Sedang Membaca
Jalan Raya dan Logika Kuasa Tentangnya
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Jalan Raya dan Logika Kuasa Tentangnya

jalanan alan raya mobil

Akhir-akhir ini makin sering dimuat berita terjadinya tindakan koboi di jalanan. Mulai dari gank motor hingga kendaraan mewah dan berpelat khusus banyak terekam bertindak arogan dan semena-mena di jalanan.

Kasus ini sebenarnya menjadi realitas yang sering dihadapi dan berulang di jalan raya. Kejar-kejaran dan koboi-koboian antara sesama pengemudi yang berujung kekerasan bahkan penodongan benda diduga senjata api menggambarkan interaksi sosial yang terjadi di jalan raya. Jalanan metropolitan menjadi arena pamer kehebatan, kekuatan, bahkan kekuasaan segelintir orang yang merugikan diri sendiri dan pengendara lain.

Jalanan bagaikan arena pertarungan kuasa antara arogansi orang-orang yang merasa memiliki kekuatan dan hak lebih memiliki jalan sebagai akses khusus yang layak didapatkan, tanpa memedulikan kepentingan orang lain. Sikap ini tentu saja tidak mencerminkan etika publik atau etika hidup bersama. Realitas sosiologis semacam ini tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai dimensi.

Sejarah Kekuasaan

Dalam sejarah, jalan pernah jadi bagian dari logika kekuasaan ketika pada awal abad XIX ketika Gubernur Jenderal Daendels membangun proyek raksasa Jalan Raya Pos sepanjang kurang-lebih 1.000 kilometer. Jalan ini menghubungkan ujung barat dan timur Pulau Jawa untuk kemudahan mobilisasi ekonomi dan sosial-budaya. Semua itu dilakukan dalam konteks politik kekuasaan kaum penjajah untuk membuka wilayah baru dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasai (Yanuardy, 2010).

Baca juga:  Muqaddimah Hadhramiyah, Kitab Fikih Karya Ulama Hadhramaut yang Populer di Dunia Islam

Peran jalan raya makin penting ketika tercatat lebih dari 50 ribu mobil (80 persennya terdapat di kota-kota di Jawa) memenuhi jalanan Hindia Belanda (Mrazek, 2006). Bersama dengan kereta api, ia menjadi penanda modernitas yang mengonstruksi kebudayaan dan peradaban yang berkarakter besi, kuat-kokoh, dan pada saat yang sama, penuh segregasi.

Jalanan lalu berkembang secara mekanistik, industrialistik, dan birokratis. Jalan dimaknai sebagai “infrastruktur teknologis” dan “lalu lintas fisik” berwujud jalan tol, jembatan dan jalan layang yang dianggap sebagai ciri sebuah bangsa modern. Jalan-jalan itu menjadi etalase yang mendisplay elemen modernitas berupa barisan kendaraan.

Jalan raya dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi milik masyarakat kelas menengah ke atas. Jalan bukan lagi milik publik. Ia menjadi sangat elitis. Orang harus minggir memberi jalan jika yang punya “kekuasaan” melintas. Banyak mobil mewah berplat khusus atau konvoi moge menggunakan polisi pengawal merasa berhak penuh atas jalan raya dalam perjalanan mereka. Asal mampu menyewa voorijder untuk meminggirkan semua kendaraan, menerobos lampu lalu-lintas dan bila perlu, menutup jalan tol agar perjalanan makin lancar (Andra, 2010).

Stigma

Kenyataan ini membuka pemaknaan baru terhadap jalanan dan identifikasi diri yang pekat dengan stigma-stigma sepihak tentang latar belakang sosial ekonomi dan kapital seseorang (kelompok). Akibatnya, di jalanan, interaksi sosial secara simbolis tercipta dalam konsep opisisi biner: kekalahan dan kemenangan.

Baca juga:  Sekadar Mengingatkan yang Terlewat dari Perayaan Hari Santri

Maka di jalan, semua yang ada di atasnya, bergegas, cepat bahkan ngebut. Dengan berbagai alasan orang saling menyerobot, menyalip, dan memotong kompas di jalan yang macet. Persoalan di jalan diselesaikan dengan klakson, pedal gas dan rem yang menyubstitusi mulut sebagai teriakan (dan makian).

Dengan jalan raya sebagai tempat bagi lalu lintas demikian, maka basis sosial masyarakat menjadi rusak. Relasi yang terjadi di jalan bukan lagi relasi antarmanusia. Kita menjadi mekanis, miskin rasa simpati dan empati serta tidak manusiawi.

Jalan raya merepresentasikan kehidupan yang individualistik, tak beretika, liar dan penuh ancaman. Kolektivitas dan komunalitas kita menjadi terkikis, bahkan hilang. Jalan raya yang keras (aspal, beton) turut membentuk karakteristik orang yang keras (kepala) pula.

Inilah fundamentalisme yang gagal menafsirkan kebebasan dalam merespons modernitas, yang mencerabut banyak bentuk kehidupan komunal-tradisional. Kondisi ini diikuti oleh disidentitas dan segregasi logika sosial yang makin tegas. Padahal jika kita gagal dalam menempatkan jalanan (ruang publik) sebagai institusi definitif dalam logika modernitas maka dapat berakibat fatal, yaitu kematian civil society, hancurnya kerekatan sosial (social bond) dalam masyarakat (Latief, 2016).

Jalan dengan segala yang ada di atas dan sekitarnya tidak semata merupakan wujud dan bentuk ruang penghubung, tapi juga proyeksi dan dokumentasi fakta dan makna simbolik kondisi sosial budaya masyarakat. Jalan tidak sekedar karya arsitektur tapi juga (meminjam istilah Acep Iwan Saidi) desain kebudayaan, bahkan peradaban.

Baca juga:  Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditakdirkan?

Maka jalanan perlu disikapi sebagai sistem sosial dan representasi kultural yang dapat mengakomodasi dinamika modernitas dalam rangka menguatkan representasi identitas budaya yang rasional komunal. Karena repetisi kasus semacam ini terjadi bukan karena masalah emosi, arogansi serta kekuasaan dan kekerasan instingtif semata.

Secara teknis, diperlukan sarana prasarana yang mendukung berupa jalan yang sebanding dengan kuantitas dan intensitas penggunanya. Hal ini bertujuan agar lalu-lintas tidak menjadi macet dan semrawut sebagai efek keberpihakan negara untuk terus memfasilitasi kendaraan-kendaraan pribadi tanpa pernah berpikir holistik.

Secara etis, keadilan dan tanggung jawab harus diletakkan dalam konteks yang sama di jalan raya. Jalanan sebagai ruang publik bisa menjadi bentuk demokrasi sebagai sistem yang dapat mengakomodasi interaksi bebas dominasi berupa toleransi antar sesama pengguna jalan raya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat beradab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top