Sedang Membaca
Revitalisasi (Nilai) Pasar Tradisional

Peminat Kajian Sosial. Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan

Revitalisasi (Nilai) Pasar Tradisional

Awal tahun ini, Presiden Jokowi meresmikan pasar Johar yang telah rampung direvitalisasi. Presiden berharap wajah baru pasar ikonik di Kota Semarang itu dapat mengembalikan kejayaan pasar tersebut. 

Upaya merevitalisasi pasar-pasar tradisional memang menjadi salah satu fokus dari pemerintah. Sejak tahun 2020, digawangi oleh Kementerian Perdagangan, pemerintah telah merevitalisasi lebih dari 150 pasar tradisional.  Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan bahwa upaya revitalisasi pasar tradisional bertujuan untuk menggerakkan perekonomian regional maupun nasional. Pasca pandemi, pasar-pasar tersebut diharapkan dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional.

***

Dalam sejarahnya, pasar juga menjadi ruang interaksi sosial budaya masyarakat dimana di dalamnya termanifestasikan nilai-nilai kemanusiaan. Pada masa Jawa Kuno, keberadaan suatu pasar tidak semata berhubungan dengan letak geografis, jejaring transportasi dan aspek-aspek ekonomi, namun lebih merupakan representasi nilai kehidupan masyarakat Jawa. Pasar diadakan dengan sistem rotasi di beberapa desa, mengikuti perputaran hari (wage, pon, legi, pahing dan kliwon). Rotasi tersebut menjadi simbol kerukunan antar desa yang berdekatan dan dapat diartikan sebagai wujud pemerataan ekonomi.

Interaksi yang terjadi di pasar pada masa itu mengedepankan unsur persaudaraan yang pasti mempengaruhi transaksi yang tidak melulu soal untung rugi. Karenanya hingga saat ini dikenal peribahasa istilah tuna satak bathi sanak di masyarakat Jawa, artinya meski rugi materi tapi bisa mendapat saudara. Orang-orang yang tadinya tidak mengenal satu sama lain menjadi saling kenal sehingga terjadi ikatan erat di antara mereka. Interaksi ini dapat berlanjut dalam aktivitas sosial di luar pasar, misalnya dalam perkawinan atau musibah (Nastiti, 2003).

Baca juga:  Kriteria Penilai Rawi Hadis dan Adab dalam Menilai

Akan tetapi pada perkembangannya, makna pasar tereduksi menjadi sebatas ekonomi. Pasar hanya sibuk menggelar berbagai komoditi dimana didalamnya disahkan berbagai perbandingan dan persaingan. Sementara dalam kacamata ekonomi makro, pasar kini hanya dibaca dalam angka-angka suplai, pasokan dan harga.

Pasar bahkan hadir sebagai pemenuh hasrat kepuasan, kekayaan, martabat dan status sosial dalam bentuk Mall. Mall menjadikan dirinya simbol pasar bagi orang-orang kaya yang menjauhkan makna pasar dari konsep kerakyatan. Ia menjadi pemisah antara kalangan atas dan masyarakat bawah.

Kini, pasar pun hadir dalam wujud lain yaitu pasar berbasis teknologi. Orang tak harus berinteraksi secara langsung. Setiap orang bisa bertransaksi dengan penjual yang jaraknya ratusan bahkan ribuan kilometer. Ikatan yang humanis lenyap digantikan dengan interaksi tombol-tombol baku. Batas antar kelas sosial dalam pasar digital menjadi kabur, namun tidak hilang sebab masih ada klasifikasi pasar (market place) untuk kelas atas dan kelas bawah.

Para pelaku usaha pun dituntut, kalau tak disebut dipaksa, untuk dapat mengikuti perubahan ini. Mereka yang gagal beradaptasi dengan teknologi maupun virtualisasi terpaksa harus tertinggal. Kita dapat melihat contoh jatuhnya perusahaan-perusahaan baik yang skala kecil maupun besar karena tidak beradaptasi dengan teknologi. Sementara infrastruktur maupun kemampuan teknologi yang tidak merata setiap wilayah pun menyebabkan pelaku usaha, khususnya di desa-desa, kian terseok mengikuti perubahan. Faktor-faktor tersebut justru dapat menggiring kita menuju musibah kemanusaiaan yaitu kesenjangan.

Baca juga:  Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita

***

Pasar telah mengalami perubahan drastis dalam bentuk dan nilai-nilainya. Revitalisasi-revitalisasi dengan tujuan menjadikan pasar tradisional pusat ekonomi tentu masih bisa dilakukan meski cukup kontradiktif sebab pada saat bersamaan ada gerakan yang lebih masif untuk lebih menggunakan pasar digital dimana transaksinya tidak membutuhkan ruang fisik. Harapan menjadikan pasar ruang interaksi sosial budaya pun semu sebab nilai-nilai pembentuk pasar tradisional seperti dahulu (kerukunan, kemerataan dan ikatan sosial) sudah runtuh oleh perubahan zaman.

Revitalisasi pasar tradisional merupakan upaya yang patut diapresiasi. Namun, harapan mengembalikan kejayaan sebuah pasar tradisional tidak cukup sekadar dengan pembangun fisik. Diperlukan sebuah rumusan untuk mengembalikan nilai-nilai yang dulu pernah dikandungnya. Jika tidak, pasar tradisional hanya  menjadi monumen.

Dalam hal ini, revitalisasi nilai-nilai yang ada di pasar tradisional pun menjadi penting. Fokus kebijakan tidak hanya pada pasar utama yang telah ada tapi juga menghidupkan pasar-pasar rakyat. Dan di sini, diperlukan peran pemerintah daerah..

Pemerintah derah dapat mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan pasar-pasar mikro di level desa baik yang permanen maupun temporer seperti pasar mingguan atau rotasi pasar. Para pelaku usaha setempat maupun desa sekitar menjadi prioritas pedagang yang diberi kesempatan membuka lapaknya.

Meski lingkupnya kecil, seandainya dilakukan secara kolosal di seluruh desa-desa di Indonesia tentu memberi efek signifikan pada ketahanan sosial-ekonomi masyarakat. Dan kebijakan pasar seperti ini dapat memunculkan potensi interaksi berbasis kekerabatan, kerukunan serta mengusung prinsip pemerataan antar warga. Dengan cara ini tak hanya ekonomi yang akan tumbuh, tapi juga nilai kearifan lokal yang tak ternilai harganya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top