Sedang Membaca
Ketangguhan Perempuan di Bulan Ramadan: Antara Beban Domestik dan Krisis Lingkungan
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Ketangguhan Perempuan di Bulan Ramadan: Antara Beban Domestik dan Krisis Lingkungan

Saat ini kita sedang mengalami anomali cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana di beberapa tempat. Banyak orang terimbas bencana kehilangan rumah, harta benda hingga anggota keluarga. Bencana alam memorak-porandakan kehidupan.

Di balik bencana tersebut, kaum perempuan terdampak jauh lebih buruk dibanding lelaki. Hal ini karena perempuan mempunyai beban berlipat. Di tengah bencana, perempuan masih harus melakukan pekerjaan, dari menggendong/menggandeng anaknya, hingga merawat dan menjaga kesehatan keluarga di pengungsian. Perempuan juga membereskan dan membersihkan sembari tetap menyediakan makanan bagi keluarga di rumah yang berantakan karena bencana.

Perempuan mempunyai beban menjaga keberlangsungan hidup keluarga dan anak-anak. Dalam segala kondisi ia mesti melakukan kerja pengasuhan dan pengawasan sekaligus. Sebagai ibu rumah tangga, ia harus memastikan anggota keluarganya tetap sehat dan selamat. Peran perempuan begitu kompleks, lengkap dengan beban domestik dan psikologis yang berat.

Pada saat yang sama, hal ini terjadi pada kisaran waktu peringatan Hari Perempuan Sedunia 8 Maret, yang selama ini menjadi momentum peringatan untuk mengakui dan merayakan kontribusi perempuan di segala bidang. Namun, kenyataan hidup perempuan masa kini semakin kompleks ketika beban perjuangan kesetaraan harus dipadukan dengan dampak bencana alam yang sering terjadi, terutama di bulan puasa saat ini. Dalam kondisi puasa di tengah bencana seperti saat ini, perempuan tidak hanya dituntut untuk mengurus keluarga dan memastikan sudah siapnya makanan bagi suami serta anak, melainkan juga harus mengelola kondisi dalam rumah akibat bencana yang mengganggu tatanan kehidupan.

Baca juga:  Grace Hopper dan Amal Jariyahnya

Norma Budaya

Secara antropologis, peran perempuan di Nusantara telah lama dibentuk oleh norma budaya yang menempatkan mereka sebagai penjaga rumah tangga dan penerus nilai leluhur. Dalam masyarakat tradisional, perempuan dianggap sebagai agen pelestari kearifan lokal melalui pengelolaan ritus, simbol-simbol, dan tradisi yang menekankan keharmonisan antara manusia dan alam.

Namun modernisasi dan perubahan iklim telah menciptakan realitas baru yang menambah beban perempuan. Bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan kekeringan tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga mengganggu stabilitas lingkungan yang selama ini menjadi fondasi kehidupan.

Teori kekuasaan antroposentris dengan para pemikirnya seperti Arne Naess dan Bruno Latour, menggambarkan kecenderungan manusia untuk menempatkan dirinya sebagai pusat segala sesuatu, mengabaikan keterkaitan erat antara manusia dengan alam. Kebijakan pembangunan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan.

Hal ini menambah beban perempuan yang harus menghadapi dampak langsung dari bencana alam. Saat banjir melanda, misalnya rusaknya infrastruktur dan terganggunya ketersediaan pangan membuat perempuan harus mengalokasikan waktu dan energi ekstra untuk ikut juga mencari solusi. Akibatnya, perempuan terpaksa menanggung beban ekstra, beban ganda yang mengungkapkan bahwa peran tradisional perempuan kini harus beradaptasi dengan situasi krisis yang tak terelakkan, yang menuntut kekuatan dan daya tahan luar biasa.

Baca juga:  Zubaidah binti Ja’far Al-Mansur: Perempuan di Balik Zaman Keemasan Islam

Dalam perspektif feminisme Islam, tokoh-tokoh seperti Fatema Mernissi, Amina Wadud, dan Leila Ahmed telah secara konsisten menekankan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk mengatasi krisis dan menjadi agen perubahan melalui kekuatan spiritual dan solidaritas. Ajaran Islam menekankan nilai keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial—nilai yang seharusnya menjadi landasan untuk meningkatkan ibadah dan refleksi di bulan puasa.

Namun kenyataannya, perempuan harus tetap menjalankan rutinitas domestik yang padat, seperti memasak, membersihkan, dan merawat keluarga, sambil menangani dampak bencana alam yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini mengajak kita untuk mengkritisi paradigma pembangunan yang eksploitatif dan menuntut perubahan paradigma menuju keadilan sosial.

Nilai Kemanusiaan

Logika pembangunan kebudayaan menuntut agar strategi pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari nilai tambah kemanusiaan yang menghargai kesejahteraan, kemiskinan, dan kesejahteraan sosial. Perempuan yang harus mengurus keluarga di tengah bencana alam merupakan cermin nyata dari sistem kegagalan dalam menyusun kebijakan yang responsif dan berwawasan lingkungan.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan publik yang mendukung pemberdayaan perempuan dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal dalam perencanaan pembangunan. Pendidikan yang mengajarkan kearifan lingkungan dan keadilan gender harus dioptimalkan agar generasi mendatang mampu merespon krisis dengan kesadaran yang mendalam.

Baca juga:  Nikah Siri Cacat Hukum dan Menyalahi UU yang Berlaku di Indonesia?

Filsafat Islam, dengan dasar konsep tauhid dan prinsip mizan (keseimbangan), menegaskan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Dalam Al-Qur’an, udara dan unsur alam lainnya digambarkan sebagai rahmat yang menyuburkan bumi dan menghidupkan segala makhluk. Konsep ini mengajarkan bahwa manusia memiliki amanah sebagai khalifah di bumi, bukan untuk mengeksploitasi sumber daya, melainkan untuk menjaga keseimbangan dan keadilan.

Bencana alam yang melanda, terutama di bulan puasa, seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi dan perbaikan. Filsafat Islam mengajak umatnya—termasuk perempuan—untuk memikirkan kembali peran mereka dalam menjaga keharmonisan antara manusia dan alam, sehingga tugas domestik yang semakin berat dapat dipandang sebagai bagian dari perjuangan untuk menjaga keadilan ekologis.

Krisis ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga merupakan cerminan kualitas nilai dalam kehidupan. Upaya kolektif untuk memberdayakan perempuan, mengintegrasikan kearifan lokal, dan menerapkan kebijakan publik yang berwawasan lingkungan adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih adil, harmonis, dan berkelanjutan. Dengannya, perempuan dapat terus menjadi pilar kekuatan yang tidak hanya mengurus keluarga, tetapi juga mendorong perubahan menuju tatanan sosial yang lebih manusiawi.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top