Puncak Festival Film Indonesia (FFI) telah digelar 14 November 2023 lalu. Beragam film Indonesia dengan kekayaan cerita dan ekspresi artistik menjadi wajah perfilman Indonesia hari ini. Dengan tema-tema yang diangkat serta cara bertutur yang makin beragam, film tidak hanya menjadi dokumentasi karya tapi juga menggambarkan dinamika perkembangan industri film Indonesia.
FFI menyediakan ruang bagi kita untuk menyimak sejauh mana pencapaian tingkat kualitas film Indonesia sebagai karya seni-teknologi sinematografi, jurnalisme artistik dan potret kreatif yang merepresentasikan kondisi sosial budaya masyarakat. Karena menurut Marleau-Ponty, film adalah tindakan melihat (act of viewing) dunia dan menjadi suatu kemampuan (faculty) yang mampu menjembatani cara melihat dunia. Film bukan hanya sebagai representasi, tetapi juga pengalaman dan tindakan melihat kenyataan.
Hal ini bisa dilihat dari khazanah cerita dalam FFI kali ini yang terasa segar dan menarik, dengan bersumber dari buku sastra, biografi, hingga merespon isu sosial. Film Budi Pekerti misalnya, menyuguhkan dialog yang hampir seluruhnya berbahasa Jawa untuk mengangkat isu penting sisi lain dunia media sosial. Sebagai cara untuk mengungkap fungsi dan sistem tanda budaya masyarakat, ia bisa dibaca sebagai penanda kedewasaan kita melihat keberagaman dan menyikapinya sebagai potensi film Indonesia hari ini.
Fakta sosial dunia terkini juga diungkap film Sleep Call yang mengangkat tema kesendirian berujung kesepian sebagai representasi kenyataan kehidupan manusia kiwari. Film thriller psikologis ini sarat kritik terkait kelas sosial di dunia urban. Begitu juga film Like and Share mengangkat isu kekerasan seksual di dunia digital.
Di sisi lain, film Women from Rote Island yang menjadi Film Cerita Panjang Terbaik kali ini memotret isu diskriminasi, kekerasan seksual dan tradisi lokal yang membuat perempuan selalu menjadi gender kedua dibawah laki-laki, dan menjadi korban. Film ini membuktikan daya jangkau para sineas untuk lebih jauh mengangkat cerita-cerita tentang personalitas, kelokalan dan komunalitas – nilai-nilai yang masih berlaku di masyarakat.
Dengannya, film terbukti mampu berperan memberi ruang bagi publik untuk menafsir dan menafsir ulang secara kritis, mencipta dan mencipta ulang berbagai pengertian mengenai kenyataan faktual yang ada.
Di sisi lain, melihat pilihan cara tutur dan ungkap para nomine wajar juga kiranya jika film-film tersebut telah beroleh apresiasi di berbagai ajang festival film internasional. Film nomine aksi pencurian (genre yang tergolong baru di Indonesia) 24 Jam Bersama Gaspar meraih penghargaan Kim Ji Seok Award di Busan International Film Festival 2023. Film nomine lainnya, Like and Share diputar di Festival Film Rotterdam, Belanda dan Red Lotus Asian Film Festival di Wina, Austria. Sementara Women from Rote Island juga tayang di Busan International Film Festival 2023, dilanjutkan di Asian Film Festival Barcelona, Spanyol. Dengan kualitas yang telah diakui dunia, film-film tersebut mengandaikan gagasan untuk menyusun artefak imajinasi komunal, produk kebudayaan yang membentuk dan mempresentasikan entitas sebuah bangsa.
Fungsi
FFI membuktikan film sesungguhnya adalah sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi dan teori budaya masyarakat. Untuk itu, film baiknya tidak hanya dipandang sebagai produk teknologi dan komoditas komersial semata. “Keberhasilan” sesungguhnya dari sebuah film tidak hanya diukur dari jumlah pembeli karcis tapi dari bagaimana efek dan dampaknya bagi masyarakat. Kedua hal ini tidak terpisahkan dan saling melengkapi sebagai fungsi film.
Karena publik tidak saja berperan sebagai penonton maupun pembeli tiket, tapi juga sebagai sumber citraan dan gagasan yang membentuk isi film, dan sebagai kalangan yang terpapar pada ungkapan-ungkapan citraan dan gagasan tersebut. Seturut Adrian Jonathan (2018), film bisa berperan sebagai medium strategis dalam interaksi kultural untuk mengenali wajah orang lain serta berempati terhadap kondisi hidup orang lain
Lebih jauh, film bisa berperan membentuk cultural citizenship yang, seturut Hartley (1999), bisa memunculkan budaya sinema dengan berbagai elemen (produksi, kritik, komunitas dan lainnya) yang saling terkait, yang membentuk lanskap sinema Indonesia.
Ekosistem itu mulai dari sumber daya manusia, sumber daya ekonomi, sumber daya apresian dan sumber daya pendukung lainnya. Dari hulu sampai hilir, dari penciptaan sampai distribusi dan ekshibisi film. Mulai dari dosen hingga penata cahaya di produksi film, dari sutradara hingga karyawan bioskop, dari kritikus hingga proyeksionis ruang pemutaran. Juga layar atau platform yang menayangkannya, kompetisi pelajar di sekolah-sekolah, hingga ruang-ruang kecil yang menguatkan literasi film sejak dini, turut merawat budaya komunal dalam sinema, dan memelihara nafas film Indonesia di mata publik.
Film perlu dikuatkan melalui fasilitasi apresiasi, pendidikan, pendataan dan juga pengarsipan. Darinya, kita bisa tahu seberapa jauh kita telah melangkah, hal apa lagi yang bisa terus dikembangkan dan dioptimalkan, termasuk menelaah siapa saja yang terdampak dan sejauh apa efek ikutannya. Dengannya, kita bisa melihat sektor-sektor perfilman yang tengah berkembang dan merumuskan kebijakan dukungan yang tepat guna.
Dengan potensinya memuliakan kekuatan imajinasi, kreatifitas, semangat melakukan eksplorasi dan kesungguhan mengembangkan pengetahuan sekaligus merepresentasikan masyarakatnya, film bisa menjadi pengayaan perspektif kajian sosio-kultural masyarakat, sarana reflektif sekaligus sebuah piranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer.
Terlebih ditengah multikrisis yang melanda negeri ini, film bisa menjadi bagian dari apa yang disebut Stuart Hall sebagai “narrative of nation”, praktik yang mendorong kita berdialog dengan diri sendiri dan membantu memahami kenyataan dengan cara yang lebih cair, lebih baik dan lebih dewasa. Film bisa menjadi perantara sosial yang menautkan dan menguatkan.