Lewat gambaran Bonjol yang “bersahabat” di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, Christine Dobbin (1983) berani mengatakan bahwa Bonjol merupakan satu-satunya desa di Minangkabau yang bisa memberi keterangan mengenai hubungan malim Padri dan kepala-kepala suku. Kaum Padri memang tak pernah benar-benar bisa menyingkirkan kaum adat karena mereka sendiri selalu aktif dan pekerja keras. Karena itu apa yang menjadi tujuan Imam Bonjol, yakni perdagangan dan kemakmuran, juga bersinggungan dengan kepentingan para penghulu.
Persoalannya, kenapa Bonjol tetap dikaitkan dengan kaum puritan? Bukankah pada periode Bonjol kaum puritan sudah berada di titik nadir terendah, baik sikap kekerasannya maupun kebersatuan semua komponen? Memang, Tuanku Mansiangan, pimpinan spiritual Padri pernah datang ke Bonjol, tapi diketahui dalam rangka membentuk pimpinan kolektif. Pada suatu ketika Nan Renceh pun datang ke Bonjol untuk membantu strategi. Tapi tak lama. Kehadiran tokoh yang terbilang paling keras itu, konon tanpa persetujuan Imam Bonjol. Seharusnya dengan itu semua Bonjol bisa dikenang sebagai kampung yang menyatukan banyak kekuatan melawan kolonial dalam apa yang disebut Dobbin sebagai “nasionalisme Minangkabau”.
Saya duga salah satu pokok soal terletak pada perluasan kekuasaan Bonjol ke daerah penghasil emas, Rao, kemudian berlanjut ke tano Batak. Emas Rao sudah dikenal oleh pedagang India sejak awal abad ke-2 SM. Pusat perdagangan Emas Rao terletak di Patapahan, Siak. Abad ke-18, emas Rao masih cukup banyak bersisa. Karena itulah Imam Bonjol tergiur menguasai Rao, dengan memulai serbuannya melalui Lubuk Sikaping tahun 1820 (Dobbin, 1983: 281).
Di Rao, Imam Bonjol berhasil menanamkan pengaruh yang memunculkan lagi seorang Tuanku yang kelak merangsek ke utara. Ya, Tuanku Rao! Menurut Dobbin, kemunculan tokoh Tuanku Rao agak kabur. Ia sangat dikenal dalam sejarah Batak namun segala sesuatu tentangnya didasarkan atas tradisi lisan. Keberadaannya tak terkonfirmasi dalam sumber sejarah Belanda. Berbeda dengan rekan Padrinya yang lain, Tuanku Tambusai, yang tercatat cukup rapi dalam dokumen kolonial. Padahal keduanya hidup sezaman (ibid, 1983: 282).
Tak kalah unik adalah “pengakuan” asal-usul Tuanku Rao sendiri. Bagi orang Batak dia adalah kerabat Sisingamangaraja X dari Toba, tapi bagi orang Minangkabau dia adalah orang Padang Mantinggi, Pasaman. Jarang-jarang ada pihak yang mau mengakui secara terbuka bahwa seseorang yang dianggap menebar “teror” adalah dari klan atau etniknya. Apakah karena besarnya kharisma Tuanku Rao, atau menunjukkan sikap terbuka dan tanggung jawab dua etnik bertetangga itu?
Dobbin menduga, Tuanku Rao adalah “pendatang” di Rao, maka pilihan bergabung dengan Padri akan memperkuat kedudukannya. Dugaan Dobbin lainnya, bahwa sebutan Tuanko Rao sebagai keponakan Sisingamangaraja X yang disia-siakan, merupakan upaya merasionalisasi kenapa ia membunuh pamannya itu dalam pertemuan di pasar Butar. Meski di sisi lain, Dobbin lebih percaya pembunuhan itu terjadi lantaran Tuanko Rao melihat Sisingamangaraja X sebagai tokoh yang berbahaya bagi ekspansinya di tanah Batak. Ia akan menyatukan marga-marga Batak Toba melawan Islam (ibid, 290).
