Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun dari 1825 sampai 1830 M berakhir dengan penuh duka cita. Penangkapan sang pangeran di Magelang ini dilakukan secara licik dan penuh tipu muslihat karena dibungkus dengan pertemuan silaturahim dan perundingan, sehingga pada saat itu Diponegoro dan pengikutnya tidak siap.
Penangkapan itu terjadi pada 2 Syawal 1245 H, atau 28 Maret 1830 M yang dikepalai oleh Jenderal De Kock.
Lebaran yang berbalut sukacita tiba-tiba berubah menjadi dukacita di hari kedua. Sang pangeran tidak menduga Belanda akan menangkapnya di saat Lebaran. Apalagi di kala puasa, terjadi genjata senjata antara pihak Pangeran dengan Belanda, dan Belanda berjanji tidak akan menggangu Diponegoro dan pasukannya ketika menjalani ibadah puasa tersebut. Sontak, apa yang dilakukan oleh pihak Belanda membuat Diponegoro merasa kaget dan terkejut. Lantaran kunjungannya ke residen hanya sekedar kunjungan silaturahim dan ramah tamah terhadap temannya.
De Kock sebagai jenderal yang sepenuhnya bertanggung jawab atas penangkapan Sang pangeran pada tanngal 25 Maret 1830 dua hari sebelum bulan puasa berakhir, ia memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanteri seniornya yakni Letkol Louis du Perron dan Mayor A.V Michiels yang mempunyai pasukan cukup besar di Magelang. Isi perintah tersebut untuk mempersiapkan pasukan militer dalam melaksanakan penangkapan terhadap Diponegoro bilamana Sang Pangeran datang untuk melakukan perundingan terkait syarat-syarat perdamaian (Carey, 2012:808)
Pada kedatangan hari yang ditungggu-tunggu itu pada tanggal 28 Maret 1830, pengawalan di Wisma Residen diperkuat dua kali lipat, dan tindakan itu tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali terhadap diri Sang Pangeran dan pengawalnya karena seperti biasa di waktu mingggu serdadu selalu berkumpul untuk arak-arakan Minggu.
Setibanya di Wisma Residen, Diponegoro disambut oleh Valck dan dipersilakan ke ruang baca De Kock, diikuti dengan ketiga orang putranya, para penasehat agamanya, kedua punakawan dan Basah Mertonegoro. Namun mereka duduk di tempat yang berbeda, di balik dinding ruangan di mana Diponegoro bisa melihat mereka.
Percakapan yang berlangsung antara Diponegoro dan De Kock dimulai dengan pernyataan bahwa Sang pangeran seyogyangnya tidak usah kembali ke Matesih tapi tetap tinggal di Wisma Residen bersama dia (De Kock) kemudian pernyataan itu di jawab oleh Pangeran dengan ramah seperti yang tertulis dalam Babad Diponegoro pupuh Maskumambang yang berbunyi:
Sri Nalendra mengkana ngandika aris/ pan sebab punapa/ yen kulo tan aweh mulih/ neng riki punapa karya/ mapan kulo prapta yun sobat sayekti/ sadhela kewala/ pan adat Jawa puniki/ lamun sampun Bakda Puasa/ ingkang anom lumahku mring omahneki/ ingkang pranah tuwa/ ngilangken sagung puniki/ marang sakeh luputira/ ingkang tuwo Jenderal pan mekaten malih/ dadya sama-sama/ (BD, IV:384-386)
Yang artinya: “mengapa saya tidak boleh pulang Jenderal? Apa yang saya lakukan adalah sebagai seorang sahabat yang sesungguhnya datang sebentar. Sebagai kebiasaan adat di Jawa pada selesai puasa, yang muda mendatangi rumah yang dituakan untuk menghilangkan semua kesalahan. Yang tua adalah Jenderal jadi adat istiadat yang sa,a berlaku juga (BD, IV:384-385)
Tanpa basa basi De Kock menjawab: “Alasan saya menahan adalah saya ingin agar semua persoalan diselesaikan hari ini juga.”
Diponegoro kaget karena dirinya merasa sebenarnya tidaklah terpikir akan adanya persoalan. Mendengar hal ini Panglima Dippnegoro, Mertonegoro langsung menyela dengan mengatakan bahwa urusan politik berada jauh di luar keprihatinan sang Pangeran dan sebaiknya dicari hari yang lain untuk membicarakannya. Dengan lugas De Kock menjawab “Tidak!” saya ingin menyelesaikan semuanya sekarang! (Carey, 2012:815).
Perubahan sikap De Kock yang mendadak itu membuat sang pangeran terperanjat dan merasa sakit hati hingga ke sumsum akibat penghianatan terhadap kepercayaan pribadi dan persahabatan, penangkapan itu sendiri bukannya hal yang sama sekali tak terduga. Dalam pandangan seorang muslim yang taat, bukanlah aib ketika menyerah kepada kekuatan yang lebih tinggi dan cara sang pangeran menggambarakan peristiwa itu serta sebab-musababnya menunjukan bawa ia sejak lama sudah pasrah pada takdirnya.
Pada Pangeran sebenarnya terlintas dalam pikirannya untuk membunuh De Kock dengan menusuknya dengan menggunakan keris ketika keduanya duduk bersanding di sofa Wisma Residen. Namun pikiran ini segera dilenyapkan oleh sang pangeran, karena batinnya membisikkan, tidak akan baiklah bertindak secara amuk-amukan. Ia akan kehilangan citra keagungan sebagai raja, lagipula, ia toh sudah tidak memiliki teman lagi di Jawa, lebih baik ia bersandar atau menyerah pada takdir (P. Swantoro, 2016:94)
Sebagai seorang muslim yang taat dan pengikut tarekat, Diponegoro menyakini bahwasanya segala seuatu yang terjadi sudah kehendak yang Maha Kuasa. Maka sang Pangeran bersikap pasrah atas apa yang dilakukan oleh De Kock terhadap dirinya, walaupun ia menyesal karena berkunjung ke Magelang atas kemaun dirinya dan oleh janji-jani Kolonel Cleerens, ia seharusnya bebas pergi jika gagal mencapai kesepakatan yang memuaskan. Dengan hal ini maka secara otomatis sang pangeran telah dijebak oleh pihak Belanda yang dikepalai oleh Jenderal Markus De Kock.
Maka akhirnya jebakan di hari Lebaran itu mengakhiri Perang Jawa (1825-1830 M) yang berkobar selama lima tahun akibat perlawan sang Pangeran. Perang yang menyatukan berbagai unsur elemen masyarakat dari Pangeran, ningrat, pemuka agama, santri, pedagang, petani, pengrajin batik, bahkan sampai perampok semua diakomodir menjadi satu dalam Perang Jawa. Perang yang membuat banyak serdadu Belanda tewas dan membuat keuangan kolonial kritis dan hampir bangkrut.