Bapak dan ibu sekalian, para hadirin yang budiman, pidato kebudayaan saya kali ini bukan suatu resensi maupun ihtisar dari buku saya yang berjudul Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (diterbitkan atas kerjasama Nusantara Institute, Bank Central Asia, dan Elsa Press, Maret 2020) yang kebetulan hari ini diapresiasi oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur dengan Anugerah Sutasoma 2020 dalam kategori buku esai/kritik sastra terbaik. Melainkan pidato ini adalah kelanjutan dari perjalanan pemikiran saya atas sastra pesantren, dengan judul: Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga. Selamat menyimak dan menikmati.
“Semua suara berharga.”
Sastra pesantren adalah suara, dan bahwa suara adalah berharga, dan bahwa setiap suara yang terdengar layak didengarkan dengan telinga terbuka, dan bahwa semua hasil belajar anak manusia adalah khazanah kebudayaan yang patut untuk disimak dan layak dipertimbangkan.
Bahwa sesungguhnya sastra pesantren adalah bagian dari sastra Indonesia, bahwa sesungguhnya sastra pesantren adalah bagian dari sastra daerah, bahwa sesungguhnya sastra pesantren adalah bagian dari sastra dunia internasional yang patut dan layak untuk diakui keberadaannya, diterima sebagai karya cipta anak-anak manusia, anak-anak bangsa, hasil kerja budaya manusia yang hidup dan bernafas, berpikir dan menghayati kehidupan ini.
Sastra pesantren adalah terma yang telah lama diwacanakan dalam khazanah sastra Indonesia, salah satunya Gus Dur dalam esai berjudul Pesantren dan Kesusastraan Indonesia pada tahun 1973. Kemudian Jurnal Anil Islam mencatat sastra pesantren mencuat seteleh Gus Dur menjabat kepala negara, sebagai seorang ulama pesantren pertama yang menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia, dan ditandai dengan kelahiran beberapa penerbit di Jogja seperti LKiS dengan Matapena, kemudian penerbit Navila dan Gita Nagari yang menaungi Majalah Sastra Pesantren Fadilah.
Sejak awal kemunculannya, sastra pesantren seolah sedang memburu definisi yang khas dan lebih konkret guna mengidentifikasikan diri sebagai aliran yang berbeda dengan terma-terma serumpun lainnya atas upaya mengkayakan khazanah sastra dalam identitas santri pondok pesantren. Kendati, sastra pesantren hingga hari ini, masih diwarnai pengertian pro kontra dalam banyak kesempatan, menilai sebagai gincu merah belaka kekusastraan dan propaganda sastra pesantren dan sebagainya, dan beberapa turunan lainnya yang menilai tidak jauh-jauh relasinya dengan beberapa terma sastra serumpunnya yang mengarah kepada nilai-nilai religiusitas keislaman dan keumatan.
Saya melihat keserampangan makna terjadi dalam perdebatan demi perdebatan, hanya karena ingin mencapai makna yang muluk-muluk dan menjadikan sastra pesantren sebagai bentuk yang eksklusif dan ujung-ujungnya menganggap “sastra yang ini adalah karya sastra yang adiluhung dan sastra yang itu adalah karya sastra yang receh-recehan”. Tolong, singkirkan semua berhala-berhala eksklusivitas semacam itu, karena tidak ada yang wajib disembah dan diagungkan selain Tuhan belaka.
Pada sebuah zaman yang menuntut kita berjiwa luas dan berpikir inklusif ini, tidak ada waktu untuk mengamini petuah Plato dengan membuat simpul dan irisan pembeda antara high culture dan low culture kecuali untuk menciptakan mitos-mitos baru yang kadangkala membutakan akal budi dan menggelapkan pandangan manusia. Sungguh tidak ada guna menyifatkan keadiluhungan pada satu pihak dan mengerdilkan pihak yang lain, seperti memandang sebuah mutu tinggi dan rendah atas karya sastra yang diproduksi dari penghayatan makhluk bernama manusia dalam meniti kehidupan, kecuali hanya akan melahirkan sebuah kesombongan yang nyata dan mengalihkan peran Tuhan yang berhak menentukan surga dan neraka dalam kuasa berahi manusia yang semenjana.
