“Khaili mamnun, lutf kardid, terima kasih, sudah berbaik hati memberi ini,” ujar seorang pria berusia mendekati lima puluh tahun dengan raut wajah sumringah ketika saya sodorkan sebuah gantungan kunci sebagai hadiah.
Dengan aksen Persia yang sangat kental, dia mencoba mengeja tulisan yang tertera di gantungan kunci plastik bundar berdiameter kurang dari enam centimeter berwarna padu; hijau, kuning, putih, dan sedikit hitam dan merah: “Yang Lebih penting dari politik adalah kemanusiaan -KH.Abdurrahman Wahid.”
“Ishan roshan fekr Mosalman ast, beliau adalah intelektual Muslim !” tutur pakar tasawuf dan filsafat ini, sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah gambar Gus Dur yang tersenyum, lengkap dengan kacamatanya dalam gantungan kunci pemberian teman-teman Seknas Gusdurian tahun lalu di Yogyakarta.
Kalimat tersebut mengawali diskusi saya dengan Profesor Mahmoud Reza Esfandiar tentang Gus Dur. Saya menemuinya hari Senin, 29 Agustus 2016, tepat di pekan kedua bulan ketiga musim panas, di salah satu tempat kerjanya dekat bundaran Felestin, Danesh Nameh Jahan Eslam, Institute Ensiklopedia Dunia Islam.
Di sana, Esfandiar menjadi profesor riset untuk kawasan Asia Tenggara. Selain itu, pengajar tasawuf dan perbandingan agama ini menjabat sebagai rektor Universitas Azad, Tehran.
Dari deretan nama akademisi Iran, tidak banyak yang mendalami pemikiran intelektual Indonesia. Setidaknya, selama 18 tahun tinggal di Iran, dan mengunjungi sudut-sudut penjurunya hingga perbatasan Afganistan, nama Indonesia relatif tidak cukup dikenal, kecuali dalam beberapa tahun terakhir saja, dan secara umum pamornya relatif masih di bawah Malaysia.
Esfandiar termasuk yang sedikit itu. Penulis buku “Sejarah Islam di Asia Tenggara” ini menilai dinamika pemikiran Islam di Indonesia relatif lebih dinamis dibandingkan negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia juga menjadi tempat lahirnya para intelektual Islam. Di negara ini pula muncul dua ormas Islam besar, NU dan Muhamadiyah. Dari sanalah lahir banyak intelektual dan ulama terkemuka seperti KH. Abdurrahman Wahid.
Jejak Gus Dur sendiri tidak banyak bisa ditemukan di negeri Persia ini. Penelusuran yang saya lakukan menunjukkan tapak kaki kunjungannya di Iran di sebuah foto beliau ketika berdiri di depan podium kayu Imam Khomeini di tahun 1991, yang diabadikan Wahyu Muryadi dari Tempo.
Lepas dari perbedaan pandangan tentang gagasan Islam Politik, Gus Dur menziarahi Makam Imam Khomeini di tahun 1991. Penilaian spiritualitas Gus Dur terhadap pendiri Republik Islam Iran melampaui kritik dan perbedaan sebagian pandangannya terutama di bidang politik dengan Imam Khomeini.
Di Tanah Air sendiri, keberadaan makam-makam ulama yang terbentang dari Jawa hingga wilayah timur Indonesia merupakan bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Kedatangan Gus Dur menziarahi satu persatu makam-makam itu sebagai bentuk perhatian seorang kiai terhadap warisan budaya Islam Nusantara. Sebuah bentuk terima kasih terhadap para ulama terdahulu yang telah memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam dan kemanusiaan kepada masyarakat Indonesia.
Kunjungan kedua Gus Dur ke Iran ketika menjabat sebagai presiden Republik Indonesia di tahun 1999. Lawatan beliau ke Iran kali ini merupakan kunjungan singkat, tidak lebih dari dua hari yang dilakukan bulan Juni. Kunjungan ke Tehran bagian dari safarinya ke sejumlah kota di berbagai negara antara lain: Tokyo, Salt Lake City, St. Louis, Washington, Paris, Islamabad dan Kairo.
Menurut mantan staf KBRI Tehran yang sudah pensiun, Sirajudin, KH Abdurrahman Wahid selama kunjungannya ke Tehran tidak tinggal di Saadabad Palace, khusus tamu kehormatan Istana Kepresiden Iran, tapi di hotel internasional Azadi. Sebab, mempertimbangkan luas istana, dan tidak efektif untuk kunjungan yang singkat.
Bagi saya, ada yang menarik dari obrolan dengan pak Sirajuddin tentang kunjungan Gus Dur ke Tehran di tahun 1999. Setelah diterima secara resmi melalui prosesi kenegaraan, ketika itu KH. Abdurrahman Wahid meminta pihak KBRI Tehran mencari salah seorang ulama Iran yang relative dikenal.
