Saya sampai di Waeapo, pada suatu tengah hari, ketika jalanan berdebu dan kuik elang mengepak selurus matahari. Di bawah matahari yang membuat runduk sekalian daunan kayu putih, mengalir sungai Waeapo. Dari sungai yang memancar dari Danau Rana dan bermuara di Teluk Kayeli inilah semua kawasan dinamakan.
Ada yang menulis Wayapo, atau Waiapu. Ada pula yang dipisahkan: Way Apo atau Wai Apu. Pramoedya Ananta Toer menulisnya tidak tetap, kadang dipisah kadang digabung. Tapi merujuk nama yang terpampang di plang kantor Polsek dan kecamatan, nama mutakhir adalah Waeapo. Sebagaimana orang Lampung menyebut sungai dengan “way”, orang Buru juga demikian. Banyak nama sungai diawali “way” atau “wae”, dan dalam proses penyebutan maupun penulisan mengalami penyesuaian.
Saya masuk Waeapo pertama kali melalui “pintu belakang”, yakni dari Kayeli. Kalau mau disebut “pintu depan” tentu saja jalur Namlea-Waeapo yang merupakan jalan trans Pulau Buru. Kecuali mulus dan lapang, transportasinya juga maju-lancar, baik dengan angkot Namlea-Mako, maupun menggunakan bus Damri Namlea-Namrole.
Berbeda dengan jalur Kayeli yang harus ditempuh dengan naik kapal atau perahu dari Namlea, kemudian dilanjutkan jalan berbatu dan hanya sebagian yang diaspal, ke Mako. Orang juga harus menyambung perjalanan di Unit XVIII/Deboway atau disebut juga km 18, menunggu oto atau bis Damri. Maka ojek merupakan moda transportasi yang paling cepat di jalur ini.
Seorang pengojek muda membawa saya membelah lembah Waeapo dengan keluasan sawah dan rumah-rumah khas daerah transmigrasi—meski sebagian besar sudah berubah. Sesampai di km 18, ketimbang menunggu oto, saya bilang kepada tukang ojek untuk antar langsung ke Mako.
Maka kami menyusuri jalan tanah yang dulu dibuka para tapol, belum banyak berubah. Unit-unit yang agak di pedalaman—dalam arti jauh dari jalan utama—memang masih beraroma Buru masa lalu. Hanya savananya saja yang sudah berganti sawah. Bahkan tempat penyeberangan dengan pontong masih ada. Yakni, rakit kayu yang diberi pengapung drum kosong, dicantelkan tali yang dilintangkan di atas sungai. Di atasnya mobil dan motor diseberangkan tanpa harus mendayung atau menggalah. Dalam buku catatannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer sering menyebut penyeberangan pontong ini.
Kami naik pontong menyeberang Sungai Waeapo yang lebar menuju Air Mandidih di Unit I. Ongkosnya Rp 10.000, sudah termasuk tukang ojek dan motornya. Kerja tukang pontong tampaknya tak sulit. Tinggal mengaitkan tali seturut arus, pontong akan bergerak sendiri. Karena itulah tiga orang penunggunya dalam kondisi santai sekali; seorang memancing, seorang berkelumun kain sarung, dan seorang lagi memutar radio. Suara radio yang mendesis di antara riak air dan tiupan angin, membawa perasaan saya ke suasana masa lalu saat negeri ini bertikai sengit sesama saudara sebangsa. Di samping saya, seorang tentara ikut menyeberang. Membuat suasana makin dalam, tapakur.
Saya pandangi alur Waeapo yang berkelok-kelok dengan semak-semak perdu dan hutan bambu. Sungai ini bisa dimudiki dengan perahu ke hulu, sedang muaranya menuju Teluk Kayeli. Selain lewat pantai Sanleko di muara Sungai Waetele yang dekat ke Unit Savanajaya, sebagian tapol dulunya dibawa dengan perahu melalui muara Sungai Waeapo di Kampung Kaki Air. Lewat jalur ini juga kebutuhan tapol dikirimkan, berupa alat-alat pertanian, pupuk, dan obat-obatan untuk klinik kesehatan. Meski kenyataannya, para tapol bekerja dengan alat seadanya, pupuk yang tak terpakai atau raib, dan penderita malaria yang dibiarkan meringkuk tanpa pengobatan memadai.
