Apakah yang menjadi batas bahwa seseorang disebut telah melakukan perjalanan? Tempat tinggal? Negara? Bangsa? Atau benua? Dalam konteks catatan perjalanan, mungkin tak ada batas tegas, sebab perjalanan bukan soal jauh-dekat, tapi menyangkut pencandraan dan penghayatan.
Bahkan ada kalanya seseorang “berstatus” sebagai pejalan-menetap. Maksudnya, seseorang yang menetap di luar negeri atau benua asing, untuk bekerja atau belajar, kemudian meluangkan waktu melakukan perjalanan ke sekitar negeri tempatnya tinggal. Sebagai contoh, Afifah Ahmad yang tinggal di Teheran, melakukan perjalanan ke kota-kota dan pelosok Iran dalam bukunya yang kaya khazanah sejarah-budaya, The Road to Persia (2013). Sementara Sigit Susanto yang menetap di Swiss, melalang-buana ke negara tetangga atau lain benua dalam buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (2005).
Afifah dan Sigit merupakan dua protetipe pejalan-menetap yang saya maksud. Ia berbeda dengan pejalan umumnya yang punya batas waktu berkunjung, di mana saat datang dan pulang sama bertolak dari, dan kembali, ke negeri asal. Nah, catatan Maria Fauzi merupakan adukkan dari kedua protetipe di atas.
Dalam Bab I (saya lebih suka menyebutnya Bagian I), “Negeri Hadiah dari Nil”, Maria menceritakan pengalamannya selama studi di Al Azhar. Negeri Mesir, wabil khusus Kairo, di-zoom dengan detail. Ini mengingatkan saya pada buku Gazaldun, Tiga Ratus Hari di Lautan Pasir (1987). Berbagai cerita khas Mesir tahun 70-an yang digambarkan Gazaldun, seperti karakter orang mesir yang menyalurkan emosinya tanpa basa-basi, semaraknya kedai kopi dan keramahan, masih tersua dalam catatan Maria hari ini.
Maria saya rasa lebih terbuka. Ia tak sungkan menyinggung kehidupan hareem yang wataknya terkesan masih dilanggengkan. Ini dapat dicermati dari fenomena yang kerap terdengar dari kawasan Timur Tengah, tapi tetap terbiar; tentang perempuan pembantu yang dilecehkan majikan, dan itu menimpa banyak tenaga kerja kita. Meski tidak persis sama, dan supaya tidak bias, buru-buru ia mengatakan bahwa hareem bukanlah tradisi Arab atau Islam, melainkan sudah ada sejak masa Byzantium (halaman 8).
Tak lupa ia menceritakan kehidupannya di asrama Buuts, tempatnya tinggal bersama mahasiswa dari berbagai negara. Tabiat mereka diteropong melalui interaksi sehari-hari. Mahasiswa dari Afrika Tengah dikenal cakap berkomunikasi dengan pengurus asrama. Mahasiswa Thailand senang berkebun. Mahasiswa Senegal suka membuat bokhour, wewangian untuk daya tarik perempuan. Ada pula yang suka gosok gigi pakai siwak sampai ke ruang makan, bikin enek. Seru! Pergaulan lintas negara dan budaya ini membawa kita pada renungan identitas.
Walau tinggal atau menetap di Kairo, pernik kehidupan kota tua itu terus dijelajahnya tanpa kehilangan rasa takjub—hal yang menurut saya menjadi roh dalam sebuah catatan perjalanan. Maria misalnya, merasa gumun menemukan tradisi pelayat bayaran, potensi pelecehan seksual yang terbilang tinggi di ruang publik (ia sebut sebagai “penjahat kelamin”), kemacetan kota yang tiada dua dan adu mulut di ruang terbuka. Sisi suram kota seribu menara itu diimbangi banyak “oase”; pertengkaran yang segera bubar begitu terdengar seruan sholawat, penumpang bus kota yang saling menjaga dari tangan jahil, pemilik toko buku yang menyenangi pembeli dari kalangan orang Jawa, dan tentu saja lorong-lorong Kairo dengan kedai kopinya yang tidak saja untuk nongkrong, tapi juga buat menggubah novel, festival Maulid Nabi bahkan merancang revolusi.