Semua suara yang dihasilkan sastra adalah layak didengarkan, semua suara yang disampaikan sastra adalah layak dipertimbangkan, memiliki harga dan daya masing-masing untuk dapat dicerna dan direnungkan. Tidak peduli seberapa kecil fisik karya itu lahir dan seberapa besar wujud ciptaan manusia hadir dan diketengahkan, sebab karya besar dan karya kecil adalah sebuah jasad belaka, kita tidak tahu yang mana yang akan membawa cahaya nubuat bahkan mukjizat yang dititipkan Tuhan melalui tangan hamba-hambanya: sebuah esensi, membawa semangat zaman dengan adil, mempertahankan kebudayaan yang bestari, dan memperjuangkan pembaruan untuk kemaslahatan, sehingga membuat orang lain tetap bertahan untuk senantiasa hidup sampai akhir hayatnya, mensyukuri nafas dan jantungnya untuk berperan nyata, mengubah para pemalas dan pengecut mempunyai spirit belajar untuk berbuat manfaat. Inilah jalan melakukan gerakan dengan tulus: sastra pesantren. Bukankah sastra adalah upaya ketulusan pengabdian manusia sebagai manusia, dari manusia untuk manusia, memanusiakan sesama hamba Tuhan?
Sastra terus bernyawa sebab ia memiliki pesona, Gell antropolog agama dan seni dalam The Anthropology of Arts menyebut sebagai teknologi pesona (technology of enchantment) sebab memiliki kekuatan art. Sebut saja salah seorang ulama yang sastrawan bernama Syekh Hamzah Fansuri mungkin tidak pernah mengira, bahwa syair-syair yang telah ia gubah akan mengubah posisi Bahasa Melayu menjelma bahasa yang meluas dan terangkat derajatnya di kemudian hari, menjadi emberio bahasa persatuan suatu negara bernama Indonesia. Dan karenanya, Fansuri juga tidak akan menduga, bahwa di kemudian hari sejarah sastra akan mencatatnya sebagai pujangga yang akan dikenang sepanjang masa. Jasad Fansuri telah terkubur berabad lama di Ujong Panco, tak ada foto atau lukisan mengabadikan air mukanya, tetapi syair-syairnya tetap dieja hingga kini oleh pembacanya—paling tidak oleh seseorang yang menyendiri di sudut ruang yang sunyi, berkontemplasi.
Maka biarkan saja perdebatan terus bergulir untuk menjawab kegelisahan-kegelisahan pemikir sastra memandang sastra pesantren ketika mereka berupaya menghadapkannya dengan terma-terma yang dianggap sepadan sebagaimana perdebatan selama ini: apa pembeda sastra pesantren dengan sastra berlabel keislaman lainnya? Apa beda “sastra islami” yang digembar-gomborkan Forum Lingkar Pena dengan sastra pesantren? Apa beda “sastra kitab” yang pernah diwacanakan Abdul Hadi WM dengan sastra pesantren? Apa beda “sastra qurani” yang pernah digelontorkan Ahmadun Yosi Herfanda dengan sastra pesantren? Apa beda “sastra profetik” yang pernah diusung Kuntowijoyo dengan sastra pesantren? Lalu bagaimana suatu hidangan sastra dapat dipandang sebagai sastra pesantren? Apakah karena pengarangnya diharuskan seorang santri pondok pesantren ataukah karena karya sastranya berlatar belakang kehidupan pesantren, atau tidak karena keduanya? melainkan urgensitas atas visi pesantren? Atau tanpa visi melainkan ornamen?
Biarkan perdebatan terus bergulir, sebab semua suara layak didengarkan, sebab semua suara-suara layak dipertimbangkan, sebab semua usulan-usulan adalah sumbangan ide untuk berikhtiar, menanamkan kekayaan batin, keluasan berpikir, kedalaman menghayati, sebab karya sastra adalah sebagai lentera yang menyinari gelapnya jiwa manusia, memusnahkan perilaku bodoh dalam diri manusia, mengenalkan kebajikan, sehingga kanak-kanak menjadi dewasa.
