Sedang Membaca
Warisan Kesusastraan Islam Para Wali dan Pujangga Jawa
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Warisan Kesusastraan Islam Para Wali dan Pujangga Jawa

Negara baru yang dididirkan oleh para wali bukan hanya menciptakan wangsa-wangsa dan kerajaan-kerajaan baru saja, melainkan juga mewariskan sebuah budaya yang beraneka ragam. Beberapa di antaranya memang benar-benar bernafaskan Islam tetapi juga ada sebagian mempunyai akarnya yang kuat pada kebudayaan pra-Islam. Tak ayal, warisan kesusastraan Islam tersebut menjadi sebuah pedoman hidup bagi semua lapisan masyarakat Jawa khususnya dan Jawi secara umum.

Sekitar tahun 1476 Demak Bintoro membentuk sebuah organisasi Bayangkare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan), yang bertujuan untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran Islam sesuai dengan rencana yang teratur. Lembaga ini dikepalai oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang kemudian menghasilkan beberapa naskah seperti suluk, syairan, kidung, primbon, dan hikayat. Karya sastra ini tidak kesemuanya murni bernafaskan Islam melainkan ada beberapa karya sastra yang masih mempertahankan corak Hindu-Budha.

Kita lihat misalnya karya sastra yang bernafaskan Islam seperti Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Giri, Wasita Jati Sunan Geseng yang kesemuanya itu murni dengan asas-asas diktat mistik tasawuf Islam yang ditulis dengan menggunakan tangan. Tidak hanya soal mistik tasawuf juga dalam bidang fikih, para wali melahirkan suatu diktat yang epik berjudul Usul 6 Bis, sejilid berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim yang konon diceritakan sebagai karangan dari Ulama Samarkandi.

Melalui canpur tangan keraton, budaya Hindu-Budha dalam kesusatraan bisa bercampur baur dengan Islam yang khas Nusantara dan memberikan ciri-ciri dan corak yang unik. Karya sastra itu antara lain Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Bharata Yudha karya Mpu Sedah, Gatotkacasraya dan Hariwangsa karya Mpu Panuluh, Smardhana karya Mpu Dharmaja, Negarakertagama dan Silakrama karya Mpu Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma karya Mpu Tantular dan Pararaton. Karya-karya ini yang disadur kembali oleh para wali untuk kemudian diakulturasikan dengan ajaran Islam.

Baca juga:  Mengenang Clifford Geertz Setelah Separuh Abad Modjokuto

Ricklefs menandaskan bahwa sebagian kesusatraan Jawa dapat dilihat secara langsung dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pra-Islam. Bukan hanya karya-karya yang disadur secara langsung dari bahasa Jawa Kuno saja yang penuh dengan pengaruh Hindu-Budha dan kisah-kisah dari masa pra-Islam, tetapi juga masih banyak karya-karya yang lain (Ricklefs, 2005:81). Hal ini nampaknya agar berlebihan karena pada dasarnya hanya beberapa karya satra yang bercorak Hindu-Budha yang disadur oleh para wali untuk memperdalam khazanah intelektual Islam.

Perlu diketengahkan bahwa para wali, ulama, dan kiai yang mengajarkan nilai-nilai Islam memiliki keahlian dan kefasihan dalam berbahasa kuno seperti Sanskerta, Kawi, dan Pallawa. Keahlian para wali dalam berbahasa kuno berdampak pada kemampuan mereka memahami kitab-kitab dan ajaran agama sebelumnya baik yang berupa ritual, etika dan moral. Seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan menulis kitab Jamus Kalimasodo, Serat Dewa Ruci, dan Jaka Sumantri. Kita bisa lihat Serat Dewa Ruci, Sang Sunan mempertahankan kearifan kitab terdahulu yakni adanya kemiripan dengan kitab Silakramaning Aguran-Guron karya Empu Prapanca.

Sedangkan Sunan Bonang yang menghasilkan sastra epik berupa Damarwulan, Sunan Drajat menulis Jaka Partwa Nggadingan Majapahit, Sunan Kudus menulis Jaka Bodo dan Jaka Klinting, dan Sunan Gunung Jati menulis Pajajaran. Sedangkan ada satu genarsi lagi yang harus saya tuliskan di sini, generasi ke dua dari para wali yakni Sunan Giri Kedaton yang menulis Wali Sanga, Sunan Padusan menulis Jaka Karawet, dan Sunan Maryapada menulis Jaka Sureng. Semua karya para wali ini adalah model akulturasi budaya intelektual yang berhasil dikerjakan oleh tangan dingin para wali.

