Di kota Sydney yang merupakan kota terbesar di Australia, NU ataupun forum Kaifa dibandingkan dengan organisasi keagamaan ataupun komunitas Muslim Indonesia lainnya ibarat menjadi penumpang bus terakhir. Saat masuk, bus sudah penuh dan hampir semua kursi sudah terisi hingga hanya menyisakan kursi di bagian belakang. Bahkan belum sempat duduk dan masih celingukan mencari tempat kosong, bus pun sudah mulai jalan sementara penumpang yang lain telah menikmati kursi empuk hingga ada yang sudah tertidur saking nyamannya.
Begitulah kondisi eksistensi NU di kota Sydney diantara sekian banyak komunitas Muslim Indonesia lainnya yang jumlahnya mencapai lebih dari lima puluhan. Berbagai komunitas Muslim di Sydney telah eksis, tumbuh dan melakukan gerakan dakwah dengan sangat intens serta mencapai berbagai pencapaian yang cukup luar biasa. Komunitas-komunitas Muslim Indonesia di Sydney usianya bahkan mencapai puluhan tahun sebut misalnya konunitas Muslim Ashabul Kahfi yang didirikan oleh salah satu tokoh dakwah Muslim dari Aceh yakni ustadz Halidin. Bulan Desember tahun 2018 kemarin, mereka memperingati hari lahirnya yang ke-20.
Saya mencatat bahwa saat ini setidaknya ada empat komunitas muslim Indonesia terbesar di kota Sydney dan sekitarnya. Mereka besar tidak hanya dilihat dari jumlah anggota tetapi juga fasilitas infrastruktur berupa masjid dan properti lainnya yang mereka miliki dan kelola. Diantaranya adalah komunitas CIDE (Centre of Islamic Dakwah and Education) dengan masjid Al Hijrah di kawasan Tempe, malah CIDE saat ini juga telah melebarkan sayap dakwah mereka di kawasan West Sydney dengan menyewa gedung sendiri sebagai masjid dan pendidikan agama semacam TPQ. Kemudian komunitas lembaga Ashabul Kahfi yang fokus untuk mengelola bidang pendidikan, dan saat ini merencanakan membangun Islamic Centre di lahan yang mereka miliki di daerah Wiley Park. Kegiatan penggalangan dana alias fund raising sudah mereka lakukan beberapa kali untuk mewujudkan pembangunan Islamic Centre tersebut.
Selanjutnya komunitas masjid Iqra’ Foundation yang juga bermarkas di kawasan Wiley Park. Komunitas ini digerakkan oleh aktivis PKS yang merintis perjuangan dakwahnya semenjak akhir tahun 90an dan awalnya dari kegiatan halaqoh di berbagai tempat di Sydney. Komunitas besar lain adalah komunitas muslim LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang memiliki masjid yang sangat besar bekas gereja beserta lahan yang luas di sekitarnya di kawasan Puncbowl. Di Australia mereka lebih suka memakai nama AIDA (the Association of Islamic Da’wah in Australia) dalam melakukan kerja-kerja dakwah mereka.
Selain itu, masih banyak komunitas Muslim Indonesia lainnya yang menggambarkan betapa beragamnya wajah Islam Indonesia khususnya di kota Sydney dan sekitarnya. Komunitas Muslim Indonesia yang memiliki latar belakang kedaerahan seperti komunitas orang-orang Minangkabau membentuk Minang Saiyo yang memiliki anggota ribuan dan menurut informasi, mereka adalah komunitas kedaerahan tertua, komunitas pengajian masyarakat Aceh, komunitas pengajian Jawa Timuran, komunitas pengajian masyarakat Sunda, komunitas pengajian masyarakat Makassar serta beberapa lainnya.
Komunitas Muslim berbasiskan organisasi kemasyarakatn keagamaan semisal Muhammadiyah, NU dan juga Majlis Rasulullah yang baru saja didirikan oleh orang-orang Arab Indonesia. Komunitas HTI dan PKS mewakili komunitas muslim yang kental dengan politik. Para kaum professional membentuk komunitas Halaqoh Jumat malam dan mereka lebih dekat ke PKS berkat perjuangan pendakwah mereka yang sangat militan, serta para perawat membentuk komunitas IMNA (Indonesian Muslims Nurse Association).
