Sejarah mencatat bahwa tradisi keilmuan Islam adalah tradisi dengan semangat keilmuan yang tinggi, sebuah tradisi yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tradisi yang memposisikan “pencari ilmu” lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain. Hal ini paling tidak dibuktikan dengan sangat banyaknya karya tulis para Ulama yang dihasilkan kala itu.
Satu karya tulis bisa menelurkan puluhan karya tulis lain, sebagian dalam bentuk penjelasan (syarh), komentar (hasyiyah) atau catatan (ta’liqat), belum lagi yang berbentuk kritik (naqd). Tidak cukup disitu, dengan segala keterbatasan teknologi pada waktu itu, satu orang ulama bahkan bisa menulis sampai ratusan karya tulis. Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam ketika itu benar-benar menjadikan Islam sebagai kiblat keilmuan seluruh dunia.
Fakta ini tidak hanya diakui oleh umat Islam sebagai sebuah kebanggaan, namun banyak para sarjana Barat juga mengamininya. Misal, apa yang dikatakan Franz Rosenthal (1914-2003), seorang pakar Islamologi berkebangsaan Jerman, bahwa sepanjang sejarah peradaban Islam, ilmu telah terbukti menjadi istilah kultural yang unik sekaligus daya pengubah yang paling efektif. Menarik juga apa yang dikatakan Johannes Pedersen (1883-1977), seorang pakar teologi asal Denmark bahwa ketekunan para sarjana Muslim (ulama) ketika itu sangat mengagumkan. Senada dengan Pedersen, Howard Turner yang merupakan pengkaji sains Islam mengungkapkan bahwa ketekunan ulama di dunia Islam sangat sulit dibayangkan.
Namun di balik tradisi keilmuan tersebut, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa ada sebuah “kebiasaan” yang dilakukan oleh sebagian ulama, ketika selesai merampungkan karya yang mereka tulis dengan susah payah, bahkan sebagiannya ditulis dalam jangka waktu yang lama, malah hasil jerih payahnya itu sengaja mereka musnahkan; dikubur, dilempar ke laut, dibakar, dan cara-cara lain. Bukan tanpa sebab, sebagian ulama melakukan ini tentu punya alasan yang melatarbelakanginya.
Imam Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H./778 M.), seorang ulama yang dikenal sebagai seorang ahli Hadis dan juga seorang Mujtahid kelahiran Kufah, dikisahkan memiliki pengalaman inspiratif ini. Sebagaimana dikisahkan dalam Thabaqat al-Auliya karya Ibn Mulaqqin, sebagai pakar Hadis yang disegani kala itu, Imam Sufyan Ats- Tsauri pernah dengan sangat serius mengumpulkan dan mengkodifikasi Hadis-hadis Nabi SAW. Namun di akhir aktivitas pembukuan itu, Imam Sufyan Ats-Tsauri menyadari bahwa ia tidak terlalu selektif dalam memilih Hadis, banyak Hadis dha’if yang ia masukkan dalam karyanya.
Karena takut menjadi fitnah dan Hadis-hadis dha’if tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab kemudian menjadi masalah besar, Imam Sufyan Ats-Tsauri lalu memerintahkan beberapa santrinya untuk mengubur karya tulisnya yang banyak mengandung Hadis dha’if. Rasa takut itu betul-betul menghantui pikiran yang sejatinya muncul dari sifat wara’. Karena itu, banyak ahli biografi ulama mensifati beliau dengan sebutan al-wara’. Dalam hal ini Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan:
حَمَلَنِي عَلَيْهَا شَهْوَةُ الْحَدِيْثِ
Mungkin jika diterjemahkan secara bebas kira-kira seperti ini: “Aku akui, memang ketika menulis kitab tersebut didorong oleh ambisiku terhadap Hadis”.
Selanjutnya, bagi kalangan pesantren, siapa yang tidak mengenal kitab Jurrumiyyah? Karya monumental di bidang gramatika bahasa Arab (Nahwu) ini bisa dibilang menjadi prasyarat bagi setiap santri yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman. Gaya bahasa dan sistematika penulisan yang mudah dan lugas menjadikan Jurrumiyyah sebagai salah satu karya yang hampir bisa dipastikan dikaji oleh santri di semua pesantren di Nusantara. Penulis kitab ini adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud ash-Shonhaji (w. 723 H.), atau sering dikenal Imam Shonhaji yang punya julukan Ibnu Ajurrum. Seorang ulama kelahiran Fez, Maroko.
Kisah bagaimana Imam Shonhaji “membuang” karya tulis hasil jerih payahnya ini tampaknya sudah cukup dikenal di sebagian kalangan pesantren. Sebagaimana disebutkan Imam Kafrawi ketika men-syarahi kitab Jurrumiyyah, bahwa setelah Imam Shonhaji menyelesaikan penulisan karyanya berjudul Jurrumiyyah itu, beliau lantas membuangnya dengan melemparkannya ke laut seraya berucap:
إِنْ كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِ اللهِ تَعَالَى فَلَا يَبْلُ
“Jika memang (aku menulis kitab ini) murni ikhlas karena Allah, maka (tentu) tidak akan basah.”
Benar saja, atas dasar keihlasannya dan pertolongan Allah SWT, ternyata kitab itu tidak basah. Menurut beberapa riwayat, setelah beliau melemparkannya ke laut, lalu beliau pulang ke rumah, alih-alih basah, betapa kagetnya ternyata kitab yang ia lempar ada di atas meja kamarnya.
Mengapa Imam Shonhaji melakukan hal demikian? Tentu sebagaimana diketahui bahwa prinsip paling penting yang dipegang teguh para ulama dalam beribadah adalah prinsip Ikhlas. Prinsip untuk tidak punya sedikitpun pamrih dari ibadah yang dilakukan. Menyusun karya tulis sebagai salah satu bentuk ibadah yang paling nyata dan sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan para ulama, tentu harus memperhatikan prinsip ini. Para ulama tidak menghendaki karya tulisnya “tercemari” oleh kotoran-kotoran yang menodai kesuciannya. Untuk tujuan inilah Imam Shonhaji melakukan hal tersebut, menguji keikhlasan.
Berkat keihklasannya ini, Jurrumiyyah betul-betul menjadi karya monumental dari Imam Shonhaji yang tentu saja pahala kemanfaatan ilmunya akan terus mengalir selama kitab ini dikaji oleh siapapun. Dengan kata lain, alih-alih kitab itu basah karena dilempar ke laut, justru Jurrumiyyah senantiasa membasahi dahaga para santri dan setiap para pencari ilmu di dunia.
Tentu saja selain dua ulama tersebut masih banyak kisah lain yang serupa dari ulama yang berbeda. Dari kisah itu, banyak hikmah dan ‘ibrah yang dapat dipetik, bahwa kemanfaatan sebuah karya ilmiah tidak bisa dilepaskan dari aspek spiritualitas penulisnya. Hal ini nampak jelas sekali ketika mengingat sabdi Nabi SAW bahwa “ilmu adalah cahaya (dari Allah)”. Cahaya tidak akan menyinari jika ia tidak terhubung dengan Sumber Cahaya. Wallah a’lam bisshawab, Lahum al-Fatihah…..