Biarkan Sastra Islami bersemi, Sastra Kitab bergema, Sastra Qurani menyampaikan nafas ayat suci mengetuk nurani, Sastra Profetik menerjemahkan pesan sufi sesyahdu musik, dan bermacam terma sastra lainnya berjumpa dengan suara-suara mereka yang berbeda-beda namun tetap sama dan serupa dalam menanamkan kebaikan akal budi manusia. Sehingga seluruh asal muasal perjalanan semua terma sastra yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan—tak terkecuali sastra pesantren—mencapai perjumpaannya di muara makna dan memberi daya terhadap akal budi setiap makhluk bernama manusia di muka bumi sebagai hamba Tuhan semata.
Saya mengamati perdebatan yang berkepanjangan cukup riuh kendati tidak seberutal perdebatan firqah-firqah (kelompok-kelompok) antar mazhab di tubuh umat Islam yang kemudian melahirkan pertumpahan darah, perselisihan, perang berkepanjangan, sebagaimana drama kenyataan sunni, syiah, muktazilah dan khawarij dalam sejarah kebudayaan Islam, yang pada masing-masing alirannya kemudian terpecah-pecah hingga menjadi ratusan aliran Islam. Sunni misalnya, masih terpecah-pecah menjadi berbagai golongan mazhab, sehingga menyebut aliran Ahlussunnah Waljamaah pun membutuhkan kejelian: Ahlussunnah Waljamaah yang mana? Yang kanan apa yang kiri? Apa Wahabi? Apa NU? Apa FPI? Apa Muhammadiyah? Apa Ahmadiyah? Apa Al-Irsyad? Apa NW?
Saya memandang bahwa sastra pesantren adalah suara manusia dari sebuah sudut dunia yang kecil untuk dunia yang luas, dari sudut mikrokosmos ke belantara makrokosmos, sastra pesantren tidak berdiri sebagai berhala dan kekangan eksklusivitas. Semua suara adalah berharga, suara-suara itu untuk keadilan, suara-suara itu adalah suara untuk kemanusiaan, suara-suara itu adalah suara untuk menanamkan religiusitas keimanan, membangkitkan rasa, sikap, akal budi manusia untuk berlaku adil dan bijaksana dalam memaknai hidup dan kehidupan yang diamanatkan Tuhan.
Selama budaya pesantren masih ada di tengah-tengah kehidupan, maka selama itu pula sastra pesantren itu ada dan sebenarnya. Sebagai catatan, kehadiran budaya pesantren tidak dapat dilepaskan dari perangkat-perangkatnya yang bernama tradisi, termasuk kebahasaan dan susastra. Dari sisi kebahasaan, pondok pesantren tetap merawat dan melestarikan bahasa daerah setempat, bahkan untuk bahasa daerah yang dalam tradisi oral keseharian sudah punah, misalnya kata dining dalam Bahasa Madura maupun kata mengkono-mengkono dalam Bahasa Jawa, mampu dilestarikan oleh tradisi kebahasaan pesantren. Selain bahasa daerah, tradisi kebahasaan di pesantren adalah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa baku dalam berbagai kesempatan seperti halaqah, musyawarah, sorogan, di mana Bahasa Indonesia sudah menjadi penerjemah makna miring gandulan, dan lain sebagainya. Dan tentu saja, tradisi kebahasaan di pesantren mewajibkan masyarakatnya menguasai bahasa asing, minimalnya adalah Bahasa Arab.
Kemudian dari sisi tradisi susastra, setiap saat, santri pondok pesantren maupun masyarakat yang hidup dalam kultur santri, mengemban sebuah ajaran, memaknai setiap kitab-kitab berupa karya sastra dan berupa kitab yang dianggap bernilai sastrawi sebagai pedoman dalam praktik keagamaan mereka: dalam ritual masyarakat santri, perayaan maulid nabi adalah pembacaan syair dan prosa Diba dan Barzanji, dalam perayaan isra mikraj adalah prosa Qissatul Mikraj dan Khasaisunnabawy, dan dalam berbagai kesempatan terdapat ciri khas dunia santri yang tidak dimiliki oleh umat muslim dalam aliran yang lain. Bahkan untuk mengobati anak nakal, rokat, akikah, ritual penarik rejeki, dan sebagainya, terdapat sebuah prosa dan puisi berkonsep manakib, dalam hal ini yang cukup popular adalah pembacaan Manaqib Syekh Abdulqadir Aljailani. Setiap malam pun, biasanya setelah salat isya, santri menderas Qasidah Alburdah, antologi puisi-puisi karya penyair Imam Albushiri, bakda azan mereka membaca syair Iktiraf karya Abu Nawas. Lain lagi dengan tradisi Nadoman, ada Alfiyah, Zubad, Imrithi, Maqsud, Aqidatul awam, dan kitab-kitab sajak keilmuan lainnya. Artinya, kehidupan masyarakat santri adalah kehidupan cinta akan bahasa dan sastra baik kepada bahasa dan sastra daerah, bahasa dan sastra Arab, dan kemudian bahasa dan sastra Indonesia. Kiranya itulah selayang pandang sebagai catatan tentang budaya pesantren.
