“Ada dua kejahatan yang jauh lebih hitam dan lebih serius dari yang lain: kurangnya ketekunan dan kurangnya pengendalian diri, bertahan dan melawan.” -Marcus Aurelius
Stoikisme merupakan pola pikir yang mengajarkan terhadap apa yang bisa dikendalkan dan apa yang tidak bisa dikendalikan. Stoikisme adalah filosofi kuno yang didirikan di Athena oleh pedagang Fenisia Zeno di Citium pada tahun 301 M.
Stoikisme ini dipublikasikan melalui buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring, seorang penulis sekaligus blogger yang mendapat gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1997.
Hubungan stoikisme dapat dikaitkan dengan kondisi, situasi di dunia pesantren masa kini. Yang mana banyak sekali permasalahan-permasalahan yang hampir tidak terpikirkan sebelumnya.
Perbedaan antara santri salaf (dulu) dengan santri milenial (sekarang) yang menurut saya lebih bertaut terhadap attitude, atau perilaku setiap harinya.
Banyak santri dulu yang mengedepankan tingkah laku, entah itu terhadap kyai, pengurus, antar teman bahkan orang yang di sekelilingnya seperti orang desa. Mungkin dikarenakan asas kemauan sendiri untuk hidup di pesantren.
Berbeda dengan santri sekarang, yang presentasinya lebih besar atas kemauan orang tua, hingga anak tersebut sulit untuk dikemudikan.
Sebagai contoh, santri sekarang yang dihukum atau ditakzir oleh pengurus karena tidak mau mengikuti kegiatan wajib pesantren, itu tidak mau menerima. Dan akhirnya mengadu terhadap orang tuanya dengan bercerita tidak sesuai kondisi pada saat di pesantren.
Yang menjadi sorotan tertentu adalah orang tua atau wali santri tersebut tidak terima dengan adanya hukuman terhadap anaknya tersebut. Sampai orang tua nekat akan mengadili pengurus kepada pihak yang berwenang demi mendukung anaknya yang jelas bersalah.
Mungkin saja kalau tidak dilandasi dengan kesabaran dan pengontrolan emosional, hal tersebut akan berdampak menjadi kriminalitas.
Inilah mengapa kita perlu tahu adanya posisi Stoikisme menjadi penengah pada permasalahan yang serupa. Stoikisme sendiri mengajarkan prinsip Dikotomi Kendali. Apa-apa yang bisa dikendalikan dan apa yang tidak bisa dikendalikan.
Pada permasalahan tersebut sudah jelas, kita tidak bisa mengendalikan emosi, perarasaan orang lain. Filosofi tersebut juga menyarankan bahwa kita tidak perlu khawatir tentang hal-hal di luar kendali kita karena segala sesuatu dalam hidup dapat dibagi menjadi dua kategori. Hal-hal yang ada dalam kendali kita dan terserah pada diri kita dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.