Para mahasiswa baik program master maupun doktoral membentuk grup pengajian Mahasiswa Muslim di UNSW yang sudah mapan dan besar dan pengajian Usyd yang menampung mahasiswa-mahasiwa Usyd, UTS dan sebagian WSU. Meski komunitas pengajian mahasiswa ini kurang begitu signifikan karena anggotanya datang dan pergi, tetapi kontribusi mereka terhadap corak kegamaan justru sangat besar terutama pada akhir tahun 90 an. Sekarang pun mereka menjadi pemasok handal untuk mengisi ceramah atau pengajian bagi komunitas-komunitas Muslim yang ada di kota Sydney dan sekitarnya. Komunitas kecil lainnya masih banyak terutama komunitas pengajian para kaum ibu yang sangat aktif melakukan kajian keislaman mulai mingguan hingga bulanan.
NU dan Kaifa
Seperti yang saya singgung di atas, secara kelembagaan NU dan Kaifa adalah komunitas pendatang baru di kota Sydney dibandingkan dengan komunitas muslim Indonesia lainnya. Meski sebenarnya banyak sekali generasi awal diaspora Muslim Indonesia yang datang ke Sydney adalah orang NU secara kultural. Mereka dulunya di kampung halaman mempraktikkan amaliah NU seperti pembacaan Sholawat dan ritual Yasinan dan Tahlilan. Namun saat tiba di Sydney mereka sudah jauh dari amaliah NU, apalagi mendaku sebagai orang NU yang bagi sebagian dari mereka dianggap liberal.
Ketertinggalan NU bisa jadi juga adalah bentuk terlambatnya kaum intelektual NU yang melanjutkan studi di luar negeri, khususnya di kota Sydney. Kelompok di luar NU sudah sejak lama mengirimkan kader-kader mereka melalui beasiswa untuk mengambil program baik master maupun doctor. Salah satu contoh adalah salah seorang aktivis dakwah yakni DR. Taufiq Ramlan yang saat ini menurut informasi menjadi anggota DPR pusat dari partai PKS. Di akhir tahun 90 an, ia mengambil program doctor di UNSW. Sebagai orang yang kental dengan dakwah, ia membangun jaringan dakwah dengan membentuk halaqoh-halaqoh bahkan hingga di daerah-daerah yang lumayan jauh dari kota Sydney. Saat ini, perjuangannnya berbuah manis dengan komunitas PKS yang tidak hanya militan tapi menjadi salah satu komunitas dan gerakan dakwah yang paling dinamis perkembangannya di Sydney.
Ustadz-ustadz berbagai faham dan aliran di luar NU seperti Salafi, Wahabi dan HTI juga sangat kuat pengaruhnya dalam membentuk corak dakwah dan pemikiran sesuai dengan faham mereka. Lagi-lagi mereka datang jauh lebih awal dari NU sehingga mereka sudah memiliki basis massa yang mendukung dakwah serta pemikiran mereka.
Hal itu selanjutnya membentuk watak berbagai komunitas Muslim yang ada di Sydney menjadi masyarakat yang bukan NU. Mereka cenderung ‘membenci’ NU bahkan dalam beberapa hal menjadikan NU sebagai ‘common enemy.’ Saya mencatat ada tiga hal mendasar yang diapakai mereka untuk mem bully NU, pertama adalah persoalan amaliah. Sudah jamak diketahui bahwa kaum di luar NU selalu menuduh bahwa pembacaan sholawat, dzikir bersama, serta acara pemabacaan surat Yasin dan Tahlil adalah bid’ah yang harus dijauhi oleh umat muslim.
