terkesan garang itu sekarang berubah drastis, duduk tertunduk dalam-dalam. Tangan mereka tertumpu di pangkuan masing-masing. Tanpa kata. Mereka langsung ciut nyalinya ketika Presiden murka.
Ajudan dengan ragu-ragu memberanikan diri perlahan-lahan menghampiri Presiden dan mempersilakan duduk kembali. Ia menyorongkan kembali kursi presiden yang sekarang posisinya sudah agak ke belakang dan miring ke kiri. Presiden kemudian duduk kembali dan meneruskan kalimat-kalimatnya kepada para pemuda yang posisi duduknya semakin melengkung punggungnya karena takut.
Lima menit, suasana belum berubah. Masih terdengar suara Presiden memberikan wejangan kepada tamunya. Kali ini ganti Presiden yang memonopoli pembicaraan. Para mahasiswa hanya mendengarkan sambil sekali-kali mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu, tiba-tiba aroma menyengat barang terbakar gosong menyeruak di hidung. Disusul dengan asap putih berarak datang, entah dari mana.
Kebakaran!!!??
Sontak kami semua mencari sumber asap dengan panik. Petugas keamanan kalang kabut.
“Buka jendela! Buka jendela!!” teriak Paspampres.
Setelah beberapa saat dicari-cari dengan kesigapan yang tak terbayangkan, akhirnya sumber asap ditemukan, di ruang itu juga. Asap berasal dari busa tempat duduk kosong yang telah gosong terbakar oleh lampu video.
Asisten lampu video yang sedang menggulung kabel lampu tadi, saking kagetnya mendengar bentakan Presiden, dia nggregeli. Ia keluar dari ruangan dan tanpa sadar meletakkan lampu video yang masih sangat panas karena baru saja usai digunakan, di atas kursi dengan posisi telungkup. Bola lampu yang masih membara menempel pada busa kursi.
Bagaimana dengan Presiden yang sedang di puncak amarahnya? Tentu saja beliau juga mencium aroma menyengat
itu. Dengan ekstra hati-hati, dengan kalimat yang telah dipilih dengan seksama, staf presiden memberikan penjelasan kepada Presiden bahwa kursi terbakar oleh lampu panas.
“Mohon maaf, Bapak Presiden. Ini terjadi karena petugas juru lampu kami sangat terkejut dan ketakutan melihat Presiden
marah,”
Bagaimana reaksi Gus Dur?
“Oh, ketakutan ya dia?” tanya Presiden lagi.
“Tidak hanya takut, Bapak Presiden. Saking takutnya, dia sampai gemetaran,”
Mendengar penjelasan itu, tanpa diduga Gus Dur malah tertawa, terkekeh-kekeh. Melihat Presiden tiba-tiba
tertawa, pendemo yang tadi sudah mengkerut menjadi sebesar biji jagung, ikut tertawa lepas, sambil saling senggol-senggolan badan di antara mereka. Posisi duduk mereka kembali tegak tidak membungkuk lagi.
Suasana pun mencair seketika. Suasana yang tadinya sangat tegang, berubah menjadi suasana ger-geran. Pertemuan antara Presiden dan pendemo yang tadinya garang itu dilanjutkan dalam suasana yang sangat santai. Sesekali terdengar tawa mereka bersama. Entah apa yang mereka tertawakan kali ini.(RM)
Sumber: (Presiden Gus Dur The Untold Stories, Penulis Priyo Sambadha, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia)