Belum lama ini, saya menonton dokumenter berjudul “I Was in The Black Eyed Peas. Then I Quit” yang disutradarai Ben Proudfoot. Dalam karya tersebut ditampilkan seorang bekas anggota Black Eyed Peas, Kim Hill. Bagi mereka yang tahu Black Eyed Peas (BEP) lewat beberapa lagu populernya saja, pasti tidak akan mengenali Hill.
Hill adalah mantan personel Black Eyed Peas sebelum meledak di pasaran. Ia yang seorang perempuan kulit hitam itu digantikan si kulit putih Fergie. Namun Hill selalu menertawakan mereka yang mengatakan pergantiannya terkait dengan masalah rasisme. Hill, dalam dokumenter itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi: overseksualisasi. Ya, Anda tidak salah baca: overseksualisasi!
Para Feminis Barat dan Industri Hiburan
Bagi saya, dokumenter tersebut memiliki arti tersendiri karena telah menjawab beberapa pertanyaan saya tentang feminisme di barat selama ini. Pasalnya, bukan sekali dua kali saya membaca pernyataan tokoh-tokoh feminis barat (sebagai contoh Germaine Greer) yang mengatakan bahwa “kondisi barat tak banyak berubah.” Para feminis barat itu mengeluh bahwa perempuan masih tertindas di negeri seperti Amerika Serikat dan benua Eropa.
Sebagai perempuan Indonesia yang berhadapan dengan seabrek stigma, tentu pernyataan itu mulanya terdengar aneh. Bukankah Amerika adalah negeri yang bebas? Bukankah di Amerika, para perempuan bisa berpakaian terbuka tanpa khawatir disebut nakal seperti di sini?
Lalu, kilasan video Anaconda-nya Nicki Minaj muncul di kepala saya. Ya! Bahkan video sevulgar itupun bisa ditampilkan di TV bukan? Tak seperti Inul yang sampai digeruduk rumahnya?
Namun, pernyataan Kim Hill menjungkir balikkan pikiran saya. Saya merasa sangat naif karena pernah mengira bahwa mempertontonkan seksualitas di TV adalah puncak kebebasan! Hill hengkang dari Black Eyed Peas tak lain dan tak bukan justru karena ia muak harus melakukan hal tersebut.
Dalam dokumenter itu, ia menceritakan bagaimana relasinya dengan teman laki-laki satu band-nya jauh sebelum bernaung di sebuah label. Buatnya, Will.I.Am dan lainnya adalah adiknya sendiri karena memang mereka lebih muda. Dan mereka pun membuat lagu-lagu yang berkaitan dengan kehidupan yang mereka jalani. Barangkali memang tak terlampau glamour, seksi, dan hedon, namun tetap penuh makna.
Sayangnya, saat masuk label, relasi Hill dan “the boys” ingin diubah pihak manajemen agar lebih sesuai market. Hill diminta untuk beradegan seksi dalam salah satu videonya. Ia pun menekankan bahwa yang meminta itu bukan “the boys” atau rekan lelakinya di Black Eyed Peas. Yang meminta adalah para pria berdasi di perusahaan labelnya.
Relasi persaudaraan, menurut para pria berdasi itu sama sekali tidak marketable. Yang marketable adalah ketika Hill bersikap bak gadis nakal, dan the boys bersikap bak berandalan penggoda perempuan.
Ia pun memutuskan pergi karena kondisi keuangannya saat itu cukup baik. Namun ia sama sekali tidak marah pada the boys yang tetap melanjutkan perjalanannya di BEP. Sebab ia tahu bahwa rekan-rekannya hidup serba kekurangan dan masuk label adalah solusi pengentasan kemiskinan bagi mereka.
Hill mendeskripsikan kepergiannya dari Black Eyed Peas sebagai keputusannya untuk menolak overseksualisasi. Ketika ditanya mengenai Fergie, penggantinya, ia tersenyum. Pandangan bahwa ia diganti karena berkulit hitam sama sekali tidak tepat. Sebab seperti telah ditulis di atas, kenyataannya memang tidak demikian.
Hill justru ingin memeluk Fergie bila berkesempatan untuk bertemu. Ia ingin memeluk Fergie sebagai sesama perempuan yang menghadapi overseksualisasi di negara bebas, Amerika Serikat.
Apakah Sekulerisme Gagal Melindungi Perempuan?
Apa yang dialami Hill (dan saya yakin banyak artis Hollywood) membuat saya bertanya-tanya mengenai kemampuan sekulerisme untuk melindungi perempuan. Tentu sekulerisme sudah bisa membungkam para agamawan misoginis dalam mengatur tubuh perempuan. Dan meski Amerika tidak sesekuler Eropa, toh ia lebih bebas dibanding Indonesia.
Data di lapangan pun menunjukkan kemampuan sekulerisme ketika menghadapi represi agama dengan cukup baik. Sekulerisme bisa melindungi perempuan dari praktik FGM (Female Genitial Mutilation)/khitan, diskriminasi atas akses pendidikan seperti di Pakistan, dan lain sebagainya.
Singkatnya, berkaitan dengan fenomena keberagamaan yang seksis, sekulerisme bisa membantu. Meskipun, kadang ia bersifat paradoks dengan membatasi perempuan beragama, tapi itu soalan yang perlu pembahasan tersendiri.
Yang ingin saya sorot di sini adalah reaksi sekulerisme ketika berhadapan dengan kapitalisme. Sekulerisme benar-benar takluk, diam tanpa kata. Sekulerisme hening ketika seorang perempuan muda terpaksa melayani bosnya agar tak dipecat. Dan di layar kaca, sekulerisme diam saja ketika seorang artis dieksploitasi habis-habisan. Lebih ironis lagi ketika para sekuleris berkata bahwa tampilnya perempuan yang diobjektifikasi adalah kemenangan atas agama!
Ya, benar. Mungkin ini memang bukan salah sekulerisme sepenuhnya. Toh, sekulerisme hanya mengurusi masalah agama dengan negara, bahwa agama harus disingkirkan dari ruang publik. Titik. Sampai di situ saja soalan untuknya.
Namun justru persoalannya terletak di sini. Bahwa agama sama sekali bukan akar segala masalah atau ‘the root of all evil’ seperti yang biasa diwacanakan para ateis militan. Untuk mewujudkan masyarakat yang tidak patriarkis, sama sekali tidak cukup dengan menyingkirkan praktik keagamaan yang misoginis semata. Apalagi berambisi menyingkirkan semua unsur keagamaan di dunia.
Pandangan bahwa agama adalah ‘the root of all evil’ bukan hanya naif namun juga berbahaya. Sebab ketika kita menganggap bahwa semua masalah selesai ketika sekulerisme diberlakukan, kita akan merasa bahwa overseksualisasi adalah sesuatu yang wajar terjadi. Dan bahwa korbannya hanya mereka-mereka yang cengeng. Dan bahwa kita malah akan merayakan hal itu sebagai suatu bentuk kebebasan. Lalu membiarkan feminis berteriak kebingungan.