“Gong” Kairo ternyata tidak ke mana-mana. Tidak di kafe El-Fishawy di mana Naguib Mahfudz menulis karya terkenalnya, Awlad Haratina; bukan di Kafe Riche tempat Sa’ad Zaghloel menyemai benih perlawanan atas Inggris dan Gamal Abdel Nasser merancang revolusi nasional, juga bukan di Sungai Nil, Suez atau Piramida yang menjadi latar cerita klasik Mesir, bahkan tidak di Al Azhar, kampus tua yang namanya berhimpitan dengan Mesir itu sendiri, tapi…di kuburan!
Ya, pemakaman umum dan bersejarah, el-Qarafa, yang disebut Maria sebagai “Kota Mati” (mungkin lebih tepat “Kota Orang-Orang Mati”). Inilah yang menjadi titik simpul keunikan panaroma Mesir. Judul buku ini pun bertolak dari sini. Sementara ungkapan “Berdiri” yang sekilas terkesan pasif, justru sebaliknya: menunjukkan laku sikap tertentu, seperti kesiap-sediaan, ancangan atau kuda-kuda (ingatlah baris lagu Indonesia Raya, “di sanalah aku berdiri…”).
Makam dengan segala ritualnya itu jelas bukan khas Mesir, melainkan milik berbagai negara di dunia, termasuk Nusantara. Tabur bunga, berdoa, bertawasul, sholawat dan mengaji adalah pemandangan sehari-hari. Tapi el-Qarafa jelas bukan kompleks makam biasa. Selain luasnya yang mencapai 7 km persegi, kawasan yang disebut The City of The Death (Madinah al-Mawta) ini berisi makam para aulia, ahlul bayt dan ulama terkenal. Praktek ziarah konon sudah semarak sejak era Fatamiyah. Para peziarah dari luar Mesir sering menyempatkan diri berziarah ke el-Qarafa. Nama-nama penting yang pernah singgah tercatat dalam sebuah kitab susunan al-Maqrizi, mulai Ibnu Batutah, Ibnu Jubayr, al-Tujibi, al-Balawi, al-Abadari hingga Al-Qasadi.
Membaca bagian ini, saya teringat novelet Qindil Umm Hasyim, karya sastrawan Mesir, Yahya Hakki. Ali Audah menerjemahkannya menjadi Lampu Minyak Ibu Hasyim (1975). Berkisah tentang seorang dokter muda lulusan Eropa, Ismail. Ia menolak tradisi ziarah ke makam Sayyidah Zainab. Terutama ia keberatan dengan lentera Ibu Hasyim yang tetesan minyaknya dianggap bisa mengobati mata orang buta. Tunangan Ismail yang matanya sakit diobati ke sana. Ismail merasa terhina. Ia ambil-alih pengobatan mata kekasihnya yang juga sepupunya itu, dan ternyata keadaannya justru memburuk, hal yang meruntuhkan keegoannya di hadapan makam keramat!
Usia “Kota Mati” ini sama dengan usia kekuasaan Islam di Kairo, yakni sejak Amr bin Ash, sahabat Nabi sekaligus panglima besar Islam, berhasil menaklukkan Mesir dan sejumlah wilayah Afrika dari Imperium Romawi. Alih-alih merasa berada di kota mati, ingatan saya kembali terhantar pada sebuah karya sastra, yakni cerpen Ben Okri, “Doa dari yang Hidup”. Cerpen yang diterjemahkan (alm) Sapardi Djoko Damono itu, menceritakan orang-orang mati yang merasa hidup karena terbebas dari segala ikatan dunia. Sebaliknya, orang-orang yang hidup pada hakikatnya mati diterkam derita, perang dan kesengsaraan. Kalau begitu, pantaslah Gus Dur bisa “berdialog dengan makam”, sebab para penghuni dunia bawah nisan sana sejatinya hanya sekedar berpindah alam saja.
Maria tampak sangat menghikmati kawasan makam besar Kairo ini dan saya menangkap kesan ia tak canggung dengan segala ritual ziarah sebagaimana umumnya orang Jawa. Tapi yang membuatnya terkesan heran adalah saat ia melihat sebagian warga Kairo tinggal di kuburan, bahkan ada yang sudah tiga generasi. Mereka berkata setengah berseloroh, bahwa mereka lebih takut kepada orang yang hidup daripada orang yang mati. Sebenarnya, ini tak lantas membuat tercengang sebab di kota besar Indonesia, kompleks makam juga lazim menjadi tempat tinggal mereka yang tak punya rumah.