Sebagaimana kita tahu, Tuanku Rao yang bernama asli Pongki na Ngolngolan itu, mengadakan ekspedisi berdarah ke utara dalam misi mengislamkan tano Batak, mulai Mandailiang, Angkola, Toba bahkan sampai Barus. Betapapun menurut Dobbin, Barus tidak diserang langsung oleh pasukan Tuanku Rao, melainkan oleh orang Angkola yang sudah dialihimankan (maksudnya menjadi Islam puritan atau Wahabi). Apapun, Bonjol sebagai basis utama Padri tentu harus tetap bertanggung jawab!
Betapa pun pula Rao yang disebut sebagai salah satu basis Padri sebenarnya sudah melibatkan rakyat banyak dalam melawan Belanda. Proses penyerangan benteng Amerongen di pusat Rao, misalnya, melibatkan semua komponen. Radjab melukiskannya sebagai “serangan Padri dan rakyat Rao yang berebut menyerbu ke dalamnya. (….) Sebentar kemudian mengebul-ngebullah asap ke udara. Dengan membinasakan ini rakyat Rao mau mengikis bekas dan kesan bangsa kafir dari tanah airnya (Radjab, 283).
Istilah “bangsa kafir” dalam cuplikan di atas, dalam konteks “rakyat Rao” boleh jadi berimplikasi pada anggapan bahwa rakyat Rao sudah teralihimankan (istilah Dobbin untuk menyebut berubahnya Islam tradisional/sinkretik ke Islam yang murni/pembaruan). Buktinya mereka menyerang dengan sebutan kafir. Akan tetapi jika kita sedikit lebih cermat, istilah itu bukan menyebut “orang kafir” tapi “bangsa kafir”! Sebutan pertama digunakan kaum konservatif untuk menyasar kaum adat atau mereka yang tak sepaham. Sedangkan sebutan kedua lazim digunakan para pejuang di Nusantara, seperti Aceh, untuk melawan bangsa kolonial. Dan Radjab menggunakan sebutan terakhir atau kedua.
Dalam paragraf lain tentang jatuhnya Benteng Amerongen, Radjab mengisahkan bahwa setelah rakyat Rao mengusir Belanda dari benteng, pasukan Padri menghadangnya di sebuah bukit, sebuah kerjasama. “Sewaktu musuh sampai di puncak sebuah bukit, Padri yang menjaga di sana menembaknya.” Peristiwa tersebut mengungkap bahwa keberadaan Belanda di Rao ternyata didukung barisan Mandailiang. Beberapa bulan kemudian ketika Tuanku Tambusai dan penduduk Rao datang menyerang benteng Belanda di Singengu dan Kotanopan, mereka dipukul mundur pasukan Belanda dan barisan Mandailiang. Hal yang sama terjadi di Angkola. Pasukan Tambusai dikejar dengan bersemangat oleh rakyat Mandailiang setelah mendapat bantuan satu detasemen Belanda (ibid, 283-285).
Ini menyiratkan kompleksnya hubungan antar-pihak di perbatasan Minangkabau-Mandailiang. Sebutan kaum puritan dan agresor pada satu pihak, serta korban dan bala penyelamat di pihak lain, rasanya kurang memadai.
Dalam proses ekspansi ke Batak, Residen Belanda, E.A. Francis pernah mengadakan perundingan dengan para penghulu Rao dan utusan Tuanku Tambusai di Sasak, 31 juli 1834. Isi perjanjiannya agak mencengangkan: bahwa rakyat Rao dan Tambusai mau berdagang dengan Belanda, tapi dengan syarat Belanda jangan masuk ke pedalaman serta menarik semua tentaranya di Mandailiang (ibid, 286).
Tuntutan itu tak dikabulkan, tapi dari sana kita melihat silang-sengkarut kepentingan. Tuduhan berperang demi agama yang suci di satu pihak, dan kepentingan dagang yang berurusan dengan pasar di pihak lain, rasanya juga tak cukup mewadahi.