Bahkan di awal-awal kedatangan saya di Sydney, saya sudah melihat sendiri pembid’ah an tersebut saat mengikuti pengajian rutin mingguan di salah satu masjid di kawasan Wiley Park serta ketika mengikuti pengajian yang diadakan mahasiswa. Para ustadz itu seakan mengulang-ulang lagu lama tentang amalan-amalan bid’ah dan lucunya saat saya mencoba mempertanyakan mengapa, sontak sang ustadz nada bicaranya meninggi dengan wajah masam dan terlihat sekali kalau tersinggung. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana makin marahnya kalau dia didebat tentang persoalan itu.
Persoalan kedua adalah pemikiran keagamaan. Mereka menganggap bahwa pemikiran-pemikiran kyai dan kaum intelektual NU dalam hal pemikiran keagamaan sangat liberal. Kasus penolakan ustadz Ahmad Rofiq seperti yang saya singgung di atas merupakan contoh yang sangat nyata. Ironisnya lagi, ketika saya bertemu dengan berbagai tokoh komunitas Muslim Indonesia di Sydney, mereka selalu mewanti-wanti untuk tidak ikut arus pemikiran liberal intelektual NU. Dengan terus terang, salah seorang dari tokoh itu mengatakan bahwa pemikiran liberal intelektual NU bak virus yang sangat ganas yang mengancam keber Islaman seseorang.
Politik merupakan permasalahan ketiga yang tak kalah pentingnya bagi komunitas muslim lain di Sydney untuk menggolongkan NU sebagai ormas yang anti dan tidak berpihak kepada Islam. Peristiwa kemelut Ahok beberapa waktu lalu seakan menjadi pemantik kemarahan untuk yang kesekian kalinya terhadap NU. Hampir semua kelompok baik tokoh-tokohnya maupun warga-warga komunitasnya ramai-ramai mencaci maki NU. Hal ini masih ditambah lagi dengan majunya KH Makruf Amin menjadi cawapres Jokowi. Segala fitnah dan berita palsu mengenai sang kyai dan pilihan poilitk NU bertebaran dan dilakukan nyaris saban hari.
Melihat realitas yang ada dengan beragam tantangan di atas, NU dan Kaifa terus berusaha untuk ikut hadir di kota Sydney dengan semangat yang sama dengan komunitas lainnya yakni melakukan dakwah setidaknya bagi keluarga dan masyarakat NU sendiri. Saya jadi teringat dengan ungkapan gus Muwafiq bahwa semakin di bully dan dibenci, NU justru akan bangkit.
Beberapa hal yang menggembirakan adalah eksistensi komunitas Kaifa sebagai wadah warga NU yang makin konsisten melakukan kegiatan bulanan selama hampir dua tahun belakangan. Bagaimanapun, konsistensi yang dalam istilah keagamaan disebut istiqomah tidak hanya harus tetapi wajib dijaga. Selain sebagai ajang silaturahim antar anggota komunitas, konsistensi kegiatan memberikan pesan eksistensi kepada masyarakat.
Pelan tapi pasti, masyarakat penduduk tetap atau PR Sydney mulai bergabung dengan Kaifa terutama para diaspora generasi awal. Hati mereka sebenarnya NU secara kultural, tetapi sudah lama bahkan puluhan tahun tidak menemukan kegiatan yasinan/tahlilan dan sholawatan. Bahkan salah seorang jamaah, bu Anis yang berasal dari kota Malang menangis saat pertama kali ikut bergabung di Kaifa awal tahun 2017. Ia mengatakan, sudah puluhan tahun tidak lagi mendengar dan mengikuti yasinan dan tahlilan. Belakangan beliau berhasil mengajak beberapa PR untuk bergabung dengan Kaifa.
Saat ini jumlah anggota Kaifa mencapai puluhan gabungan antara mahasiswa program doctor dan para PR. Kita berharap bahwa nantinya akan lebih banyak PR yang bergabung karena mereka tentu berada di kota Sydney selamanya sementara para mahasiswa hanya tinggal beberapa tahun saja. Kita juga berharap bahwa ke depan mereka akan mengelola Kaifa karena selama ini semenjak didirikan, Kaifa masih dipegang oleh mahasiswa kecuali saya yang hanya turut istri di kota Sydney. Saya adalah ketua ketiga setelah bu Atun Wardatun dan bu Heni Muflikhah.