Sedang Membaca
Sentimen Rezim

Peminat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta

Sentimen Rezim

Wajah Gus Dur di Kendaraan 2

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zen (1994: 1284) pengertian sentimen yang berasal dari bahasa Belanda itu ada dua: 1) perasaan (perseorangan) dan 2) rasa tidak suka yang terpendam. Sedangkan rezim (1994: 1166) yang berasal dari bahasa Prancis juga bermakna dua: 1) cara pemerintahan dan 2) pemerintah(an) yang berkuasa.

Maka sentimen rezim berarti perasaan seseorang yang tidak suka kepada pemerintah yang sedang berkuasa atau tidak setuju cara pemerintah tersebut memerintah.

Akan tetapi, dalam prakteknya belakangan, pengertian ini seturut perasaan saya mengalami pergeseran. Pertama, sentimen rasa-rasanya tak hanya menyatakan tidak suka, namun juga perasaan suka. Kedua, rezim tak hanya ditujukan bagi pemerintah(an) yang sedang berkuasa, tapi juga pada pemerintahan yang sudah tidak berkuasa.

Dalam dua pengertian berdasarkan perasaan saya inilah, saya melihat banyak di antara kita, disadari atau tidak, terlibat dalam sentimen rezim. Suatu sikap yang, sekali lagi disadari atau tidak, menganggap sebuah rezim sebagai bagian dari dirinya atau kelompoknya sehingga dalam istilah sekarang ia akan gampang jadi baper saat rezim itu disebut. Pendengarannya akan lebih tajam dan suaranya akan lebih nyaring, menyangkut hal-ihwal rezim yang ia sentimeni. Sering, saking tajam dan nyaringnya pembelaan, para pihak yang terlibat dalam fenomena sentimen rezim saling menyerang.

Baca juga:  Fariduddin Attar dan Mantiqut Thair: Cermin Perjalanan Spiritual Manusia

Akibatnya, kita bukan lagi berpikir dan berdiskusi soal kebangsaan atau hal-hal yang sifatnya lebih luas, melainkan terkungkung dinding rezim yang serba terbatas. Ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang merasa disentil, namun juga bagi yang menyentil (mengkritik). Potret ini terutama dapat diamati dengan terang-benderang di media sosial.

Ambil misal, ketika pemerintah memutuskan mengimpor garam beberapa waktu lalu, berbagai status atau tagar gencar mempersoalkannya secara streotipe: Laut kita luas, kenapa harus impor garam? Komentar penangkis yang muncul biasanya juga simplisit-streotipe: Impor garam tak hanya terjadi sekarang, juga dilakukan rezim terdahulu. Selanjutnya terjadi balas-membalas komentar. Tapi intinya tetap pada upaya terlokalisirnya persoalan sebatas rezim. Pihak yang tak setuju atau menyerang menyalahkan rezim yang sedang berkuasa. Sementara pihak yang membela balik mengunduh kebijakan rezim terdahulu.

Menguatnya sentimen ini tidak terlepas dari episode Pemilu tahun 2014 lalu yang memang paling ramai dalam sejarah politik tanah air, seiring terbukanya kran berekspresi di media sosial dengan segala perangkatnya. Namun sedihnya, ini bukan hanya melibatkan masyarakat biasa terutama di dunia maya, kalangan tokoh politik dan pejabat publik pun sering bersikap demikian. Anggota DPR dari partai “non-rezim” sering terlihat baper jika apa yang dilakukan rezim dianggapnya kurang pas; sebaliknya pihak di seberang juga ngotot membela.

Baca juga:  Al-Ghazali dan Teori Dependencia

Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

Yang terjadi adalah sikap kita yang berdiri di sebuah tembok rezim, baik rezim lama maupun rezim yang baru. Cinta kepada rezim mengendap di bawah alam sadar menjadikan semua kepentingan terbuhul di sana. Padahal, sebagaimana pernah dinyatakan Ariel Heryanto, pemerintah bukan negara dan negara bukan (hanya) pemerintah. Tanpa menyadari ini, persoalan kebangsaan yang lebih besar daripada urusan rezim, kerap terlupakan. Bahwa bangsa ini bolak-balik mengimpor garam, misalnya, juga kebutuhan primer lain, seharusnya kita letakkan di atas kerangka kebangsaan.

Laut kita memang luas, Tuan, akan tetapi upaya mendirikan industri garam ternyata tidak mudah. Tak hanya soal potensi, Puan, juga infrastruktur dan sumber daya manusia. Lebih dari itu, memang soal tekad dan kemauan. Kita tentu miris menyadari hal ini, dan seharusnya menjadi tugas dan cita-cita bersama untuk menegakkan kedaulatan garam.

Pemerintah, dari rezim apa pun, perlu didorong untuk memikirkannya, sekalipun kita tidak tahu pada rezim siapa swasembada ini nantinya bakal terwujud. Tapi jika kelak di kemudian hari swasembada ini tercapai, jangan pula dijadikan klaim-mengklaim: hanya pada rezim si Badu kita tidak impor garam. Atau sebaliknya: itu rezim Badu tinggal terima bersih, padahal rezim Fulan yang merintisnya dulu!

Baca juga:  Mengenal Hakim Sanai, Penyair Sufi yang Memberi Pengaruh pada Rumi

Apakah sensitivitas SARA harus digenapi menjadi Suku, Agama, Ras, dan Rezim (SARAZIM)?

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top