Di pesantren terdapat santri mukim, ada pula yang disebut santri kalong. Oleh sebab inti dari pesantren adalah ruang perjumpaan seorang pelajar (kemudian disebut dengan santri) dengan seorang guru (kemudian disebut dengan kiai/nyai) yang menjadi penuntun jalan kebaikan dengan pelajaran menjadi makhluk yang dapat beramal baik dan benar sekaligus dapat menjadi hamba yang saleh, sehingga di masa depan menjadi manusia berguna bagi manusia yang lainnya. Khairunnasi anfa’uhum linnasi, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.
Di sastra pesantren, ada karya sastra pesantren yang dibuat oleh santri pondok pesantren. Di sastra pesantren, ada karya sastra pesantren yang tidak dilahirkan dari tangan santri pondok pesantren. Di sastra pesantren, terkadang santri menjadi subjek, terkadang santri sebagai objek. Kadangkala dunia santri tampak sebagai dunia yang sama, terkadang tampak sebagai dunia yang berbeda, kadangkala pondok pesantren terlihat asing kadangkala terlihat akrab. Karya sastra pesantren terkadang menghidangkan kisah-kisah pesantren secara eksplisit, kadang pula pesantren dihidangkan secara implisit, kesemua itu berlaku sama sebagai suara-suara yang perlu didengarkan dan berharga untuk kebaikan manusia supaya berguna bagi manusia yang lain.
Dalam sebuah kesempatan, kita mungkin berjumpa kiai berjubah dan bersorban, kadang juga ada kiai berbaju hem dan celana jeans, ada kiai berkaus oblong, ada kiai berjas dan berdasi dan bersepatu, ada kiai bersarung dan sandalan jepit, ada kiai yang berkopiah putih, hitam, dan ada juga yang tidak pakai kopiah. Kesemuanya itu adalah suatu sudut pandang warna-warni tradisi pesantren, kiai-kiai dengan tampilan fisik berbeda-beda tampilan fisik semata, karena inti dari pada keberadaan kiai adalah suara-suaranya, sikapnya, perilakunya, demikian pula sastra pesantren dimaknai sebagai suara. Esensi. E-s-e-n-s-i. Para kiai dan para nyai menjadi penerang jalan bagi santri-santrinya, selama suara-suara yang disampaikan oleh kiai dan nyai itu adalah pesan ilmu yang adil, pesan ilmu yang sahih, pesan ilmu yang bermuasal dari kejujuran sabda dan firman, selama itu pula suaranya layak dijadikan pedoman.
Sekali lagi, sastra pesantren adalah suara, dan bahwa suara adalah berharga, bahwa setiap suara yang terdengar layak didengarkan dengan telinga terbuka, bahwa semua hasil belajar anak manusia adalah khazanah kebudayaan yang patut untuk disimak dan layak dipertimbangkan. Semua suara berharga.
Bapak dan ibu sekalian, para hadirin yang budiman.
Akhirnya, tidak ada kesimpulan yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan kali ini, karena untuk apa menyimpulkan materi yang sudah simpul ini? Namun sebagai penutup, saya ingin berpesan bahwa sastra pesantren adalah bagian dari kebudayaan dan martabat manusia yang seyogianya dapat mencapaikan makna yang dimilikinya kepada universalitas, sebagai lidah dari pesan risalah kenabian untuk menyebarkan kedamaian dan kasih sayang bagi semesta alam.
Dalam suasana pandemi, 15 Oktober 2020
—————————————————————
Catatan: Naskah pidato kebudayaan ini disampaikan pada acara Anugerah Sutasoma 2020 Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 15 Oktober 2020;