Ini tidak aneh, jika melihat perangai oknum petugas yang jadi pecundang, termasuk dari kalangan tapol sendiri yang lazim disebut “tapol-manopol”—tapol yang main mata dengan petugas. Kadang kayu, papan, dan beras diperintah angkut secara gelap ke Namlea atas perintah tugas khusus mendesak (corvee), padahal demi memenuhi kebutuhan pribadi oknum Komandan Tefaat.
Ah, sungai ini telah menghidupi lembah Waeapo, tapi juga sudah banyak merenggut hidup para tapol; disambar buaya, hanyut, tenggelam, atau ditenggelamkan!
Kami sampai di seberang, di tepian Air Mandidih. Pram sering menyebut nama ini sebab merupakan jalur penghubung ke sejumlah unit. Bahkan lokasi penyeberangan yang baru saya lalui, menurut seorang penumpang, masih di sana sejak zaman tapol. Hanya penunggu dan pontong saja ganti-berganti, entah kapan berganti jembatan.
Kampung Air Mandidih kecil saja. Dari tepi sungai hingga ke arah pusat kampung didominasi rawa. Sebuah gudang Bulog tegak seperti kehabisan lahan. Begitu pula sebuah sekolah, antara mengapung dan tenggelam di timbunan rawa yang tetap basah. Di bagian rawa yang membelukar terdapat bekas beberapa bangunan tua, menungggu angslup ditelan bumi. Itu gudang-gudang zaman tapol yang dianggap tak lagi berguna.
Keluar dari jalan tanah Air Mandidih, persis di samping Masjid Raya Mako, saya langsung disambut jalan aspal yang mulus dengan sebuah tikungan tajam dekat pasar. Itulah jalan raya utama Pulau Buru yang menghubungkan Namlea-Waeapo hingga Namrole di Buru Selatan. Pasar itu sendiri merupakan kawasan Mako, akronim Markas Komando, karena di situlah dulu komandan Inrehab berkantor.
Dari Mako, koordinasi 21 Unit yang tersebar di lembah Waeapo dilakukan. Tak heran daerah ini menjadi paling ramai hingga sekarang. Sebenarnya kantor camat, polsek, koramil, kantor pos dan lain-lain terletak dalam wilayah yang lebih luas, yakni Waenetat. Tetapi orang tetap menyebutnya Mako.
Berbagai fasilitas ada di Mako, mulai pasar dan perkantoran, juga pertokoan. Toko alat pertanian, pupuk, sembako, warung makan (eh, ada warung Padang Ayah juga!), apotek, penginapan, tukang cukur (Rp 20.000/ kepala; di Yogya cukup Rp 8.000 saja), bank, dealer, bengkel, toko mainan anak, swalayan, toko emas, sampai tukang kunci!
Saya mencari tempat menginap dan setelah berkeliling menemukan ada sekitar 4-5 penginapan di sekitar Mako. Ada di pinggir sawah dengan angin sepoi-sepoi dan pemandangan indah, tapi jauh ke mana-mana. Ada berpendingin ruangan tapi kamarnya sempit. Pilihan saya jatuh ke Penginapan Resty dekat tikungan, di tempat saya pertama kali keluar dari Air Mandidih. Pertimbangan saya lebih dekat dengan pasar jika saya butuh sesuatu. Lagi pula ada masjid tempat saya bakal bertemu dengan banyak orang.
Penginapan ini adalah rumah biasa yang sangat sederhana, bekas tempat tinggal siempunya yang sekarang sudah punya rumah baru di sebelah. Suasananya terasa sejuk dengan lantai semen model lama, mengingatkan rumah bibi saya di kampung. Pemiliknya berasal dari Pati, dibawa bertransmigrasi sejak usia 8 tahun. Hanya saja karena di bagian depan digunakan tempat berjual ayam potong, yang dihasilkan dari peternakannya sendiri di belakang rumah, baunya agak kurang sedap. Sesekali aroma pakan ayam masuk ke kamar dibawa angin santer Waeapo.