Baca juga:  Ketika Sastra Alpa dari Bangku Sekolah

Ketika kita menelisik ke dataran Mataram Islam banyak sekali karya sastra yang ditorehkan oleh para wali, ulama, kiai, pujangga, bahkan para raja dan pangeran. Serat Surya Raja misalnya yang ditulis pada tahun 1774-1775 oleh putra mahkota Keraton Yogyakarta yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono II. Serat ini berisikan kisah kedudukan Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga sebagai guru rohani dari wangsa Mataram Islam, juga di dalamnya menyinggu persoalan ilmu dan lembaga pendidikan pesantren.

Tidak lupa terdapat Serat Tajuh Salatin berisisi nilai-nilai etika Islam dan pedoman dalam suatu pemerintahan. Kemudian, Serat Hastabrata, yang berisi ajaran makrifat 8 hasta seperti angin, udara, air, api, matahari, awan, bulan, dan bintang. Ini suatu ajaran yang harus dilakukan oleh para salik untuk mencapai martabat paling tinggi supaya bisa Manungga Kawula Gusti. Serat Babad Tembayat yang menceritakan perjumpaan antara Sunan Kalijaga dengan Adipati Pandanarang yang dikemudian mendirikan pesantren.

Yang menarik adalah Suluk Wringin Sungsang yang berisi ajaran adiluhung bagi anak raja yang berkewajiban menjadi santri terlebih dahulu sebelum dirinya terjun kemasyarakat dan berdakwah dengan menggunakan segenap kekuatan keraton secara damai dan tidak meninggalkan budaya setempat. Ketika melihat karya sastra yang digubah atau disadur pada era Mataram Islam lebih menonjolkan aspek relasi yang kuat antara keraton dan pesantren yang besar kemungkinan di era sekarang relasi keraton dan pesantren tidak sekuat dulu.

Baca juga:  Pemutaran Perdana Film AMD di Hari Film Nasional 2019

Kita tidak bisa mengelak ada relasi yang kuat antara pesantren dan keraton pada masa silam, bahkan Yasadipura I (1729-1803) sebagai pujangga Keraton Surakarta menimbal ilmu pengetahuan di lingkaran dunia pesantren. Sehingga karya-karya yang diguratkan bernafaskan keislaman, misalnya Serat Menak yang merupakan saduran dari Hikayat Amir Hamzah yang berbahasa Melayu. Kemudian ada Serat Tajusalatin, Anbiya, Serat Cebolek, Suluk Makmuradi Salikin dan Suluk Dewa Ruci. Karangan Yasadipura I ini, nafas islamnya sangat kuat, terutama Islam yang bercorak sufistik.

Bahkan anaknya Yasadipura II menghasilkan karya satra Islam yang begitu epik, Serat Centhini yang selama ini disalah artikan oleh bangsa Barat sebagai kitab seksnya orang Jawa. Padahal ketika kita membaca dan memahami secara utuh serat ini, isinya adalah ajaran Islam yang bercorak mistik tasawuf. Bahkan tidak hanya anaknya, cicitnya Ranggawarsita III sebagai pujangga penutup menorehkan karya sastra Islam yang bercorak Sufi Sattariyah berjudul Serat Wirid Hidayajati.

Semua karya sastra yang disebutkan di atas adalah karya sastra yang bercorak Islam bahkan islamnya begitu sangat kuat dan mengental. Bahkan Nancy K. Florida menandaskan dari 500 naskah di Keraton Surakarta, hanya ada 17 yang berbau Hinduisme, selebihnya Islam (Nancy, 2020:251). Ini menandakan bahwa Islam Jawi memberikan sumbangan yang begitu besar bagi peradaban Nusantara khususnya dan dunia pada umumnya. Namun, kekayaan khazanah intelektual Islam yang ada jarang disentuh oleh kelompok sarjana dan intelektual sekarang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top