Saya sempat kehilangan jejak saat Maria pindah zoom ke kawasan “Kota Mati” Duwea– setelah terpisah beberapa judul. Terkesan ada dua lokasi makam besar di Kairo, satu al-Qarafa, dan yang kedua Duwea. Lagi pula suasana makam Duwea digambarkan berkebalikan dengan el-Qarafa. Di Duwea, Maria seperti orang asing, bahkan sopir taksi pun dikatakan tak tahu lokasi ini. Padahal di sini berbaring Imam Syafii, Sayyidah Nafisah, Sayyidah Zaenab (setting novelet Lampu Minyak Ibu Hasyim), Sayyidah Aisyah, Imam Suyuthi, Ibnu Hajar dan al-Asqalani. Ada juga makam sultanah Mamluk paling berpengaruh, Syajar al-Durr. Makamnya juga banyak dari jenis mazar atau maqam, yakni kuburan berkubah besar dan dihiasi dekorasi khas arsitektur Islam. Kenapa Duwea bisa seolah tak dikenal, merana dan terlantar?
Saya akhirnya dapat menduga, bahwa Duwea masih bagian “Kota Mati” ketika saya lacak tempat tinggal Ahmad (orang yang dijumpai Maria di el-Qarafa) tinggal “….di sekitar kawasan Duwaiqoh (halaman 39). Itu sebutan untuk Duwea. Jika el-Qarafa dan Duwea ini dibahas dalam satu judul atau dua judul yang berdekatan, niscaya atmosfir “Kota Mati” akan lebih terasa padu, sehingga memberi legitimasi yang kuat pada judul buku.
Benua Biru
Tapi pemaknaan lain atas “Kota Mati” akan kita temukan dalam judul-judul selanjutnya. Dalam Bab II, “Benua Biru”, Maria mencatat pengalamannya selama tinggal di Berlin. Tak hanya menjelajah sudut Berlin, ia juga menapak sejumlah bagian wilayah Jerman. Maria misalnya mengajak kita ke Karlsluhe tempat kenalannya tinggal, Aysel, warga Jerman keturunan Turki yang ia kenal saat di Kairo. Kunjungan persahabatan itu tak hanya bermakna silaturahmi, namun mengandung cerita kehangatan warga Jerman dan kerinduan keturunan Turki pada simpul orientalnya. Maria membawa kita ke Pegunungan Harz di negara bagian Lower Saxony tempat Goethe menggubah Faust dan kota Jena tempat Universitas Friedruch Schiller berada, sayang hanya sambil lewat.
Selanjutnya, ia menjelajah ke negara-negara Eropa Barat, mulai Prancis, Vatikan, Spanyol (Cordoba, Granada, Alhambra), hingga kota air Venesia dengan gondola-gondolanya yang khas di Italia. Maria bahkan menyeberang ke Istanbul, Turki, yang secara geografis berada di Asia tapi secara politis merasa bagian Benua Biru. Baiklah kalau begitu.
Dari keluasan jelajah, ada banyak cerita. Setiap destinasi, selalu punya cerita lebih dari sekedar tempat itu sendiri. Masjid, gereja, monumen, lukisan, dan hal-hal fisik bersejarah dijadikan simbol untuk masuk ke dalam cerita yang meletarbelakangi itu semua. Semacam cerita di balik cerita. Ini menjadi “ruh” bagi artefak yang didatangi. Akibatnya situs-situs fisik yang sebenarnya juga tak lebih dari “kota mati” itu, seketika menjadi hidup saat disentuh rasa takjub dan disepuh bahasa yang indah.
Ketika berada di Kreuzberg, misalnya, Maria membawa kita ke Wedding, sebuah distrik di Berlin Mitted an Neukoln dikenal sebagai Little Orient. Di sana tinggal masyarakat muslim Berlin yang didominasi orang Turki, sisanya Bosnia-Herzegovina dan Afrika Utara.