Tapi biarlah, pikir saya, hitung-hitung merasakan bau Waeapo dari dunia transmigrasi. Untuk diketahui, sebagai daerah transmigrasi, Waeapo tak hanya menghasilkan padi dengan petani yang tekun, tetapi juga menghasilkan berbagai hewan ternak mulai ayam, kambing, sapi hingga kerbau pilihan.
Hal ini tidak jauh berbeda pada zaman tapol dulu. Para tapol tidak hanya membuka sawah bercocok tanam, juga memelihara hewan ternak. Itulah sebabnya, ketika para tapol dibebaskan, mereka tidak hanya mewariskan sawah dan lahan pemukiman buat saudara sebangsa mereka dari Jawa, namun juga melepas dan membagikan sapi-sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik peliharaan mereka.
Sebagian dari sapi dan kerbau yang berkembang biak di lembah Waeapo sekarang, siapa jamin “sterill” dari keturunan sapi-kerbau milik tapol? Apa pun, semangat bertani dengan segala bidang garapannya, terpancar dari dua dunia yang berbeda jauh keadaannya. Satu ditangani rezim atas nama hukuman dan rehabilitasi, satu lagi difasilitasi atas nama pembangunan, Pelita, Repelita dan entah apa lagi. Dua dunia itu bertemu di Waeapo, syukurlah kemudian menjadi kekuatan ganda dalam mengolah tanah Bupolo menjadi lumbung pangan di Jazirah Para Raja.
***
Sejarah mencatat, atau mungkin tak mencatat, sepanjang tahun 1969-1979, Waeapo dijadikan tempat “rehabilitasi” tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) 65. Mereka dianggap anggota dan simpatisan PKI yang dinyatakan terlarang pasca Peristiwa 30 September 1965.
Pemerintahan Soeharto dengan rezim Orde Baru-nya mengirim tak kurang 12.000 jiwa tapol ke Pulau Buru. Mereka dikirim secara bertahap, membuat geram dunia Internasional, dan dipulangkan kembali juga secara bertahap yang membuat dunia menahan nafas sebab mengalami sekian kali penundaan.
Selama sepuluh tahun di Pulau Buru, para tapol ditempatkan di daerah-daerah yang dibagi sedemikian rupa sepanjang lembah Waeapo. Pembagian tersebut dinamakan Unit. Total ada 21 unit yang penomorannya tersusun acak. Masing-masing unit berjarak antara 10 sampai 25 km, dari yang terdekat ke Namlea, yakni Savanajaya, sampai yang terjauh di kaki Pegunungan Batabual, Unit X/Wanadharma. Tapi jika dihitung secara urut berdasarkan letak unit yang bertetangga, maka jarak hanya berkisar antara 1-9 km saja. Sementara jika diukur dari Markas Komando (Mako), jarak terjauh 10,4 km, yakni Mako-Unit XIII/Giripura (lihat tabel yang dibuat Pramoedya, 1996: 409).
Setiap unit dihuni sekitar 500 orang tapol yang ditempatkan dalam 10 barak (10 barak diisi 50 orang). Mereka dikawal oleh Tonwal (peleton pengawal), dengan seorang Dan Tefaat (Komandan Tefaat). Lokasi pemukiman unit berada di tengah-tengah lahan pertanian.
Merujuk bagan Tefaat Unit XIV yang dibuat Mars Noersmono (2017: 11), lokasi dibagi dua bagian, depan dan belakang. Di depan terdapat wisma Dan Tefaat, asrama Tonwal berikut dapur, gudang, dan tempat kerja khusus seperti bengkel dan penggilingan beras (giser).
Di belakang atau bagian dalam tersusun barak dengan posisi berhadapan, lima barak di kanan, lima di kiri, dan di tengahnya dibangun gedung pertemuan (kadang berfungsi juga sebagai gedung kesenian).
Masing-masing barak memiliki beranda dan satu dapur yang disebut dapur barak. Selain dapur barak, terdapat sebuah dapur umum untuk masak besar jika ada kegiatan. Jangan ditanya tempat genset (diesel listrik) sebab malam hari keadaan gelap gulita, kecuali sedikit cahaya dari lampu kaleng. Itu pun tidak setiap hari menyala sebab minyak, baik minyak kelapa apalagi minyak tanah, sulit didapat. Cahaya yang ditunggu satu-satunya dalam kegelapan hanyalah cahaya bintang, bisa bintang di langit atau bintang di lengan baju para pengambil kebijakan.
