Sedang Membaca
“Yomeddine” (Pembuka Festival Film Madani): Perbedaan itu Menyatukan Hati
Puput Puji Lestari
Penulis Kolom

Jurnalis. Penulis. Pemerhati film

“Yomeddine” (Pembuka Festival Film Madani): Perbedaan itu Menyatukan Hati

Film Yomeddine adalah film pembuka Festival Film Madani 2019. Film dari Mesir ini merupakan karya A.B. Shawky yang diproduksi tahun 2018, masih baru dan segar. Tiga penghargaan sudah disematkan di film ini Winner Francois Chalais Award di Cannes Film Festival 2018, Nominee Palm d’Or, dan Nominee Golden Camera.

Memasuki gambar pertama film yang dibintangi Rady Gamal akan  memberikan kesan perih di mata dan hati sekaligus. Ya, Beshay yang diperankan Rady adalah survivor dari kusta. Dan Rady adalah survival yang sebenarnya di alam nyata.  Penyakit kusta telah mengubah fisiknya. Tangannya menjadi kecil, tubuhnya kerdil, lalu wajah dan kulit lain bergelombang di sana sini. Semua diperlihatkan secara detail dan perlahan.

Rupanya, fisik Beshay saja belum cukup untuk menarik mata dan hati penonton. Adegan ini diperkuat dengan aktivitas Beshay di gunung sampah, memulung untuk mencari nafkah. Tak ada lagi yang didapat, hanya sampah. Pada akhirnya, dia menemukan kawat dari bekas bongkahan bangunan. Batunya besar, dengan tangannya yang kecil Beshay mencoba memecah batu itu untuk mendapat besi bekas.

Terbayang bukan bagaimana visualnya? Batu itu remuk, sekaligus meremukkan kaki Beshay yang tak kuat menahan goncangan saat batu itu dibenturkannya dengan batu yang lain. Kakinya luka dan berdarah, lalat berlomba mengejar amis darah itu. Setelah visual, lantas suara lalat akan meneror telinga. Lengkap sudah memulai film ini dengan aroma sendu.

Baca juga:  Seni Musik Perspektif Al-Farabi (3): Hakikat Ngelagu dan Asal Muasal Musik

Semakin sendu, ketika Beshay pulang ke koloni penderita kusta di Gurun Mesir. Koloni ini adalah tempat tinggalnya, keluarganya, dia tidak pernah meninggalkan koloni ini sejak usianya 7 tahun. Setelah ayahnya meninggalkan dia di sana agar bisa sembuh dari kusta. Kesenduan bertambah, ketika pulang ke rumah, Beshay hanya bisa menatap foto pernikahan yang dipajang di bawah salib.

Oleh administrator koloni, istrinya dipindahkan ke rumah sakit karena dianggap gila dan dianggap berbahaya bagi orang lain. “Istriku kamu bawa dengan alasan supaya bisa sembuh, tapi sekarang kamu bawa kembali dia kepadaku dalam peti jenazah,” Beshay patah hati.

Setelah pemakaman, tiba-tiba ibu dari istrinya datang, mengunjungi makam istrinya, Beshay kemudian terbayang keluarganya kembali. Beshay ingin melihat keluarganya. Beshay nekad ingin melintasi Mesir untuk mencari tempat pulangnya.

Disinilah perjalanan film mulai terasa menarik. Mulai meninggalkan rasa murung. Mulai terasa petualangannya. Apalagi hadirnya Obama, anak panti asuhan keras kepala yang merasa nyaman ketika bersama Beshay. Dia nekad ikut perjalanan ‘pulang’ Beshay dengan menunggang gerobak yang ditarik keledai.

Road movie dimulai. Film ini konsisten dengan tempo yang lambat. Seolah mengajak kita mengenal pinggiran Mesir. Melihat Mesir dengan mata telanjang, jauh dari kemajuan kota, jauh dari hiruk pikuk masyarakatnya, jauh dari lampu-lampu silau di malam hari, Beshay memilih jalan-jalan tak biasa jalan yang sepi mungkin agar keledainya lebih mudah dikendalikan, atau mungkin memang demikian keinginan sutradara Shawky membawa kita untuk merasakan bagaimana sudut pandang orang-orang yang terkucilkan di masyarakat. Orang-orang yang sulit mendapat fasilitas kemudahan untuk hidup.

Baca juga:  Selir dalam Islam (2): Harem dalam Catatan Lady Mary Mortley Montagu

Dari Beshay, sudut pandang kita perlahan akan diubah menjadi sudut pandang Obama. Pria muslim yang tidak punya orangtua. Dibuang dari panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Dia tak punya tujuan pulang karena tak punya keluarga. Satu-satunya kenyamanan yang dia punya adalah Beshay. Karena itu Obama bersetia pada Beshay. Tapi kesetiaan itu justru menghadirkan satu rintangan ke rintangan lain sepanjang perjalanan pulang Beshay.

Setidaknya ada empat perbedaan mencolok dari karakter Beshay dan Obama ini. Pertama, fisik mereka. Kedua, usia. Ketika, Agama. Keempat, latar belakang keluarga. Persamaan mereka, sama-sama dianggap warga minoritas, keberadaan maupun ketidaberadaan mereka bukanlah sesuatu yang penting bagi masyarakat.

Disinilah letak keindahan film ini. Mengalir perlahan, bahkan cenderung lambat. Pergerakan kamera yang tidak stabil. Kadang warna menjadi silau karena sinar matahari, atau tiba-tiba gelap karena cuma ada api unggun di malam hari. Bahkan ada nyeri karena melihat sungai Nil yang hitam penuh sampah tapi tetap  dimanfaatkan. Kita diajak untuk terlibat pada perasaan yang dirasakan Obama dan Beshay bersama-sama.

Pulang, kemana? Untuk siapa? Mengapa harus pulang? Apa yang kudapatkan ketika pulang? Film ini memberikan jawaban yang tidak dilebih-lebihkan. Tidak dramatis, karena semua terasa realististis. Maka jangan heran jika akhirnya semua kepedihan yang ditawarkan berbalik menjadi kehangatan saat film berakhir. Kuncinya, sabar dan nikmati perjalanan film Yomeddine.

Baca juga:  Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

Ingin melihat film-film seru lainnya di Festival Film Madani? Simak jadwalnya di madanifilmfest.id. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top