“Butuh waktu cukup lama bagi KBRI untuk mencari nama ulama tersebut, karena beliau bukan politisi dan hanya seorang ulama biasa saja yang tidak memiliki kaitan politik sama sekali,” jelasnya. Akhirnya baru ketemu dengan ulama tersebut di hari akhir menjelang keberangkatan. Hal ini menegaskan sikap Gus Dur yang lebih mengedepankan masalah hubungan kemanusiaan dari pada hingar-bingar politik, sekaligus meneguhkan posisinya sebagai seorang tradisionalis tulen.
Sebagai kiai sekaligus pemimpin sebuah ormas Islam besar bercorak tradisional, Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pesantren dengan berbagai tradisinya yang sangat kental bernuansa tasawuf. Penghormatan yang tinggi terhadap guru, meminta berkah kiai, menziarahi makam ulama, mengaji, wirid, shalawat, mauludan, haul, membaca doa dan puji-pujian kepada Rasulullah Saw, tawasul, dan tirakat, merupakan sebagian aktivitas di pesantren yang bertujuan untuk mensucikan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Ciri ini terus dibawanya ke manapun. Titik ini juga menjadi perhatian Esfandiar.
“Islam Gus Dur adalah Islam kultural, Islam tradisional, Islami Irfani (Islam sufistik), Islam humanis dan liberal, yang rekonsiliatif terhadap dinamika zaman dan modernisme melalui penafsirannya atas Islam,” papar pakar pemikiran Rumi ini.
Dari pijakan inilah, Esfandiar melihat Gus Dur sebagai seorang tradisonalis tulen yang membawa perubahan signifikan dalam dinamika pemikiran Islam Indonesia.
“Tapi sayangnya, di kawasan Timur Tengah, termasuk di Iran, tidak banyak dikenal luas. Padahal beliau memiliki kontribusi penting bagi gerakan pemikiran Islam,” tegasnya.
Selama ini respon intelektual Muslim terhadap dinamika modernisasi cenderung berada di dua kutub ekstrem. Pertama, berpijak pada penolakan terhadap peran agama, dan menerima westernisasi secara total. Kedua, menolak modernisasi dengan mengusung slogan kembali kepada penerapan agama secara kaffah.
“Tapi tampaknya, Gus Dur tidak berada di dua kutub ekstrem itu,” ucap Esfandiar sambil menatap saya yang antusias mendengarkan penjelasannya siang itu.
“Posisinya sebagai intelektual Muslim terkemuka sangat cepat merespon tantangan dinamika jaman dan modernisasi dengan mengambil nilai-nilai Islam sebagai pijakan subtantif,” tutur rektor sebuah Universitas di Tehran itu.
Gus Dur memahami ajaran Islam yang diyakininya sinkron dengan dinamika perkembangan zaman dan dunia modern dengan mengusung setinggi-tingginya nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan manusia. Dengan pandangannya yang dalam terhadap Islam, nilai-nilai ajaran agama tetap terjaga.
Gus Dur membaca secara luas dan terbuka berbagai keragaman pemikiran, dan bersikap dengan caranya sendiri untuk menentukan mana yang dia pilih dengan berpijak pada posisinya sebagai seorang tradionalis tulen, tapi berpandangan terbuka, bebas dan kritis. Esfandiar menilai Gus Dur hadir dengan wajah seorang tradisional, tapi ia pun terlihat mengadopsi teologi liberal.
Di atas semua itu, pemikiran Gus Dur yang paling menonjol adalah karakter tasawuf kebangsaanya, yang melahirkan sikap inklusif, toleran, humanis, tapi juga menjaga kearifan lokal dalam menghadapi dinamika perkembangan jaman. Di sini, Gus Dur pun tetap berpijak pada tradisi, sejarah, dan budaya yang merupakan nilai bangsa.
Bagi saya, mengingat Gus Dur dan upaya memahami pemikirannya, adalah cara seorang perantau tidak kehilangan jati dirinya sebagai Muslim Indonesia. Gus Dur memberi peta besar agar tidak lupa jalan pulang ke arah mana, dan tidak kebingungan dengan hiruk-pikuk politik Timur Tengah yang terus bergejolak.
Pertama, Gus Dur memberi jejak penting tentang peran tasawuf sebagai visi untuk melihat keragaman pemahaman terhadap keyakinan keagamaan.
Kedua, upaya pencarian “Muslim Indonesia” adalah proses pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan ikatan dengan masa lampau.
Kerinduan dan pencarian diri seorang perantau mengingatkan saya akan nasihat sufi besar Persia Jalaluddin Rumi dalam bait syair pembuka di magnum opusnya Matsnavi-e Maknavi tentang kerinduan seruling kepada rumpun bambunya.
Bagi seorang perantau, ini adalah kerinduan terhadap asal muasal; khak, vatan, Tanah Air. Di manapun berada, tetap menjadi “Muslim Indonesia”. Dan pemikiran Gus Dur mengantarkan menuju gerbangnya. (aa)