Secara nasional, pelaksana Inrehab Buru adalah Bapreru (Badan Pelaksana Resettlement), suatu badan di bawah Kejaksaan Agung R.I. bersama Pangkopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban), sebuah lembaga kemeliteran khusus yang dibentuk di luar Konstitusi. Itulah sebabnya, pihak yang berunding dengan Raja Kayeli dalam hal penggunaan tanah ulayat Patuanan di Waeapo, Pulau Buru, adalah pihak Jaksa Agung RI. Saya tidak mendapat informasi lebih lanjut di mana perundingan itu dilaksanakan, apakah di Jakarta dengan mengundang Raja, atau di Kayeli di mana pihak Jaksa Agung datang ke pusat Patuanan.
Yang jelas, ketika pemerintah RI menjadikan Waeapo sebagai kawasan Inrehab bagi tahanan politik 65, dengan Raja Kayelilah pihak pemerintah berunding. Waktu itu, Raja Kayeli adalah Ishak Wael berunding dengan Jaksa Agung Muda Soetrisno, SH, 1969. Menurut Nafsiah, Ibu Raja, kompensasi yang diterima suaminya waktu itu berupa mesin motor tempel yang jika sekarang seharga Rp 16 juta.
Ketika tanah Inrehab hendak dialihfungsikan sebagai lahan transmigrasi tahun 1970, sekali lagi Raja Kayeli diajak berunding. Namun belum jelas keputusannya, sang Raja sudah lebih dulu wafat sehingga keluarga besar pun tidak tahu persis isi perundingan (lihat Buru, Pulau Raja yang Indah, 2008: 28).
Di luar perundingan, Jaksa Agung Jendral Sugiharto pernah datang ke Waeapo. Menyusul kemudian Pangkobkamtib Jendral Soemitro, 9 Oktober 1973. Soemitro datang dengan rombongan lengkap seperti Brigjen Wadly (Ketua Perencana Bapreru), Brigjen Wing Wirjawan, Mayjen Charis Suhud, dan lain-lain. Bersama mereka ada tim psikologi dari UI, seperti Fuad Hasan dan Saparinah Sadli. Tak ketinggalan wartawan, di antaranya Mochtar Lubis, Sabam Siagian dan Rosihan Anwar.
Tentu saja ketika rombongan itu datang kondisi Tefaat Pulau Buru sudah mulai jelas bentuknya. Selama empat tahun para tapol bekerja, sebagian savanna sudah berubah jadi sawah, jalan sudah tersedia biarpun masih dari tanah, sebuah perkampungan (non-barak) juga sudah berdiri di Savanajaya. Ini unit khusus untuk tapol yang disusul keluarga, karenanya tempat tinggal dibuat berbentuk rumah-rumah sederhana. Pengairan yang dialirkan dari Sungai Waeapo, dan sungai-sungai lain sudah membuahkan hasil.
Situasi itu jauh berbeda ketika para tapol baru datang. Mereka harus babat-alas membuka hutan dan membalik tanah savanna yang terbentang seluas mata memandang. Meskipun sebenarnya, saat mereka datang lokasi Tefaat tidak sepenuhnya kosong. Di sana sudah lebih dulu dipekerjakan para tapol dari Ambon. Mereka ditugaskan mendirikan barak dan membuat jalan rintisan. Namun jumlah tapol Ambon yang bekerja paling awal di Waeapo ini jarang terekspos. Termasuk ke mana mereka dibawa setelah gelombang tapol dari Jawa berdatangan. Sebab begitu tapol dalam jumlah besar datang, para tapol dari Ambon ditarik, namun tak ada yang tahu apakah dikembalikan ke Ambon, atau ditahan di Jiku Kecil, Namlea.
Menurut Hersri Setiawan dalam Aku Eks-Tapol (2003), Waeapo boleh jadi terinspirasi oleh Digul atau Tanah Merah pada zaman kolonial. Namun dalam prakteknya, tapol Digul lebih diperlakukan masuk akal sebab tak ada “pemanfaatan” tenaga manusia secara paksa untuk membuka lahan dan lain-lain soal.