Harus ada perspektif lain untuk memecah kebuntuan dan tuduhan-tuduhan. Hal-hal simplistis seperti ini kadang menurun pada sikap kita hari ini. Mudah dan menggelembungnya istilah terorisme di satu sisi, dan gampangnya mencuat tuduhan kafir di lain sisi. Tapi alangkah sulitnya mencari dan memahami akar masalah yang bersilang-sengkarut ke mana-mana.
Padri Moderat?
Mungkinkah memisahkan Padri “moderat” dengan “puritan” atau “Padri Bonjol” dengan “Padri Rao”? Ini agak sulit, meski bukan mustahil. Tapi bisa sebaliknya, mustahil orang percaya dua sisi itu ada. Salah-salah memancing perdebatan atau kontroversi tak berkesudahan. Sebagaimana Mangaraja Onggang Parlindungan dengan bukunya Tuanku Rao (1964) dibantah Hamka melalui buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).
Atau seperti kontroversi naskah-naskah drama Wisran Hadi dalam seri Perang Padri: Perguruan (Tuanku Koto Tuo), Perburuan (Tuanku Nan Renceh), Pengakuan (Tuanku Imam Bonjol) dan Penyeberangan (Sultan Abdul Jalil). Setiap tokoh digambarkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, anti-hero, jauh dari tokoh-tokoh kepahlawanan di kurikulum dan bangku-bangku sekolah kita (lihat Empat Lakon Perang Padri, 2002).
Tuanku Imam Bonjol misalnya, digambarkan penuh keraguan, lemah dan tak mampu memimpin peperangan. Termaktub dalam naskah Wisran Hadi, betapa dengan jujur Tuanku Imam berkata,”Nama besar telah memperbesar kegagalanku. Peto Syarif namaku, panggil saja itu. Imam Bonjol adalah lelaki yang gagal di lintas khatulistiwa.” Naskah ini telah memancing kontroversi saat dipentaskan di Taman Budaya Padang dan Festival Istiqlal Jakarta (Sahrul N, 2005: 37).
Namun sejumlah pihak terlanjur menyebut Padri beserta tokoh-tokohnya dengan sinis dan sarkas. Mereka memperhadapkan kaum agama vs adat, Minang vs Batak. Ada radikalisme dan invansi di situ. Tanpa mengabaikan anggapan itu, bagi saya ada unsur lain tak kalah penting dibiarkan tertinggal; kolonial—pihak yang sesungguhnya jadi pemenang, jika bukan pecundang!
Membicarakan Perang Padri tanpa membicarakan keterlibatan kolonial, sama saja dengan membicarakan peristiwa Gestapu 1965 tanpa membicarakan agen asing dan sekelompok tentara. Tentu bukan apologia. Hanya menekankan bahwa peristiwa yang terjadi tak kalis dari kehadiran pihak ketiga, baik terselubung maupun kasat mata. Persoalannya hanyalah: diakui atau tidak.
Menarik pula merenungkan pendapat Rusli Amran yang dibubuhkan di catatan kaki buku babonnya, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang (1981). Kita jangan lupa, katanya, bahwa perjuangan kaum Padri pada dasarnya adalah perjuangan untuk suatu cita-cita. Sedangkan Belanda menjalankan perang kolonial. Karena itu yang ditonjolkan secara detail dan teliti adalah perang senjata. Kemenangan bagi Belanda berarti sekian banyak manusia dibunuh atau material yang dirampas atau luas daerah yang direbut.
Bagi kaum Padri, lanjut Amran, jika anjuran-anjuran mereka yang baik dilaksanakan rakyat sudah merupakan kemenangan. Tapi terpengaruh oleh cara-cara penyajian Belanda, banyak penulis kita sering meneropong peperangan itu dari sudut kalah-menang pertempuran saja. Terlupakan segi-segi ekonomis, cita-cita di bidang agama yang melatarbelakangi semuanya itu (Amran, 462).