Dari situ kita tahu bahwa Jerman merupakan negara dengan komunitas Turki terbesar di dunia. Sejak masa Utsmani orang Turki sudah menyeberang ke Benua Biru. Hubungan diplomatik Turki-Jerman terjalin sejak abad ke-18 sebagaimana terlacak dari lukisan Daniel Cbodowiseki. Ia menggambar diplomat Ali Aziz Effendi di atas kuda. Saat Ali wafat, Raja Frederick III mewakafkan tanah pemakaman yang sampai sekarang dikenal dengan nama Sehitlik (Syahid). Pasca Perang Dunia II, Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja dari Turki yang disebut sebagai guest worker.
Saat Maria berkunjung ke Memorial to The Sinti and Roma, Berlin, dan persimpangan Champs-Elysees, Paris, muncullah cerita tentang keturunan kaum Gipsi. Mereka dikenal juga sebagai orang Sinti atau Roma, dan secara spesifik di Prancis disebut gitans atau tsiganes; sedangkan di Jerman disebut zigeuner. Gadis-gadis Gipsi menutup kepala sehingga Maria mengira itu muslim dari Bosnia-Herzegovina. Sejarah mereka sendiri berasal dari kawasan Barat Laut India yang bermigrasi ke Eropa Timur sekitar 600 tahun lalu. Mereka menjadi warga Soviet (Rusia), Yugoslavia, Bulgaria, Slovenia dan Rumania. Runtuhnya Yugoslavia, memaksa orang Gipsi menyingkir ke Jerman. Di negeri para kanselir ini, Gipsi diakui sebagai minoritas yang berhak hidup, namun nasibnya berbeda dengan warga Jerman yang lain: miskin dan kurang pendidikan.
Perbedaan itu dibawa Maria ke tataran yang lebih kontras. Orang Gipsi ternyata juga korban holocaust Hitler-Nazi, bersama orang Yahudi, homoseksual, difabel dan tahanan politik lainnya. Namun nasib Gipsi hari ini berbeda dengan nasib Yahudi yang mendapat perhatian besar dunia dan malah balik mendikte dunia. Meski demikian, orang Gipsi bebas merayakan ritual keagamaan mereka. Tiap Mei ada festival mengarak patung Saint Sarah The Black di Saintes-Maries-de-la-Mer, tak jauh dari kota Arles, di selatan Paris.
Sebaliknya, perjalanan Maria melewati Stasiun Grunewold membangkitkan kisah pilu orang Yahudi di masa lalu. Stasiun itulah titik tolak ribuan Yahudi ke berbagai kamp dan tempat-tempat genosida. Dari stasiun itu pula cerita berkembang ke hubungan Yahudi dan muslim. Maria datang ke Masjid Wilmersdorfer Berlin yang didirikan komunitas Ahmadiyah Lahore. Mereka merupakan pendakwah muslim awal yang membuat warga Weimar Berlin beralih memeluk Islam. Salah seorang di antaranya adalah Hugo Marcus, jurnalis dan politisi Yahudi Jerman. Hugo adalah seorang homoskesual yang saat mualaf pun tak surut menyuarakan hak-hak seksualitas kelompoknya. Uniknya, saat Hugo ditangkap Nazi, ia berhasil dibebaskan Imam Ahmadiyah, Dr. Syeikh Muhammad Abdullah.
Sementara di Paris, hubungan muslim dengan Yahudi tergambarkan dari cerita di balik Masjid Raya Paris, Grande Mosque. Saat Nazi menggila, masjid ini menjadi tempat berlindung sekitar 500-1.600 orang Yahudi. Waktu itu, muslim bukanlah pihak yang dimusuhi oleh Nazi sehingga mereka tak dicurigai saat menampung Yahudi di basement masjid. Apalagi mereka memiliki postur tubuh yang relatif sama dan juga sama-sama bersunat. Kisah ini diangkat ke dalam film Les Hommes Libres karya Ismael Ferroukhi.
Jauh sebelum horor holocaust, muslim Spanyol pernah menyelamatkan ribuan Yahudi dari ancaman Katholik Monarki, pasca runtuhnya Dinasti Nasrid, Granada. Kesultanan Usmani juga menerima imigran Yahudi dari Spanyol.
Di sisi lain, hubungan Islam dan Kristen juga terjalin baik, salah satunya terlihat dari lukisan Raphael tentang Ibnu Rusyd di Vatikan. Lukisan berjudul The School of Athens itu diletakkan di ruang Stanza Della Segnatura, perpustakaan Paus. Ibnu Rusyd atau Averroes sangat dihormati di Eropa karena dinggap berhasil membangkitkan kembali spirit filsafat Aristoteles yang lama terkubur.