Ketua Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM) yang juga anggota DPRD Buru, Jafar Nurlatu mengakui, faktor manusia dan alam Buru, khususnya Waeapo, dianggap cocok oleh rezim untuk pengasingan tapol. “Pada masa berdirinya RMS (Republik Maluku Selatan), rakyat Buru tidak tertarik bergabung. TNI yang mendarat di Ubung untuk penumpasan RMS, sangat terbantu oleh sikap penolakan warga Buru atas RMS,” kata Bang Jafar yang saya temui di rumah dinas Bupati Buru.
Bahkan menurut dia, penempatan tapol di Waeapo bisa dianggap tepat jika tujuannya untuk menangkal aliran komunis. Sebab di Buru, masyarakatnya tidak mudah terpengaruh oleh ideologi apa pun. “Jadi bukan hanya faktor penjara alam yang barangkali diperhitungkan pemerintah untuk menempatkan tapol di Waeapo, seperti gunung Batabual sebagai dinding dan Teluk Kayeli serta Laut Banda sebagai wilayah yang tak gampang diseberangi. Namun juga ketahanan masyarakat atas ideologi yang tidak mereka kehendaki. Saya tidak dapat bayangkan kalau mereka ditempatkan bukan di Waeapo.”
***
PUSAT Komando antar-unit terletak antara Unit I/Wanapura dan Unit II/Wanareja. Tempat tersebut dikenal dengan nama Mako (Markas Komando). Tidak ada gambar atau foto yang memperlihatkan bagaimana bangunan utama markas komando.
Tapi dari gambaran yang disampaikan Pram dalam catatannya, instalasi di pusat Mako berupa bangunan dua tingkat. Dilengkapi pos, dapur dan gudang logistik. Pram diizinkan tinggal di salah satu bilik di lantai atas, setelah kunjungan Soemitro. Ia diizinkan memakai mesin ketik untuk menulis.
Setiap hari, sebelum menulis, Pram berolahraga kecil, kemudian membantu mengumpulkan kayu bakar untuk dapur. Kadang ia ditugaskan mengangkut barang-barang ke gudang. Tak jauh dari situ terdapat klinik pengobatan. Mungkin juga ada tambahan bangunan lain, sebab selain Pram, petugas kemudian juga mengumpulkan tapol berkemampuan khusus untuk ikut tinggal di Mako, seperti ahli gambar, tukang kayu, pande besi, ahli mesin sampai pemusik. Sayangnya, penulis lain tidak ada yang seberuntung Pram. Sebutlah Rivai Apin, Mars Noersmono, Josoef Isak, Hersri Setiawan, Amarzan Lubis, dan lain-lain.
Saya mencoba menyusuri jejak Mako ke sekitar Polsek Waeapo. Hanya ada sebuah bangunan terbengkalai yang sudah tidak terurus. Sementara di samping pasar bersisa sebuah bangunan berdinding seng. Ukurannya cukup besar sebagai gudang logistik. Sebuah rumah pengawas gudang juga masih berdiri meskipun tinggal menunggu runtuh.
Berbagai situs memori pembuangan Pulau Buru memang pada hilang, dibiarkan hilang atau mungkin sengaja dihilangkan. Kamar tempat Pramoedya Ananta Toer dulu menuliskan karya-karyanya juga tak lagi bersisa.
Janet E. Steel dari Goerge University, ketika berkunjung ke Waeapo tahun 2007, menyertakan wawancaranya dengan (alm) Amarzan Lubis, menyesalkan hilangnya situs-situs memorial itu.
“Penghancuran barak-barak dan seluruh jejak unit merupakan upaya untuk menghapuskan sejarah dan memori,” kata Amarzan. “Mereka tetap mempertahankan panggung-panggung seni hanya karena orang-orang setempat masih sering menggunakannya.” Namun demikian,”Seperti tempat pengasingan lainnya,” ia menambahkan,”Pulau Buru sangat indah.” (Steel, 2010: 90).
(Diambil dan diolah dari manuskrip residensi penulis ke Pulau Buru, 2018)