Sedang Membaca
Sastra, Penertib Pikiran Manusia
Avatar
Penulis Kolom

Pengamat sastra mutakhir Indonesia, alumni Pendidikan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Untirta, Banten.

Sastra, Penertib Pikiran Manusia

Orang Orang Oetimu Min 5d567b36097f3625e037f1b4

Ada banyak keuntungan jika seseorang terampil membaca karya sastra, karena dunia sastra, dengan estetika dan diksi sebagai perangkatnya, ia akan sehaluan dengan logika yang menempati posisi sebagai alat penertib pikiran. Dalam tata bahasa Arab, kita mengenal istilah “nahwu” yang berperan sebagai alat penertib bahasa. Selain itu, dikenal pula istilah “mantiq” yang dapat diartikan dengan pola berpikir ilmiah. Karena itu, filosof dan pemikir Islam, Al-Ghazali menulis dalam bukunya Al-Mustashfa: “Barangsiapa yang tidak mampu berpikir secara ilmiah (mantiq), maka ilmunya tak usah dipercaya.”

Dengan kata lain, mantiq juga berperan sebagai alat ukur, yang membuat seseorang terarah dalam kerangka berpikir. Sehingga, pikiran manusia tidak melompat-lompat ngalor-ngidul, yang tak ada harmoni dan ujung-pangkalnya. Sedangkan, orang yang menguasai logika berpikir ilmiah, ia akan mampu mencerna permasalahan, hingga sanggup membedah kerumitannya.

Dalam karya sastra, meskipun bukan fakta ilmiah yang ditampilkan, tetapi tetap mengacu pada pola bahasa yang logis dan ilmiah. Ia akan tetap menjaga fungsi logika, hingga tak mau terpeleset atau terperangkap ke dalam kesalahan yang fatal.

Misalnya, dalam novel Felix K. Nesa “Orang-orang Oetimu”, ketika ia menampilkan tokoh Romo Yosef, seorang pastor muda yang berhaluan liberal, ia akan tampil sebagai tokoh yang cenderung liberal, berikut segala karakteristik maupun dialog-dalog yang digunakannya. Jika kita temukan pada bab-bab lainnya, tetap seperti itu juga watak dan tabiat Romo Yosef, yang tentu berbeda karakteristiknya dengan Romo Kepala yang cenderung moderat.

Baca juga:  Gus Muwafiq: Yang Banyak dan Tak Banyak Diketahui

Sama juga ketika novel Perasaan Orang Banten menampilkan sosok Bang Jali yang dulunya aktif dalam organisasi pergerakan yang berhaluan kanan, akan berbeda karakteristik (termasuk format dialognya) dengan Pak Majid, yang dulu aktif malang-melintang pada organisasi berhaluan kiri marjinal. Pada bab dan halaman berapapun akan kita temukan mereka konsisten dengan watak dan tabiat yang sama, kecuali jika sang penulis ingin menampilkan seorang tokoh yang mengalami emansipasi kesadaran.

Dengan demikian, dunia sastra mengandung logika bahasa yang universal, dan dengannya komunikasi dapat terjalin dengan semua orang dari latar belakang apa pun yang mau diajak berpikir logis dan rasional. Karena itu, perbedaannya dengan makhluk yang tak berpikir ilmiah, manusia adalah spesies yang memiliki diferensia dari semua makhluk ciptaan Tuhan.

Hasrat mencari tahu dan berupaya untuk mengetahui sesuatu yang belum dipahami, tak lain adalah sifat-sifat manusia, sehingga – melalui pemahaman itu — dapat terjalin dialog atau komunikasi tanpa melibatkan unsur latar belakang, yang seringkali atribut itu menjadi penghalang manusia dalam berkomunikasi antar sesamanya.

Hasrat mencari tahu dan memahami inilah yang menjadi landasan kesamaan manusia agar duduk bersama-sama untuk saling bertukar pikiran, berdialog, bahkan saling menganal budaya dan peradaban masing-masing. Terkait dengan ini, kita mengenal tradisi Yunani kuno, di mana logika menempati salah satu dari trivium (pertigaan jalan), yang meliputi gramatika, logika dan retorika.

Baca juga:  Ibnu Sina dan Asal Usul Namanya yang Jarang Diketahui

Karena itu, dalam karya sastra yang baik, kita akan menemukan ketiga unsur itu saling berkelindan dengan baik. Misalnya, gramatika yang berguna agar kata-kata (diksi) tersampaikan dengan tertib, lalu logika yang berfungsi agar jalan pikiran logis dan rasional, kemudian retorika yang berfungsi agar tafsir dan makna dapat tersampaikan dengan efektif dan sesuai konteks.

Tentu saja karya sastra yang baik bukan (belum) menjadi konsumsi bagi kebanyakan orang. Ada banyak faktor yang membuat jalan pikiran suatu bangsa belum mencapai ke sana. Tetapi paling tidak, ketika karya sastra yang baik sudah meluncur ke tengah publik – cepat atau lambat – pengakuan itu akan muncul seturut dengan perkembangan dan kemajuan logika berpikir masyarakat.

Hal ini mengingatkan saya pada ucapan penulis buku Pikiran Orang Indonesia (baca: Kompas, 21 November 2018, “Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani) yang pernah menegaskan dalam acara bedah bukunya di kampus Untirta, Banten: “Nilai-nilai kebaikan itu perlu disampaikan secepatnya ke tengah publik. Perkara masyarakat akan paham saat ini, bulan depan, atau sepuluh tahun yang akan datang, itu sih bukan urusan kita.”

Dengan kata lain, logika berpikir ilmiah tidak memandang apa latar belakang seseorang. Tetapi tentu saja, ia mensyaratkan adanya manusia yang mau diajak berpikir cerdas dan rasional. Bukankah karya sastra yang baik, hanya dapat dinikmati oleh mereka yang menggunakan nalar dan akal sehatnya dengan baik (*)

Baca juga:  Pospiritualitas Masyarakat Indonesia dalam Kasus Oklin Fia dan Guyonan Politik Zulhas

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top