Masih banyak hal-hal menarik didedah Maria. Sejarah dan kehidupan Andalusia, hubungan Venesia dengan dunia timur terkait rempah-rempah, atau dunia hareem (kali ini berkelindan dengan keindahan Istanbul) adalah beberapa di antaranya yang sayang dilewatkan. Di bagian ini, soal-soal identitas terasa semakin kompleks lantaran pergumulan sejarah begitu kuat menyertai realitas kekinian dengan tarik-ulur yang kencang.
Demikianlah, Eropa, khususnya Jerman, tercatat sangat multikultural. Tapi tahun 2010, Kanselir Angela Merkel mengeluarkan pernyataan mengejutkan bahwa multikultural Jerman telah gagal. (Jerman memang gentleman mengakui keadaan, termasuk soal Nazi). Secara eksplisit itu merujuk pada phobia Islam di mana terjadi sejumlah kasus yang menyudutkan muslim. Misalnya pembunuhan warga keturunan Turki oleh kelompok Neo-Nazi dan munculnya buku Thillo Sarazin, politikus SPD, yang menuding negatif kehidupan imigran muslim (halaman 104). Tentu saja ini menjadi tantangan besar bagi Jerman dan Benua Biru umumnya, dan pada akhirnya, jika bicara multikultural pastilah melibatkan seluruh negara di dunia.
Catatan Penutup
Mengikuti perjalanan panjang Maria Fauzi dari Mesir ke Benua Biru, sejujurnya tidak melelahkan. Bahasanya lancar dan efektif. Pula, catatan perjudul tidak berpanjang-panjang. Kita diberi ruang jeda dan rasa nyaman. Sungguh pun demikian, saya merasa ada sedikit usulan.
Menurut saya, idealnya buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama tentang Mesir, bagian kedua tentang Jerman dan bagian ketiga tentang negara-negara Eropa lainnya. Dengan membiarkannya dua bagian, maka jumlah sub-judul tidak imbang, yakni sekitar 11 judul untuk Mesir dan 23 untuk Benua Biru. Seandainya dibagi tiga, dengan patokan Jerman dan negara Eropa lainnya, tepatnya sub-bab no. 21, “Paris, Muslim dan Yahudi” sebagai pemisah Bab II dan Bab III, maka bagian Jerman akan mendapat 9 judul dan Benua Biru dapat 15 judul.
Sekilas ini tampak teknis, tapi sebenarnya strategis: keadilan dan keseimbangan untuk melihat sesuatu. Sering sekali dalam melihat negara-negara di Asia dan Afrika orang akan melihat negaranya masing-masing, sementara melihat Eropa biasanya dengan persfektif yang lebih bersifat kolektif-kolegial. Kolektifitas dengan partikularitas tentu saja akan diungguli oleh yang kolektif. Disadari atau tidak, ini bias pascakolonial yang masih digunakan.
Ini sama dengan urusan redaksional yang sekilas biasa, namun sebenarnya mengandung kesalahan leksikal maupun pemahaman. Lihat misalnya sebuah paragraf halaman 90: “Perkenalan warga Jerman dengan komunitas muslim kian tak berbatas. Paling tidak saya melihat ratusan restoran dengan label halal berceceran di pinggir jalan. Masjid juga semakin merajalela seiring dengan permintaan komunitas muslim dari latar belakang beragam sebagai wadah mereka untuk beribadah. […]”
Tepatkah pemakaian kata berceceran (cetak miring dari saya) di atas? Bukankah secara bahasa kurang pas, dan terkesan menyepelekan secara makna? Begitu juga kata merajalela, bukankah itu sangat bias?
Tapi…dengan memakai “Tepi” dan “Jantung”, boleh jadi judul tulisan saya ini pun mungandung bias, tapi tidak; itu lebih merujuk ruang geografis, tepian Sungai Nil, dan pusat kehidupan Eropa–kita toh tidak menganggap itu pusat dunia. Wallahuallam bissawab.
Judul : Berdiri di Kota Mati
Penulis : Maria Fauzi
Penerbit : Gading, Yogyakarta, 2020
Tebal : xiv + 224
ISBN : 978-623-7177-43-2